SEORANG wanita sedang mencaci-maki pembantunya di bulan Ramadhan. Kabar ini didengar Rasulullah SAW. Beliau lalu mengutus seseorang untuk membawa makanan dan memanggil perempuan itu. Lalu Rasulullah SAW bersabda, “Makanlah makanan ini!” Perempuan itu menjawab, “Saya sedang berpuasa ya Rasulullah.” Rasulullah lalu menegurnya, “Bagaimana mungkin kamu berpuasa padahal kamu mencaci-maki pembantumu”. Sesungguhnya puasa adalah sebagai penghalang bagi kamu untuk tidak berbuat hal-hal yang tercela. Betapa sedikitnya orang yang berpuasa dan betapa banyaknya orang yang kelaparan.”
Riwayat di atas menarik untuk kita kaji, karena beberapa hal. Pertama, Islam yang di antaranya dipraktikkan lewat ibadah puasa, sangat menghormati terbangunnya hubungan sosial yang harmonis. Sekalipun hubungan itu adalah antara majikan dengan pembantu, yang pada realitas umumnya selalu didominasi oleh sang majikan (artinya majikan bisa sekehendak hati memperlakukan pembantu).
Dalam Islam, orang yang berpuasa bukan saja diukur dari parameter fisikal (tidak makan, minum, dan berhubungan suami istri), melainkan juga dinilai dari perilaku sosialnya. Bahkan puasa menjadi semacam garansi bagi pelakunya untuk tidak berbuat hal-hal yang merugikan.
“Sesungguhnya puasa adalah sebagai penghalang bagi kamu untuk tidak berbuat hal-hal yang tercela,” sabda Rasulullah SAW. Apa artinya? Ternyata Islam sangat berkepentingan untuk membangun masyarakat yang beradab.
Kedua, dengan prinsip seperti itu, tentu menjadi tanda tanya besar ketika muncul tuduhan dari pihak-pihak lain, bahwa Islam atau setidaknya kelompok umat Islam dikait-kaitkan dengan berbagai tindakan terror, menakut-nakuti, merusak, dan membunuh manusia tanpa landasan syar’i. Jangankan berbuat seperti itu, mencaci-maki pembantu saja sangat dibenci oleh Islam. Oleh karena itu sangat tidak beralasan jika (umat) Islam dijadikan hantu atas segala kejahatan terorisme, seperti yang kini sedang difitnahkan itu.
Ketiga, jika kita mau jujur, kenyataan yang justru terjadi adalah sebaliknya, sering kali orang Islam justru mendapat teror. Contoh paling sederhana adalah munculnya kebiasaan membunyikan petasan setiap kali bulan Ramadhan tiba. Tentu menyalakan petasan di saat puasa Ramadhan itu bukan bagian dari tradisi Islam.
Maka kita pantas bertanya, apa sebenarnya dibalik “budaya” petasan di bulan Ramadan? Sementara, pihak yang berwenang, meskipun secara normatif melarangnya, terlihat tidak bersungguh-sungguh dalam memberantasnya.
Contoh lain teror yang diterima umat Islam di saat bulan Ramadan adalah masih ngototnya para pelacur dan pengelola hiburan malam untuk buka di bulan Ramadan, meskipun pihak yang berwenang sudah mencoba meminimalisasi dengan beberapa aturan.
Contoh ini tidak dimaksudkan untuk berpikir salah bahwa di luar bulan Ramadan kemaksiatan diperbolehkan. Tidak adanya kemaksiatan di seluruh bulan adalah bagian dari keinginan kita bersama. Namun, tuntutan maksimal itu kelihatannya masih sulit dijalankan pemerintah, yang lebih mengedepankan pragmatisme ekonomi ketimbang penjagaan nilai-nilai.
Oleh karena itu tuntutan minimal adalah pudarnya kebiasaan jaga malam dan membunyikan petasan setiap kali bulan Ramadan tiba. Tentu menyalakan petasan di saat puasa Ramadhan itu bukan bagian dari tradisi Islam.
Maka, kita patut bertanya, mengapa kebiasaan itu justru muncul di saat umat Islam seharusnya membutuhkan ketenangan, kekhusukan, dan suasana kondusif dalam menjaga kesabaran. Jika mencaci-maki pembantu saja dilarang, lantas bagaimana dengan bunyi petasan yang meneror itu?
Namun tuntutan vang minimul ini pun masih ditentang oleh beberapa pihak yang mengaku dari berbagai LSM, dengan alasan-alasan pragmatisme tanpa bingkai nilai-nilai agama. Maka kita pun bertanya, bukankah ini teror bagi umat Islam.
Terakhir, jika umat Islam yang sudah dibiasakan ibadah puasa ini tidak melakukan teror, semestinya pihak-pihak lain juga tidak menteror umat Islam.
Mohammad Nurfatoni
(Dimuat di Surabaya News—kini Surabaya Post—tahun 2002)