Membaca Bencana

Tidak ada satu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidal pula) pada dirimu, melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Al Mahfuzh), sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap yang diberikannya kepada kamu. Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri. (Al Hadiid/57:22-23)

Bagi yang beriman, Firman Allah di atas sangat penting untuk mengambil sikap dan hikmah di balik berbagai bencana yang menimpa kita, tak terkecuali gempa yang menimpa Yogjakarta dan Jawa Tengah.

Apa yang bisa kita baca dari bencana itu? Pertama, bahwa tidak ada satu pun peristiwa di alam ini yang terlepas dari kendali kekuasaan Allah.

Mulai dari penciptaan alam semesta dan segala isinya; keserasian dan keteraturan jagad raya; keindahan dan keunikan alam raya; keanekaragaman makhluk hidup; silih bergantinya siang dan malam adalah diantara tanda-tanda kekuasaannya.

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)nya, dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, sungguh terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. (Al Baqarah/2:164)

Demikian pula fenomena dan peristiwa-peristiwanya, yang terjadi berulang-kali atau yang hanya terjadi sekali, ataupun bencana yang menimpa manusia dan alam semesta adalah bagian dari kekuasaan Allah.

Karena bencana ada dalam genggaman Allah, maka bencana menjadi alat yang efektif untuk mempertanyakan kembali hubungan spiritual kita dengan Allah. Jangan-jangan kita sudah tidak lagi mesra dengan-Nya, sehingga, mengutip Ebiet G. Ade, mungkin Tuhan sudah bosan melihat tingkah kita …

Kedua, sebagai tanda kekuasaan Allah, bencana memiliki arti khusus bagi kaum beriman; terutama bagi yang bisa “membacanya”. Di antara bacaan lain tentang bencana itu adalah sebagai pengingat atas peristiwa besar bernama kiamat.

Masih lekat dari ingatan kita akan gempa dan gelombang Tsunami di Aceh dan kini disusul gempa Yogjakarta dan Jawa Tengah. Bencana-bencana besar di atas mengingatkan kita pada hari kiamat besar. Meskipun, tentu saja belum ada apa-apanya dibanding dengan kiamat yang sesungguhnya.

Marilah kita simak, bagaimana Al Qur’an menggambarkan datangnya kiamat itu dalam salah satu suratnya:

Apabila langit terbelah
dan apabila bintang-bintang jatuh berserakan
dan apabila lautan dijadikan meluap
dan apabila kuburan-kuburan dibongkar

Selain mengingatkan akan nyatanya kedatangan kiamat besar, bencana di atas juga menyadarkan kepada kita bahwa kedatangan kiamat kecil (maut) memang tidak ada yang bisa menduga. Apakah saat bayi; remaja; dewasa; atau saat tua! Juga tidak dapat disangka datang di tempat mana? Di pegunungan! Di pantai! Di jalan raya! Di kota besar! Di pelosok pedalaman! Atau bahkan di pembaringan! Kematian datang kapan dan di mana pun ketika saatnya telah tiba.

Dan setiap umat mempunyai ajal (batas waktu). Apabila ajalnya tiba, mereka tidal dapat meminta penundaan atau percepatan sesaat pun. (Al A’raf /7: 34)

Ketiga, Allah hendak menguji bagaimana reaksi dan respon kita terhadap apapun yang diberikan oleh Allah; apakah tetap bersyukur ketika mendapat kesenangan ataukah masih sabar saat mendapat musibah; atau sebaliknya apakah bergembira sampai lupa daratan ketika mendapat kesenangan atau sedih murung berselimut durja saat mendapat musibah.

Keempat, bencana itu adalah ladang pembuktiaan sejauh mana rasa solidaritas kemanusiaan kita. Masihkah kita bisa meneteskan air mata duka ketika Yogjakarta dan Jawa Tengah berlumuran darah? Masihkah terketuk hati kita untuk memberikan sesuatu yang sangat berharga bagi upaya meringankan duka mereka yang kelaparan, kedinginan, dan kesakitan?

Jika kita mampu membaca, bencana akan menjadi ladang amal kebajikan. Sebaliknya jika tidak, maka gempa di Yogjakarta dan Jawa Tengah tak punya makna apa-apa bagi pembangunan kemanusiaan kita.

Menganti, 1 Juni 2006
Mohammad Nurfatoni

(Dimuat juga di kolom “Hikmah” pada http://www.cakrawala-print.com)

Tinggalkan komentar