Maksiat Tutup di Bulan Ramadhan?

Setiap (menjelang) Ramadhan, kita selalu diributkan dengan wacana harus-tidak ditutupnya berbagai tempat yang berkaitan dengan perilaku maksiat (lokaliosasi pelacuran, panti pijat, diskotek, night club). Dalam wacana itu kita ketemukan banyak pendapat yang pro; tetapi ada pula yang kontra.

Sepintas alasan-alasan yang dikemukakan, baik yang pro maupun yang kontra, sangat logis. Akan tetapi jika ditelaah lebih jauh, akan kita temukan kelemahan-­kelemahannya.

Dari sekian alasan yang pro terhadap penutupan itu salah satunya adalah bahwa bulan suci Ramadhan dan kaum Muslim yang berpuasa di dalamnya, harus dihormati dengan jalan menghentikan segala pergelaran perilaku maksiat.

Menarik untuk menelaah sejauh mana alasan di atas bisa kita diterima. Memang, pada saat umat Islam menunaikan ibadah di bulan Ramadhan, diperlukan suasana kondusif yang memungkinkan dijalankannya puasa dan ibadah lainnya secara khusu’. Maka segala gangguan, terutama yang berbau maksiat, harus dijaulai sejauh-jauhnya.

Ada kelemahan mendasar pada argumentasi di atas. Seolah-olah pergelaran kemaksiatan di luar bulan Ramadhan diperbolehkan, bahkan diberi ruang yang luas (argumentasi tidak logis seperti ini menimpa juga pada para penyeru penghentian serangan AS kepada Afghani­stan pada saat bulan Ramadhan; jadi, di luar bulan ini, sah-sah saja AS memborbardir Afghansitan?).

Kita, tentu, harus pro jika tempat-tempat digelarnya kemaksiatan ditutup di bulan Ramadhan; tetapi sekali-­kali penutupan itu jangan didasarkan pada Ramadhan­nya, melainkan bahwa segala bentuk kemaksiatan memang harus dijauhkan-dijauhi; tak peduli di bulan Ramadhan atau bulan-bulan yang lain. Sebab, sekali lagi jika Ramadhan dijadikan alasan penutupan itu, akan menimbulkan kerancuan berpikir: bahwa di luar bulan Ramadhan kemaksiatan menjadi halal (argumentasi seperti ini tercermin misalnya dari pernyataan “Jangan berbohong saat berpuasa Ramadhan ; jadi di luar Ramadhan boleh berbohong?).

Sementara itu, kalangan yang kontra atas penutupan tempat-tempat maksiat, agar bisa menggolkan tujuannya, mengajukan berbagai argumentasi yang kelihatan logis dan manusiawi. Akan tetapi jika kita tinjau lebih jauh, maka semuanya tidak logis dan (justru) tidak manusiawi. Pertama, argumentasi bahwa pelacuran sudah ada sepanjang sejarah manusia. Dalam ilmu logika cara berpikir ini disebut fallacy of retrospectiv determinism yaitu kerancuan berpikir yang menjadikan sesuatu yang secara historis memang selalu ada; tidak bisa dihindari dan merupakan akibat dari sejarah yang cukup panjang. (Reformasi, Revolusi, atau Manusia Besar, Jalaluddin Rakhmat, Rosdakarya,1999). Karena pelacuran dianggap sudah ada sejak dulu, maka sia-sia saja usaha untuk memberantasnya, karena itu perlu dilokalisasi; dan tidak perlu diusik-usik, meskipun Ramadhan tiba. Jika cara berpikir seperti ini diikuti maka memang tidak perlu ada usaha-usaha pemberantasan kemiskinan, pencegahan peperangan, atau perpecahan di kalangan umat, sebab bukankah itu ada rujukan sejarahnya?

Kedua, argumentasi bahwa para pelacur atau pegawai (tepatnya pengusaha) tempat-tempat maksiat itu akan kesulitan mencari nafkah (apalagi menjelang Lebaran), jika pada Ramadhan tempat “kerja” mereka ditutup?

Argumentasi itu kelihatannya manusiawi sekali. Tetapi sesungguhnya justru menjerumuskan mereka dari sisi kemanusiannya. Sisi kemanusiaan mana yang membolehkan orang melakukan transaksi jual-beli diri (melacur).

Sedangkan dalam pandangan Islam, pelacuran (zina) adalah tindakan kriminal. Oleh karena itu pelanggarnya akan dikenai sanksi (pidana yang berat). Dalam konteks seperti ini, pelacuran hampir setara dengan tindak kriminal pembunuhan atau pencurian.

Jika para pembela pelacuran itu konsisten terhadap alasan “makan apa mereka jika tempat prostitusi ditutup” menjadi alasan kemanusiaan, maka seharusnya mereka pun harus membela para pencuri (koruptor) atau pembunuh (bayaran). Sebab jika mereka dilarang; meraka makan apa?

Bolehlah alasan ekonomi dikemukakan. Namun pembelaan terhadap pelacuran atas dasar ekonomi (makan atau perut) terlalu mengada-ada dan justru menjadi pembenaran bagi para pelacur untuk terus melacur (saya sangat menolak pelacur disebut wanita tuna susila [WTS] ataupun pekerja seks komersial [PSK]). Sementara melacur itu sendiri adalah perbuatan hina-dina dan jauh dari nilai-nilai fitrah manusia (yang berketuhanan dan pro kebenaran; karena itu pula, melacur bukanlah hak asasi). Maka agak aneh juga jika penutupan tempat maksiat itu menjadikan mereka takut tidak memperoleh bekal Lebaran (Lebaran dari hasil melacur?); sementara Lebaran memiliki semangat kembali kepada kebenaran.

Pertanyaannya, apakah memang tidak ada pekerjaan lain; sekalipun yang tidak membutuhkan ketrampilan selain dengan cara melacurkan diri! Saya kira, jika ada kemauan keras dan tidak adanya dukungan, semacam legalisasi lokalisasi pelacuran oleh pemerintah atau “provokasi” dari organisasi non pemerintah bahwa pelacuran itu sah dan merupakan hak asasi, maka masih banyak pekerjaan yang bisa dilakukan.

Terakhir, meskipun beberapa pemerintah kota sudah membuat keputusan untuk menutup tempat-tempat maksiat di bulan Ramadhan, tetapi jangan terlalu berharap bahwa kebijakan itu akan mendapat simpati dari umat Islam yang mau berpikir jernih. Lain persoalannya jika penutupan itu dilanjutkan pada bulan-bulan berikutnya, sehingga sepanjang tahun tidak ada lagi pagelaran kemaksiatan.

Mohammad Nurfatoni

Dimuat di Buletin Jumat Hanif No. 15 Tahun ke-6, 9 Nopember 2001