Seorang jamaah masjid sedang gundah hatinya. Wajahnya tersungut kecut. Tergambar perasaan kecewa dan tertekan dari dirinya. Apa gerangan yang membuatnya begitu terpukul? Ternyata sangat sepele; sandalnya hilang! Padahal sebelum peristiwa itu terjadi, dia tidak pernah merasakan penderitaan batin seperti ketika sandalnya hilang itu.
Namun, tiba-tiba ia tertegun sesaat. Dilihatnya seorang yang berwajah berseri-seri, memancarkan kebahagiaan dari hatinya. Padahal orang itu telah kehilangan kakinya, yang mengharuskan dia memakai kursi roda.
Apa yang dilihat itu menyentak kesadarannya. ”Oh, musibah yang diderita pemakai kursi roda itu lebih berat dari pada musibah sandal hilang yang kualami. Namun, mengapa aku justru lebih menderita, sedangkan orang itu kelihatan bahagia?”
##
Jalaluddin Rakhmat dalam buku Meraih Kebahagiaan mendefinisikan musibah sebagai realitas obyektif. Kecelakaan, jatuh sakit, kehilangan harta, ditinggal mati keluarga dekat, atau tertimpa bencana alam adalah kenyataan yang tak terhindarkan. Secara obyektif kita semua akan mengatakan bahwa hal-hal seperti itu adalah benar-benar musibah.
Pertanyaannya, apakah setiap musibah harus menjadikan kita menderita? Jika musibah adalah realitas obyektif, maka penderitaan adalah realitas subyektif. Dengan definisi seperti ini, maka tidak semua bencana menyebabkan penderitaan. Menderita tidaknya kita atas musibah tergantung bagaimana kita memahami musibah itu dalam perspektif spiritual. Ternyata, seorang yang kehilangan sandal lebih menderita dari pada yang kehilangan kaki!
Filsafat Angka NOL (0)
Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) Orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata: ”innaa lillaahi wa innaa ilaihi raajiuun (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nya kami kembali)” (Al Baqarah/2: 155-156)
Menurut ayat di atas, kunci menghadapi musibah adalah sabar. Sedangkan sabar berprinsip pada doktrin: innaa lillaahi wa innaa ilaihi raajiuun. Apa yang menarik dari doktrin itu? Ternyata, menurut saya, di dalam doktrin itu tersirat bahwa manusia disimbolkan dengan bilangan nol, yaitu bilangan yang secara aritmatika merupakan lambang dari ketiadaaan (kita sesungguhnya tidak ada, kemudian diadakan oleh Allah, dan pasti akan diminta kembali oleh Allah; kita tidak ada (nol), hanya Allah yang Ada)
Nah, dengan filsafat ketiadaan itulah kita akan menghadapi musibah. Ketika musibah datang berupa sepeda motor hilang misalnya, maka jika kita berprinsip angka nol (ketiadaan), bahwa sejatinya sepeda motor itu hanyalah harta titipan Allah, maka saat Allah berkenan mengambilnya kembali (bagaimana pun cara Allah mengambilnya), tentu kita harus ikhlas. Ini akan menghilangkan penderitaan. Sebaliknya, jika kita tidak berprinsip angka nol (artinya kita berprinsip ”milikku”), kita akan merasa sangat terpukul karena kehilangan harta yang kita cintai. Maka, kita akan sangat menderita.
Filsafat angka nol juga akan mengantarkan kita untuk pandai bersyukur. H.M. Taufik Djafri (Menikmati Keindahan Allah Melalui Logika dan Tanda-Tanda, Banyumedia, 2004) merumuskan bahwa nilai ada baru terasa bermakna dan patut disyukuri, ketika kita berada dalam keadaan tidak ada (nol). Dengan kata lain kondisi tidak ada menjadi sangat penting dan sangat ”mahal” nilainya, karena berangkat dari kondisi inilah seseorang menjadi sadar betapa besar nikmat yang telah dikaruniakan oleh Allah SWT.
Kita baru merasakan betapa berharganya nilai makanan, ketika kita sedang tertimpa musibah kelaparan. Betapa mahalnya nilai kesehatan, ketika kita tertimpa musibah berupa sakit. Betapa bernilainya sepeda motor sebagai alat transportasi, saat kita kehilangannya.
Maka, musibah yang datang ketika dihadapi dengan sabar justru akan membuahkan rasa syukur. Jika kelaparan adalah penyebab timbulnya nikmat makan dan munculnya kesadaran spiritual betapa bernilainya makanan, maka musibah kelaparan adalah satu kemurahan Allah SWT yang sangat tinggi nilainya. Jika sakit adalah penyebab munculnya kesadaran betapa kesehatan adalah nikmat Allah SWT yang tak terhingga, maka musibah berupa sakit adalah karunia Allah SWT yang tak ternilai harganya. Begitu seterusnya.
Maka, apapun musibah yang ditimpakan Allah SWT pada kita, jika kita hadapi dengan sabar dan syukur, akan menjadi cara efektif untuk mendekatkan kembali diri kita (taqarrub) kepada Allah SWT.
Jadi, mengapa harus menderita saat datang musibah?
Menganti, 16 Nopember 2006
Mohammad Nurfatoni
(Juga dimuat di kolom “Hikmah” pada http://www.cakrawala-print.com)