MENCERMATI film Jurassic Park, terasa melambung kembali harapan kita akan kemampuan manusia dalam pengembangan teknologi sebagai upaya mempertinggi mutu kehidupan. Namun demikian, terekam pula kengerian, sekaligus bahaya, yang mengancam peradaban manusia.
Pertama, sekalipun fiksi, alur cerita yang dibangun dalam film ini bertolak dari kerangka ilmiah. Karena itulah, film ini bisa menjadi cermin tentang keajaiban yang mampu dihasilkan oleh manusia, dengan kemampuan rekayasa genetikanya, beberapa tahun mendatang. Dalam film ini, keajaiban itu berwujud lahirnya kembali binatang purba, dinosaurus, hasil pencangkokan DNA (dioxyribose nucleid acid) darah dinosaurus dari serangga penghisap darah yang terjebak getah pohon, menjadi fosil. Keberhasilan penciptaan kembali dinosaurus ini menjadi bukti akan keunggulan manusia dengan teknologinya.
Kedua, teknologi rekayasa genetika yang berhasil dikembangkan ternyata menyeret manusia pada keruntuhan nilai-nilai peradaban. Dinosaurus yang berhasil dibidupkan kembali justru menjadi momok. Di luar perhitungan, dinosaurus yang mulanya direncanakan untuk tidak berkembang biak, sehingga dalam rekayasa ini dibuat berkelamin betina semua, ternyata meleset. Ditemukan telur dinosaurus yang menetas di alam terbuka. Akhirnya, terjadilah kekacau-balauan. Dinosaurus yang sudah tak terkontrol ini mengamuk, memorak-porandakan semua yang ada. Dan kengerian pun mengancam manusia.
Rekayasa Genetika, Primadona Bioteknologi
Film Jurassic Park menjadi menarik untuk didiskusikan karena di sinilah orang kembali teringat akan bioteknologi serta gambaran keuntungan dan kerugian yang menyertainya. Agar gambaran kita tentang bioteknologi menjadi proporsional, baiklah kita tinjau sedikit pengertian bioteknologi.
Banyak dijumpai definisi tentang bioteknologi. Namun begitu ada satu keseragaman yang dapat ditarik bahwa bioteknologi selalu berkaitan dengan kegiatan mikroorganisme, sistem dan proses biologi untuk menghasilkan barang dan jasa.
Bioteknologi ini menjadi perbincangan menarik terutama ketika dikembangkannya teknologi rekombinan DNA (deoxyribose nucleid acid). Dengan teknologi ini, manusia mampu menghasilkan sesuatu yang sebelumnya sulit dapat dibayangkan. Ini bisa dimungkinkan karena DNA, sebagai bahan materi genetik, mampu dimanipulasi dan direkayasa sesuai dengan keinginan manusia.
Seperti diketahui, DNA berupa pita ganda yang saling terpilin membentuk spiral (double helix). Dengan demikian, salah satu pita molekul DNA itu dapat diibaratkan sebagai pita kaset; jika pita kaset dapat dihapus rekamannya, mengapa pita molekul DNA yang berisi informasi genetik itu tidak dapat dihapus dan diganti dengan informasi keturunan yang lain? Di sinilah awal munculnya teknologi rekayasa genetika. Ternyata, DNA suatu organisme dapat dipergunakan untuk merekayasa DNA organisme lain sehingga terbentuk hasil yang sama sekali baru.
Dengan rekayasa genetika, manusia dapat memperoleh banyak kemudahan, misalnya dalam bidang kedokteran berhasil diproduksi insulin dari bakteri. Padahal, sebelumnya produksi insulin banyak bergantung pada pankreas hewan. Banyak lagi hasil yang menggembirakan manusia dari teknologi rekayasa genetika.
PERANAN ETIKA
Jika kita lihat satu sisi keuntungan dari rekayasa genetika, maka serentak semua akan mendukung pengembangan teknologi ini secara besar-besaran. Namun, sebagai gambaran, film Jurassic Park seakan mengisyaratkan bahwa rekayasa genetika dan bioteknobgi bagai mata berpisau dua. Satu sisi menguntungkan, namun sisi lain menjadi ancaman. Dalam film ini, dinosaurus bukan hanya dapat dihidupkan kembali sehingga memperkaya kembali penghuni bumi ini, bahkan manusia sendiri terancam oleh kemunculannya. Rekayasa genetika sebagai teknologi bukan saja merendahkan harkat manusia, bahkan mengobrak-abrik ciptaan Tahan.
Lantas bagaimanakah makna etika dalam pengembangan teknologi? Mengutip A.W. Pratikaya, teknologi adalah kemampuan manusia untuk memanipulasi lingkungan (alam) sehingga diperoleh nilai tambah (added value) bagi manusia. Pengertian ini memberikan harapan bahwa sebenarnya teknologi merupakan keharusan bagi manusia. Persoalannya adalah ketika pandangan kita tertuju pada dampak pisau bermata dua itu, Karena itulah, sebenarnya teknologi memerlukan etika sebagai penuntun dan “pengendali”. Dalam hal ini, setidak-tidaknya ada dua pandangan. Pertama, pandangan yang menganggap bahwa etika tidak boleh terpengaruh pada perkembangan teknologi. Kedua, pandangan yang menganggap bahwa etika harus berkembang dan perubahannya disesuaikan dengan laju perkembangan teknologi.
Jelas, kedua pandangan ini sama-sama belum merupakan fungsi etika itu sendiri. Pandangan pertama, jelas etika menjadi sesuatu yang kaku dan teknologi tidak akan pernah berkembang. Sebaliknya, pandangan kedua justru mengesampingkan makna etika. Dalam hal ini, etika tidak pernah punya fungsi sebagai kendali. Karena itulah, perlu pandangan alternatif. Sebuah pandangan yang menggabungkan kedua pandangan di atas, dengan dua prinsip. Pertama, etika ini mampu mengantisipasi perkembangan teknologi, dan kedua tetap berlandasan pada nilai idealnya. Etika alternatif inilah yang seharusnya menjadi pijakan dalam pengembangan teknologi, khususnya bioteknologi.
Perkembangan teknologi tidak akan dapat dihentikan. Sebab, di samping perkembangan sains juga begitu pesat, teknologi itu sendiri menjadi kebutuhan manusia karena hasil-hasil yang dicapai sangat bermanfaat bagi peningkatan mutu hidup manusia. Sebaliknya, agar teknologi tidak menjadi liar, yang berimplikasi pada pelecehan martabat kemanusiaan dan nilia-nilai Ilahiyah, maka perlu penjagaan dengan etika. Etika di sini bisa berarti kesadaran moral manusia untuk senantiasa mendasari setiap tindakan teknologinya dengan nilai-nilai atau kesadaran filter dalam setiap gagasan yang dicoba akan dikembangkan.
Dengan model hubungan etika dengan teknologi semacam di atas, kiranya dapat diminimalkan terjadinya dampak teknologi. Apa yang menjadi pilihan teknologi, bagaimana pengembangannya, dan apa kepentingannya. Rekayasa genetika jelas sangat memerlukan etika dalam pengembangannya karena teknologi ini mampu membikin sesuatu yang baru, termasuk organisme. Misalnya dalam pengembangan dinosaurus seperti yang terdapat dalam cerita fiksi-ilmiah Jurassic Park. Apa kepentingan menghidupkannya kembali? Bagaimana dampak yang ditimbulkannya nanti? Dan yang penting, apakah ini tidak menyalahi hak cipta yang hanya milik Allah? Dan pertanyaan-pertanyaan kritis lainnya yang berfungsi sebagai kesadaran filter. Apalagi jika teknologi ini mencoba membuat manusia, seperti yang diangankan terwujudnya manusia clon. Sungguh sebuah kegalauan yang maha-dahsyat.
SUBYEKTIVASI BIOTEKNOLOGI
Persoalan mendasar berkaitan dengan pentingnya etika sebagai penuntun dan pengendali bioteknologi adalah karakter bioteknologi itu sendiri. Pertama, bioteknologi bisa dimanfaatkan untuk membuat apa saja dan, karena itulah, karater kedua-nya, bioteknologi ini sulit untuk dikendalikan. Dua karakter ini jelas mampu melahirkan kejadian-kejadian di luar dugaan, apalagi kecenderungan terjadinya pergeseran peran bioteknologi menjadi begitu besar. Bioteknologi seakan menjadi variabel yang menentukan, sementara nilai kemanusiaan menjadi terabaikan. Di sini terjadi subjektivasi bioteknologi dan objektivasi manusia. Jika ini yang terjadi, maka martabaat manusia menjadi terancam: mereka akan terpasung oleh ciptaannya sendiri.
Memang itu menjadi tantangan manusia modern di era modern, era perkembangan bioteknologi yang menakjubkan dan mungkin belum pernah terjadi dalam sejarah umat manusia.
Kini semuanya berpulang pada manusia sendiri. Terus memacu penguasaan teknologinya tanpa kontrol etika atau sejak dini sadar untuk tidak memisahkan etika dengan iptek yang dikuasainya.
Mohammad Nurfatoni
Alumnus Pendidikan Biologi FPMIPA IKIP Surabaya, kini Aktivis Pusat Studi Islam Surabaya
(Dimuat Jawa Pos, 9/9/1993)