“Saya terus berdoa dan menyebut nama Tuhan.”—Mufti Mubarok, salah satu dari 148 penumpang Boeing 737-300 Adam Air yang yang mengalami insiden saat pendaratan di Bandara Juanda Surabaya, Rabu (21/2/07); seperti dikutip Jawa Pos (22/2/07).
Kepanikan, juga pasrah. Dua kata yang mendominasi ruang psikologis para penumpang pesawat yang akhirnya ”selamat” tersebut. Kita sebut ”selamat”, karena pesawat tidak meledak. Juga karena tidak ada korban jiwa. Hanya ada yang pingsan, dan lainnya memar-memar.
Meskipun begitu, guncangan emosional sempat melanda mereka. Terbayang pesawat segera meledak. Sesuatu yang sangat wajar, karena badan pesawat sudah patah dan kepulan asap membuat ruangan kabin kian pekat; juga bau avtur (bahan bakar pesawat) yang menyengat.
”Melihat kondisi seperti itu, penumpang saling berebut minta keluar dan berteriak-teriak histeris karena takut pesawat bakal meledak,” kesaksian Edi Suranto, penumpang lainnya seperti disampaikan kepada Republika (22/2/07).
Dalam situasi seperti itu, rasa ketakutan memuncak. Bayangan kematian tiba-tiba datang. Ada yang berteriak-teriak. Panik, histeris. Tapi, beruntung mereka yang sadar—yang dalam bayangan kematian itu membuahkan kepasrahan. ”Kita berteriak-teriak juga tidak ada gunanya, jika saat itu pesawat tiba-tiba meledak,” tutur Edi, yang terus berdoa memohon keselamatan kepada Yang Mahakuasa.
Edi telah pasrah. Dalam kepasrahan itu dia sadar bahwa ajal adalah harga mati. Jika saatnya datang, kematian akan menjemput. Kematian tak bisa diundur, juga tak bisa dimajukan.
Sayang, kita tak bisa merekam bagaimana kepasrahan yang menyelimuti awak dan 85 penumpang pesawat Boeing 737-400 Adam Air jurusan Surabaya-Menado yang jatuh dari langit Sulawesi, Januari lalu. Karena tak ada satu pun yang selamat dari jemputan maut.
Tapi, rekaman video eksekusi mati Saddam Hussein di tiang gantungan 30 Desember 2006 lalu memperlihatkan dengan gamblang, bagaimana seseorang yang benar-benar sadar sedang menjemput kematian. Dan kita yakin Saddam menghampiri kematian dengan pasrah—setidaknya seperti yang terlihat dari wajahnya, juga kalimat kepasrahan syhahadatain yang diucapkannya.
Tentu, menjadi pertanyaan besar bagi kita, apakah kepasrahan hanya menemani saat bayangan kematian tiba di depan mata? Hanyakah kepasrahan muncul ketika kita dalam keadaan tidak punya kuasa apa-apa?
Kita bisa membandingkan bagaimana Saddam ketika masih ditopang oleh kekuasaan, dengan Saddam yang lehernya sedang terlilit tali kematian. Kita lihat pula wajah Soeharto kini yang sedang didera usia tua dengan Soeharto di masa kekuasaannya tempo dulu.
Mungkin tampak wajah antagonisme. Tapi beruntung mereka berdua. Juga yang lainnya—ketika bayangan kematian bisa dijemput dengan kesadaran, juga kepasrahan. Tapi bagaimana dengan Anwar Saddat, presiden Mesir, yang tiba-tiba tertembus oleh peluru kematian?
Kita memang tidak memiliki ruang untuk memilih saat-saat kematian. Bukankah kematian tidak melulu didahului oleh sakit dan penyakit. Sebab banyak yang sakit lalu sehat kembali, di samping yang akhirnya mati. Bencana pun tidak memonopoli kematian. Kita masih ingat bagaimana seorang korban gelombang Tsunami Aceh yang selamat tersangkut pohon kelapa!
Kematian adalah bukti ketidakberdayaan kita. Tiada kuasa untuk menahannya. Seperti tiadanya kuasa kita untuk mengontrol hidup dan diri kita. Karena kita memang pada dasarnya bukan apa-apa, juga bukan siapa-siapa. Hakekat kita adalah ketiadaan, dan akan kembali kepada ketiadaan—seperti doktrin inna lillaahi wainnaa ilaihii raajiuun.
Ironisnya, seringkali suasana batin ketidakberdayaan itu hanya datang di saat-saat genting, di saat krisis. Sementara saat kekuasaan dan kekuatan sedang melimpah, justru seringkali kita merasa sangat berdaya dan pongah.
Kematian bukan pilihan, melainkan kepastian. Tapi, kita tidak tahu kapan saatnya datang. Ini meniscayakan bahwa kepasrahan (pada Tuhan) adalah nafas kita. Semoga!
Menganti, 22 Pebruari 2007
Mohammad Nurfatoni
Dimuat juga pada kolom “Hikmah” pada http://www.cakrawala-print.com