Kurban, Jumpa Tuhan di Keramaian


“Kurban”,  mengutip M. Quraish Shihab, berasal dari bahasa Al Qur’an qurban, terdiri dari kata qurb yang berarti ‘dekat’ dengan imbuhan an yang mengandung arti ‘kesempurnaan’, sehingga ‘qurban’ yang diindonesiakan dengan ‘kurban’ berarti ‘kedekatan yang sempurna’.  Secara syar’i—sebagaimana tuntutan Rasulullah SAW—kurban adalah penyembelihan hewan ternak (domba, sapi, atau unta) sebagai salah satu rangkaian perayaan Idul Adha (Hari Raya Haji). Secara teologis, kurban adalah penapakan atas jejak tauhid lewat kisah “pengurbanan” Nabi Ismail oleh Nabi Ibrahim; sebuah kisah yang menunjukkan betapa mereka sanggup mempertaruhkan apa saja, demi kepatuhan mereka pada Tuhan.

Dengan memahami tiga unsur yang terkandung dalam makan kurban di atas (bahasa, syar’i, dan teologi), maka setidaknya ada tiga pemahaman penting yang tidak boleh dilepaskan dari ibadah kurban. Pertama, meskipun secara material mengandung sejumlah manfaat (dagingnya bisa dibagikan dan dikonsumsi untuk fakir miskin), tetapi sesungguhnya penyembelihan hewan kurban lebih bersifat simbolis. Kedua, sebagai simbol, tentu saja, penyembelihan hewan kurban itu membawa pesan penting (esensi), sebagaimana yang terkandung dalam bahasa dan sejarah teologis yang melandasinya. Esensi yang dimaksud adalah kurban sebagai salah satu cara ber-taqarrub (mendekatkan diri) kepada Tuhan. Ketiga, agar bisa mendekatkan diri kepada Tuhan, maka segala keegoan (baca: hawa nafsu) yang merasuki pribadi manusia harus diruntuhkan, dengan simbolisasinya: pengucuran darah dan penyebaran daging hewan kurban kepada khalayak miskin.

Kurban untuk Siapa?

Dalam berbagai kepercayaan atau agama di luar Islam, dikenal adanya tradisi persembahan (offerings), diantaranya berupa penyembelihan hewan, bahkan manusia. Upacara ini dimaksudkan sebagai bentuk persembahan material berupa darah dan daging kepada tuhan yang menjadi penguasa alam (pantai, laut, kawah, gunung, hutan, tanah). Dengan persembahan ini diharapkan tuhan tidak marah dan sebaliknya selalu memberi berkah.

Pandangan yang keliru tentang Tuhan inilah yang hendak dirombak oleh ibadah kurban. Dengan didasari oleh firman “Tidak sampai kepada Allah daging dan darahnya. Tetapi yang sampai kepada-Nya hanyalah ketaqwaanmu …” (Al Hajj/22:37), penyembelihan hewan kurban tidak dimaksudkan sebagai persembahan darah dan daging kepada-Nya, tetapi hanya sebagai alat uji sejauhmana tingkat ketaqwaan pelaku kurban itu. Nah, bentuk konkret dari pelurusan itu bisa dilihat dari praktik distribusi daging kurban, “ … lalu makanlah sebagian dari dagingnya dan beri makanlah (dengan bagian lainnya) orang fakir yang sengsara.” (Al Hajj/22:28).

Jadi, dalam ibadah kurban, tidak ada sekerat daging pun yang terbuang mubadzir, dengan dalih untuk tuhan. Tuhan tidak butuh daging. Tuhan tidak butuh makan. Sebab dia berbeda dengan makhluknya (Asy Syura/42:11).

Dengan demikian, bisa disebut jika ibadah kurban adalah sebuah penolakan atas segala bentuk mitologi Tuhan, yaitu pemitosan Tuhan menjadi sesuatu yang berbeda sama sekali dengan “realitas” asasinya. Dalam kaitan ini praktik mitologi Tuhan yang dimaksud adalah menganggap Tuhan sama dengan manusia, yang membutuhkan (persembahan) material.

Dengan menolak mitologi Tuhan, maka ibadah kurban sekaligus mengajarkan bentuk penyembahan Tuhan yang benar. Dengan mengatakan, “… tetapi yang sampai kepada-Nya hanyalah taqwamu…,” Tuhan ingin menunjukkan betapa kurban itu harus merefleksikan nilai spiritual terbaik seseorang (taqwa). Dalam Islam, nilai ketaqwaan dibangun lewat keikhlasan, yaitu sikap memuarakan seluruh aktivitas demi dan untuk Allah semata. “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku, hanyalah kepada Allah Tuhan semesta alam.” (Al An’am/6:162).

Ibadah kurban mengajarkan keikhlasan karena di samping merelakan “melepas” seekor hewan, kurban adalah penelusuran jejak ikhlas yang dasar-dasarnya telah diletakkan dengan sangat kokoh oleh sejarah teologis pengurbanan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Mereka menyambut perintah terberat sekalipun dari-Nya (menyembelih dan disembelih), demi taat atas perintah Allah (Ash Shaffat/37: 100-107).

Menyembelih Tuhan Palsu

Kalimat syahadat “laa ilaha illaallah” (tiada tuhan kecuali Allah) adalah verbalisasi sikap tauhid seseorang. Sikap tauhid menghendaki agar seseorang menolak tuhan-tuhan (palsu) sembari hanya mengakui Tuhan “asli” yang satu (Allah).

Meskipun kalimat syahadat tersebut kerapkali diucapkan, tetapi tidak jarang manusia melawan ucapannya itu sendiri. Artinya, di samping menyembah Tuhan, manusia juga menuhankan sesuatu yang bukan Tuhan sebagai tuhannya. Di antara “sesuatu bukan Tuhan” yang sering dipertuhankan manusia adalah hawa nafsu (Al Furqon/25:43 dan Al Jatsiyah/45:23). Dalam pengertian yang sederhana, penuhanan hawa nafsu adalah penurutan secara membabi buta terhadap segala keinginan bendawi manusia sehingga Tuhan dinomerduakan, dipinggirkan, dan disisihkan.

Dalam konteks sebagai simbol yang beresensikan tauhid, maka pengucuran darah hewan kurban pada dasarnya adalah penggelontoran tuhan-tuhan palsu dari kepribadian manusia. Kurban adalah penyembelihan terhadap kesewenangan, keangkuhan, keserakahan, kerakusan, kezaliman, kebiadaban, kekurangajaran, atau kebinalan yang mewujud menjadi tuhan palsu pada diri manusia. Sebab, selama tuhan-tuhan palsu itu tidak “disembelih”, maka selama itu pula manusia tidak bisa dekat dengan Tuhannya. Bagaimana bisa dekat, jika manusia memiliki kepribadian ganda: di satu sisi merasa membutuhkan Tuhan; tetapi di sisi lain justru ia berkehendak menjadi tuhan.

Dekat Tuhan di Keramaian

Dengan maknanya yang mendekatkan diri kepada Tuhan, ibadah kurban menjadi salah satu tolok ukur penting, bahwa untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, tidak selamanya harus ditempuh dengan jalan sunyi. Kurban mengajarkan bahwa pendekatan diri kepada Tuhan justru ditempuh dengan pendekatan diri kepada sesama manusia, khususnya mereka yang serba kekuarangan. Pesan seperti ini sejalan dengan sabda Rasulullah SAW, “Tidak termasuk orang yang beriman kepadaku, seseorang yang bisa tidur nyenyak dalam keadaan kenyang, sedangkan ia tahu bahwa tetangganya berbaring dalam keadaan lapar.” (HR Al Bazar).

Islam mengajarkan, jika ingin mendapatkan nikmat maka hendaklah nikmat itu disebut-sebut (disebarkan kepada orang lain) [Adh Dhuha/93:11]. Dalam kaitan ini pula kurban adalah salah satu bentuk penyebaran nikmat itu. “Sesungguhnya kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus.” (Al Kautsar/108:1-3).

Dengan demikian, ibadah kurban mengajarkan bahwa untuk bisa dekat dengan Tuhan, tidak cukup dengan menempuh jalan spiritual, sebab ibadah kurban bukan sekedar ritus spiritual seseorang; bukan hanya cara untuk memperolah kepuasan batin; bukan juga kesempatan bagi orang kaya untuk memamerkan kesalehan dengan harta yang dimiliki. Kurban adalah jalan keseimbangan antara nilai spiritual (ketaatan dan keikhlasan kepada Allah) dan jalan sosial (berbagi nikmat dengan yang lain).

Jalan sosial itu harus ditempuh di antara nilai-nilai spiritual. Allah mengecam orang-orang yang tidak menjaga keseimbangan jalan itu. “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang-orang yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberikan makan orang-orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang shalat, yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya’ dan enggan (menolong dengan) barang berguna.” (Al Ma’un/107:1-7).

Kurban, bukan Korban

Jika kurban adalah sarana mendekatkan diri kepada Tuhan, maka korban adalah buah dari sikap manusia yang sok Tuhan. Ketika manusia merasa paling berkuasa dengan kedudukan dan jabatan, sebisa mungkin mereka akan menimbulkan korban. Maka kita bisa melihat banyak sekali korban pembangunan (baca: penggusuran). Ketika manusia dengan harta-kapitalnya merasa paling berkuasa, maka kita lihat korban-korban rente berjatuhan. Dengan sistem ribawi yang dibangunnya, yang punya modal semakin kaya, sementara yang miskin semakin terpuruk. Begitulah seterusnya. Tak heran jika di sekitar kita selalu berjatuhan korban. Ada korban (rekayasa) politik; korban kebebasan (baca: kebablasan) pers; korban pelecehan seksual; korban hegemoni Amerika Serikat; korban pemilu; dan seterusnya.

Kurban sebenarnya bukan sekedar sedekah berupa seekor domba kepada fakir miskin. Kurban bukan pula ajang pesta makan daging. Kurban bukan simbol pengorbanan atas yang tak berdaya—atas nama pembangunan, sekalipun. Tetapi kurban adalah simbol perjuangan mengangkat para korban; yaitu mereka yang tertindas, dan terdzalimi; yang terdesak oleh roda pembangungan dan terpinggirkan oleh hegemoni kekuasaan.

Kurban adalah simbol penyelamatan korban-korban dari tuhan-tuhan palsu; yang bisa jadi berwujud “aku”: egoku, nafsuku, kekuasaanku, jabatanku, kekayaanku, kepintaranku, koranku, majalahku, kelompokku, golonganku, jamaahku, partaiku, bangsaku, negaraku, ….!

Mohammad Nurfatoni

Ahktivis FOSI (Forum Studi Islam) Surabaya

Khutbah Idul Adha di Wisma Sidojangung Indah, Gresik – Dzulhijjah 1425 / Januari 2005

4 komentar

  1. @ syauki

    Tentu. Karena sejarah kurban Ibrahim as dan Ismail as adalah contoh penting bagaimana kesuksesan orang tua dalam mendidik anak.

    Ismail as mendemonstrasikan bagaimana seorang anak taat pada Allah, dan sekaligus pada orang tua.

    Semoga lain kali bisa kami tulis secara lebih mendalam.

    Terima kasih.

    Suka

  2. bagaimana kalau yang kurban atas nama perusahaan? apakah dibenarkan? Beberapa tahun terakhir beberapa perusahaan menyumbangkan/membagi-bagikan sapi/kambing kepada masyarakat untuk dijadikan hewan kurban

    Suka

  3. Terima kasih, telah berkunjung dan memberi komentar.

    Pada dasarnya, yang “berkewajiban” kurban, juga zakat adalah pribadi. Dalam konteks perusahaan, pribadi dimaksud adalah pemilik atau pemegang saham.

    Suka

Tinggalkan komentar