Menurut desain Allah, manusia adalah “puncak” ciptaanNya (At Tiin/95:4). Desain yang demikian itu menempatkan seluruh alam berada dalam martabat yang lebih rendah daripada manusia.
Direndahkannya (bukan dihinakan) kedudukan alam di bawah manusia ini dalam Islam dikenal dengan konsep taskhir (dari kata-kata sakhkhara, merendahkan atau menundukkan), Dan Dia (Allah) merendahkan bagi kamu semua apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi; seluruhnya dari Dia. Sesungguhnya dalam hal itu ada tanda-tanda bagi mereka yang berpikir (AI Jatsiyah/43:13).
Konsep taskhir ini, seperti dijelaskan oleh ayat di atas, mengandung “tanda-tanda”, artinya ada maksud-maksud tertentu yang diinginkan oleh Allah untuk ditangkap manusia. Di antara maksud yang bisa kita ungkap adalah, pertama, agar alam bisa dimanfaatkan oleh manusia. Tanpa ditundukkan oleh Allah, tentu manusia akan mengalami kesulitan untuk memanfaatkannya. Jadi, dengan kata lain, agar bisa dimanfaatkan oleh manusia maka alam terlebih dulu dijinakkan oleh Allah. Sinar matahari misalnya, yang dari asalnya bersuhu sangat tinggi bisa sampai ke bumi dalam suhu yang sesuai dengan kehidupan manusia karena telah dijinakkan oleh Allah dengan berbagai lapisan bumi.
Kedua, dengan membuat alam ini lebih rendah daripada manusia, maka alam ini menjadi obyek yang terbuka bagi manusia. Diantara obyek yang dimaksud adalah alam sebagai sumber ilmu pengetahuan.
Manusia bisa “memungut” ilmu pengetahuan dari alam karena Allah telah membuat keserasian, keharmonisan, dan ketertiban pada diri alam. Itulah yang disebut dengan sunnatullah [hukum (Allah di) alam]. Ilmu tentang gaya grafitasi bumi misalnya bisa diketemukan Isaac Newton akibat pola keserasian alam yang terjadi berulang-ulang; bahwa setiap benda akan jatuh ke bawah (bumi). Oleh karena itu sangat tepat penggunaan nama alam bagi jagad raya ciptaan Allah ini. Nama alam itu sendiri berasal dari bahasa Arab “alam” yang satu akar kata dengan “ilmu (ilm, pengetahuan) dan “alamat” (alamoh, pertanda).
Ketiga, dalam kaitan satu akar kata dengat “alamat” (pertanda), kita juga bisa menangkap bahwa ditundukkannya alam bagi manusia mengandung maksud bahwa alam ini adalah alamat atau pertanda bagi manusia amok lebih mengenal, dekat, dan tunduk kepada Allah. Sesungguhnya dalam penciptaan seluruh langit dan bumi (jagad raya) pastilah terdapat ayat-ayat bagi mereka yang berakal budi. Yaitu mereka yang selalu ingat kepada Allah, baik pada saat berdiri, saat duduk, maupun saat berada pada lambung-lambung mereka (berbaring), lagi pula memikirkan kejadian seluruh langit dan bumi ini, (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciplakan ini seraya secara batil. Maha Suci Engkau. Maka lindungilah kami dari azab neraka” (Ali Imran/3:191).
Dengan memahami konsep taskhir tersebut, akan terlihat bahwa manusia yang paling tolol adalah mereka yang mengangkat alam dan gejala alam ke tingkat yang lebih tinggi dari semestinya menurut desain Allah, dalam bentuk mitologi terhadap alam. Seperti kita ketahui, mitologi terhadap alam akan melahirkan sikap pemujaan dan pendewaan terhadap alam. Inilah yang disebut dengan syirik. Padahal, dalam desain Allah, alam berkedudukan lebih rendah di bawah manusia. Manusia tidak pantas takut, untuk kemudian tunduk, kepada alam.
Ketololan manusia dalam hubungannya dengan alam, tidak saja terlihat dalam bentuk mitologi alam secara tradisional misalnya yang terekspresi lewat pemujaan-mistis pada alam dan gejala alam, melainkan juga terlihat dalam praktik perburuan manusia secara mambabi buta terhadap materi (kebendaan). Sebab dalam posisi seperti itu, pada dasarnya manusia telah diperbudak oleh alam (materi). Manusia yang seharusnya mengendalikan alam justru dikendalikan oleh alam. Inilah yang dimaksud tentang fenomena manusia telah mendewa-tuhankan materi (alam), yaitu menjadikan materi sebagai segala-galanya. Bagaimana bisa dinalar oleh akal sehat, jika manusia yang seharusnya berkedudukan terhormat harus menjadi budak materi.
Perilaku manusia yang mempertuhankan alam ini akan menjauhkan manusia darijati dirinya sebagai manusia, dan pada gilirannya akan menjauhkan dirinya dari Tuhannya. Hal ini terjadi karena manusia akan menghalalkan segala cara; tidak lagi peduli terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai ketuhanan. Lihatlah sosok-sosok mereka seperti ini; politisi yang “memakan” kesetiaaan kawan sendiri, pengusaha yang “memakan” hak-hak buruhnya, pemborong yang “memakan” anggaran aspal, penguasa yang “memakan” penderitaan rakyat, pers yang “memakan” dukungan pembacanya.
Perilaku-perilaku seperti itu, tentu, sangat berbeda dengan perilaku manusia yang melihat kedudukan alam secara proporsional. Mereka akan alam sesuai dengan asas kewajaran, tidak mendewa-dewakan, tidak memitoskan, cerdik pandai karena termotivasi untuk memahami sunatullah, semakin dekat kepada Allah sebagai pencipta alam sambil berucap rabbana ma khalaqta haada bathilan subhanaka (Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan ini semua secara sia-sia. Maha Suci Engkau!).
Mohammad Nurfatoni
Dimuat Buletin Jumat Hanif, No. 40 Tahun ke-4, 28 April 2000