Dicari, Islam Radikal

Islam radikal. Begitulah istilah yang dilekatkan pada kelompok-kelompok Islam tertentu, dan kini sedang menjadi wacana publik secara hangat. Meskipun beberapa kalangan memakai istilah yang berbeda dalam menyebut mereka—Islam fundamentalis oleh Oliver Roy; revivalisme Islam oleh John L Esposito; gerakan Islam militan oleh Lee Iiuan YeNc; Islam antiliberal oleh Robert W. Hefner; ekstremisme Islam oleh Muhammad Abid Al Jabir, Islam skripturalis oleh R. William Lidle—namun pada dasarnya arah yang hendak dituju oleh istilah itu adalah sama.

Kelompok mana saja yang dimasukkan dalam kategori radikal itu? Dalam “Topik Utama” Majalah Dwimingguan Panjimas (13-15 Desember 2002) dipaparkan beberapa kelompok Islam radikal itu, yaitu: FPI (Front Pembela Islam), Laskar Jihad – Forum Komunikasi Ahlussunah Waljamaah, Hizbut Tahrir Indonesia, Majelis Mujahidin Indonesia, KISDI (Komite Solidaritas untuk Dunia Islam), PPMI (Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia), HAMMAS (Himpunan Mahasiswa Antar Kampus), Ikhwanul Muslimin (pimpinan Habib Husain AI-Habsyi), dan Gerakan Tarbiyah.

Mengapa mereka disebut radikal? Dalam Islam Radikal, Pergulatan Ormas-ormas Islam Garis Keras di Indonesia (Teraju, Ju1i 2002), Khamami Zada—dengan memakai kerangka teori Horace M. Kallen—mencirikan Islam radikal dengan empat hal. Pertama, mereka memperjuangkan Islam secara kaffah (totalitas); syariat Islam sebagai hukum negara, Islam sebagai dasar negara, sekaligus Islam sebagai sistem politik sehingga bukan demokrasi yang menjadi sistem politik nasional.

Kedua, mereka mendasarkan praktik keagamaannya pada orientasi masa lalu (salafy). Ketiga, mereka sangat memusuhi Barat dengan segala produk peradabannya, seperti sekularisasi dan modernisasi. Keempat, perlawanannya dengan gerakan liberalisme Islam yang tengah berkembang di kalangan Muslim Indonesia.

Mencermati ciri-ciri seperti itu, maka adakah yang salah dengan Islam radikal? Salahkah memperjuangkan totalitas Islam? Salahkah berorientasi pada ajaran masa lalu (jaman Nabi SAW’ dan khulafaurrasyidah)? Salahkah melawan sekularisme dan liberalisme yang dikembangkan oleh dunia Barat dengan mengemukakan ajaran Islam yang orisinil?

Pertanyaan ini penting dikemukakan, karena saat ini Islam radikal sedang “diburu”—bukan saja dalam pengertian fisik, melainkan juga dalam wacana pemikiran dan penamaan.

Meskipun pengertian radikal sebenarnya merujuk pada sesuatu yang positif (radic = akar), yaitu sesuatu yang mendasar (dalam terminologi Islam bisa berarti tauhid = dasar Islam), namun penamaan Islam radikal justru dijadikan alat pemburukan citra.

Penamaan Islam radikal selalu dimunculkan saat terjadi risiko kekerasan atas kiprah kelompok ini. Dan itu diulang-ulang. Maka, jika disebut nama itu, merinding bulu kuduk ini!

Berkaitan dengan wacana pemikiran, kelompok ini secara mentah-mentah ditentang oleh kelompok Islam yang menamakan dirinya moderat, diantaranya seperti yang dilakukan oleh NU dan Muhammadiyah, yang diwakili oleh KH Hasim Muzadi dan M. Syafi’i Ma’arif. Ini bisa dilihat misalnya, dalam “pertarungan” pengaruh dalam memperjuangkan atau menggagalkan masuknya Tujuh Kata dari “Piagam Jakarta” dalam amandemen UUD 1945.

Tidak itu saja, kelompok-kelompok kecil lain juga ikut melawan pemikiran Islam radikal, diantaranya seperti yang dilakukan oleh Ulil Abshar Abdallah dengan JIL (Jaringan Islam Liberal), yang secara terang-terangan hadir untuk menvikapi Islam radikal.

Perburuan dalam pengertian fisik terjadi, setelah perang antiterorisme diproklamasikan oleh Amerika Serikat pasca-tragedi 11 September 2001 ke segala penjuru dunia dan di Indonesia mencapai puncaknya pasca-ledakan bom di Bali 12 Oktober 2002.

Dalam perburuan itu tertangkaplah beberapa aktivis Islam Indonesia di berbagai negara, mulai dari Fathur Rahman al-Ghazi, Agus Dwikarna, Tamsil Linrung, Abdul Jamal Balfas (juga Oskar Nakawata, Rahman, Yanis Jaka Antarani, Julkri) di Filipina; Agus Budiman di AS; Askari di Malaysia; Jaya Facili Basri, Taufik Ali, dan Suparta di Australia; sampai KH Abu Bakar Ba’asyir di Indonesia; dan sebagainya.

Jika melihat dua model perburuan itu, maka bisa ditangkap bahwa “kesalahan” mendasar dari kelompok ini adalah, pertama, mereka memiliki pemahaman Islam yang berbeda dengan mainstream. Jika mainstream berpaham “tidak ada negara Islam” maka kelompok ini memperjuangkan Islam sebagai sistem kenegaraan. Jika mainstream berpendapat bahwa demokrasi adalah jalan terbaik dari sistem politik, maka kelompok ini, menampilkan konsep khilafah; jika mainstream sangat afdhal dengan sistem hukum warisan nenek moyang, maka kelompok ini memperjuangkan hukum Tuhan (hudu); jika mainstream berbangga-bangga dengan budaya sekuler (misalnya dalam budaya berbusana yang mengumbar aurat), maka kelompok ini sangat yakin dengan budaya Islam (misalnya dengan pakaian jilbab-cadar).

Tapi, pantaskah pemikiran yang berbeda itu kemudian hendak ditindas oleh hegemoni mainstream? Sementara pemikiran-pemikiran itu memiliki rujukan yang sahih, baik yang berasal dari Al Qur’an dan Al Hadist, maupun warisan intelektual pemikir Islam klasik.

Kedua, mereka dianggap sebagai kelompok-­kelompok yang menjadi bagian dari jaringan terorisme internasional: Al Qaidah yang sudah lama dicap oleh dunia internasional sebagai kelompok teroris atau dengan Jamaah Islamiyah yang buru-buru disahkan sebagai organisasi teroris.

Tetapi benarkah mereka teroris? Tentu, tidak adil jika definisi teroris ala AS itu diterima mentah­-mentah. Ada dua keberatan yang perlu dikemukakan. Pertama, AS dan dunia (termasuk Indonesia) memiliki standar ganda (baca munafik) dalam menyikapi terorisme. Mengapa Al Qaidah, Jamaah Islamiyah, atau Amrozi dan kawan-kawan yang dicap teroris sementara Israel yang membantai kaum Muslim Palestina secara institusional dan terencana, sama sekali tidak dimasukkan sebagai negara teroris? Bahkan AS sendiri vang telah membunuh ribuan rakyat Muslim Afghanistan dalam pencarian Usamah bin Ladin dan selalu menteror rakyat Irak dengan rencana perang-nya itu tidak dikelompokkan sebagai negara teroris?

Kedua, dalam konteks ini maka keberatan yang kedua adalah, mengapa Israel dan AS diperkenankan dunia untuk melakukan kekerasan massal terhadap umat Islam, sementara kelompok-kelompok Islam yang mencoba melawannya, tentu dengan risiko kekerasan pula seperti apa yang dilakukan—kalau memang begitu—oleh Amrozi dan kawan-kawan, dilawan habis-habisan? Pertanyaan selanjutnya adalah, mengapa dunia (termasuk pemerintah dan rakyat Indonesia) begitu bernafsu mengutuk tragedi 11 September 2001 clan 12 Oktober 2002; dan sebaliknya tidak berminat sama sekali mengutuk Israel dan AS?

Jadi, adakah yang salah dari Islam radikal, sehingga kini mereka dicari dan dikejar-kejar? Waallahu a’lam.

(Dimuat majalah EKSIS No.9/Tahun 1/2003)