Sekalipun manusia adalah “puncak” ciptaan Allah, tetapi sesungguhnya manusia tidak diperkenankan untuk memposisikan dirinya lebih jauh dari itu. Diantara perilaku manusia yang telah menyimpang dari desain itu adalah sikap eksploitasi manusia terhadap alam. Sebab, betapa pun alam ini memang benar berkedudukan lebih rendah dari manusia, namun pada dasarnya seluruh alam dan manusia adalah samasama ciptaan Allah. Relevan dengan ini ialah penegasan Allah dalam surat Al An’am/6:38, “Tidaklah seekor pun binatang yang melata di bumi, dan tidak pula seekor pun burung yang terbang dengan kedua sayapnya itu melainkan umat-umat seperti kamu juga“.
Ketidakbolehan manusia melakukan eksploitasi terhadap alam bukan saja karena alam sama-sama ciptaan Allah, melainkan juga karena alam adalah makhluk Allah yang selalu bertasbih, “Seluruh langit yang tujuh dan bumi bcrtasbih memuji-Nya, dan juga makhluk hidup di dalamnya. Dan tiada sesuatu apa pun kecuali bertasbih memuji-Nya, tapi kamu (manusia) tidak mengerti tasbih mereka” (AI Isra’/17:44).
Oleh karena itu, sekalipun manusia sebagai “puncak” ciptaan Allah, dan sekalipun alam dibuat lebih rendah (taskhir) agar manusia bisa memanfaatkannya, namun hubungan manusia terhadap alam harus disertai sikap rendah hati yang sewajarnya, dengan melihat alam sebagai sumber ajaran dan pelajaran antuk menerapkan sikap tunduk kepada Allah. Manusia harus menyertai alam sekitarnya dalam bertasbih memuji Allah, antara lain dengan memelihara alam itu dan menumbuhkannya ke arah yang lebih baik (islah), dan bukannya melakukan perusakan dan kerusakan di bumi (fasad fi al-ardh: Ar Rum/30:41).
Manusia Tuhan, Tuhan Manusia
Penyimpangan lain terhadap desain Tuhan bahwa manusia adalah “puncak” ciptaan-Nya adalah ketika manusia menjadikan dirinya atau menjadikan manusia lain sebagai Tuhannya.
Beberapa sikap dan sosok yang pernah dan mungkin terjadi dalam hubungannya manusia sebagai Tuhan adalah, pertama, penguasa mempertuhankan dirinya atau rakyat mempertuhankan penguasanya. Bukti fenomenal yang berkaitan dengan ini misalnya bisa kita lihat dari sejarah penuhanan Fir’aun. Seperti kita ketahui, sejarah penuhanan Fir’aun terjadi oleh dua hal, (1) keinginan Fir’aun sendiri untuk dipertuhan rakyatnya. “Dan berkata Fir’aun: Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku …” (AI Qashash/28:38). (2) keinginan rakyat, baik terpaksa atau sengaja. Penuhanan dari rakyat ini terjadi karena mereka tunduk tanpa reserve kepada Fir’aun, sekalipun Fir’aun amoral, korup, dan menindas.
Tentu saja, proyek penuhanan seperti Fir’aun ini bisa saja terjadi pada penguasa lain, meskipun mungkin penguasa itu tidak berani secara eksplisit menyebut dirinya sebagai Tuhan seperti yang dilakukan Fir’aun. Faktor utama penyebab terjadinya penuhanan penguasa adalah ketika penguasa membangun kemutlakan-kemutlakan: kekuasaannya menindas, kepemimpinannya otoriter, kata-katanya adalah sabdo pandito ratu; sementara rakyat serba takut: takut berbicara, takut berpendapat, takut berbeda, takut berbuat, takut mengkritik, takut hidup di luar kekuasaan penguasa.
Kedua, manusia mempertuhankan sosok terdekatnya. Proyek penuhanan seperti ini terjadi jika manusia menjadikan sosok-sosok itu lebih dari segala-galanya dibandingkan dengan Allah, misalnya dalam hal kecintaan. “Dan di antara manusia ada orang-orang yang menjadikan selain Allah sebagai tandingan-tandingan [dalam ketuhanan]; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah..:” (Al Baqarah/2:165).
Siapa saja sosok-sosok manusia yang berpeluang dipertuhankan manusia itu, Allah menjelaskannya dalam Al Furqan/9:24, “Katakanlah: Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri kamu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu kuatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya, dan berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusannya …“. Jadi menurut Al Qur’an siapa saja bisa kita pertuhankan jika mereka lebih kita cintai, kita pentingkan, kita takuti sehingga mereka mengalahkan kecintaan, kepentingan, dan ketakutan kita kepada Allah.
Sementara orang yang benar tauhidnya, pasti akan “menempatkan” Allah di atas segala-galanya; tidak saja menyembah-Nya dalam ritual, melainkan juga menuruti segala perintahnya, meninggalkan segala larangannya. Itulah yang disebut tunduk-pasrah kepada Allah (islam).
Jadi, orang yang bertuhan secara benar akan bersama-sama dengan alam raya bertasbih kepada-Nya!
Mohammad Nurfatoni
Dimuat Buletin Jumat Hanif, No. 41 Tahun ke-4, 5 Mei 2000