Sampai tulisan ini dibuat, novel berjudul “Ayat-ayat Cinta” karya Habiburrahman El Shirazy telah terjual di pasaran lebih dari 450.000 buku [Jawa Pos, 23/3/08]. Pada saat yang lain, film dengan judul yang sama hasil adopsi novel tersebut telah ditonton lebih dari 3.000.000 penonton film di bioskop. Sebuah rekor baru jumlah penonton film bioskop di Indonesia, yang sebelumnya dipegang oleh film bertema cinta remaja seperti “Eiffel I’m in Love” (2,7 juta penonton) dan “Ada Apa dengan Cinta” (2,5 juta penonton) [Harian Seputar Indonesia, 23/3/08].
Ada yang menarik? Tentu. Pertama, rekor fantastis itu membelalakkan mata kita bahwa “syariah” ternyata laku dijual di Indonesia. Untuk perbandingan saja, film yang mengambil tema (cinta) yang didasarkan syariah Islam ini jauh meninggalkan rekor film bertema mistik-horor (“Jelangkung”: 1,6 juta penonton atau “Kuntilanak”: 1,5 juta penonton), dan film bertema seks (“XL [Antara, Aku, Kau, dan Mak Erot”, “Kawin Kontrak”, atau “DO [Droup Out]”, yang malah tidak masuk 10 besar film penyedot penonton versi Harian Suara Indonesia.
Sementara itu novel dengan oplag 450 ribu, adalah bukti yang lain. Rekor itu mungkin setara dengan novel impor Harry Potter atau “Laskar Pelangi” Adrea Herata, yang juga fenomenal dan perlu mendapat apresiasi tersendiri.
Jadi, ini menjadi cacatan dengan huruf tebal bagi para penerbit buku dan para produser film, bahwa tema syariah di Indonesia ternyata tidak kalah laku dibanding dengan tema seks, kekerasan, atau mistik. Ini pula yang telah dibuktikan oleh Deddy Mizwar dengan “Kiamat Sudah Dekat” dan “Para Pencari Tuhan”, dua sinetron yang diminati penonton, dan karena itu menguntungkan secara bisnis. Kedua sinetron itu punya rating bagus dan mengundang banyak iklan (jika kita sepakat rating dan iklan menjadi tolok ukuran kesuksesan).
Muncul kesimpulan bahwa meskipun tema syariah terasa garang di telinga kebanyakan masyarakat kita, tapi jika ditampilkan dengan cerdik, menawan, melalui kerja keras, akan mengundang minat, dan lebih jauh akan menjadi instrumen tersendiri dalam dakwah.
Bayangkan, tema poligami yang begitu mudah memerahkan telinga, eh … ternyata lewat “Ayat-ayat Cinta” justru dinikmati dan diterima.
Kedua, fenomena di atas sekaligus menjadi jawaban nyata atas perdebatan panjang tentang perlu-tidaknya regulasi di bidang seni dan budaya berkaitan dengan rambu-rambu pornografi, seks, dan kekerasan. Dimulai dari pertarungan melelahkan dalam pembahasan RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi di parlemen yang berimbas pada berbagai demonstrasi elemen masyarakat yang menentang maupun mendukungnya, (meski sampai kini belum tuntas juga).
Tidak cukup itu, pertarungan itu berlanjut pada uji material UU No. 8 tahun 1992 yang mengatur keberadaan Lembaga Sensor Film (LSF) pada Mahkamah Konstitusi. Apa yang hendak saya katakan? Jika kita memiliki seniman, budayawan, sastrawan, atau apalah namanya semacam Habiburrahman El Shirazy dan pekerja film, seperti Hanung Bramantyo yang kali ini lagi tertarik terhadap tema syariah, kita tidak perlu lagi berbagai macam regulasi yang membatasi. Toh, para seniman itu sudah punya kesadaran spiritualitas internal.
Kita perlu regulasi karena ternyata kesadaran spiritual itu belum merata. Meski ada penulis novel semacam Asma Nadia yang menggeluti tema spiritualitas perempuan dan pernikahan, ternyata kita pun masih punya Djenar Maesa Ayu, yang masih suka mengambil tema vulgar tentang kelamin dan seks dalam cerpen-cerpennya.
Kita perlu regulasi karena ternyata kita tak hanya punya pekerja film semacam Deddy Mizwar melainkan masih memiliki pekerja film yang berpikir pintas bahwa karya yang artistik hanya bisa diekspresikan lewat seks, mistik, dan kekerasan. Lahirnya film-film semacam “XL [Antara, Aku, Kau, dan Mak Erot”, “Kawin Kontrak”, atau “DO [Droup Out]”, “Hantu Ambulance”, “Kuntilanak”, “40 Hari Bangkitnya Pocong”, “Kesurupan”, adalah bukti masih belum cerdasnya otak para produser dan pekerja film yang membidani kelahiran film itu dalam membaca peluang bisnis yang spektakuler.
Kesadaran atau Trend?
Terus terang, meskipun saya terjangkiti perasaan senang karena tema-tema syariah kini menjadi primadona, ada sejumput kekuatiran bahwa hal itu bukan lahir dari munculnya kesadaran syariah atau spiritual yang mendalam, melainkan hanya sebuah kecenderungan sesaat. Istilahnya mengikuti trend pasar.
Saya jadi agak geli ketika melihat rak-rak toko buku yang dijejali oleh judul-judul novel yang mengandung kata “cinta”, menyusul suksesnya “Ayat-ayat Cinta”. Sesuatu yang logis juga jika ditanyakan benarkan film “Ayat-ayat Cinta” adalah hasil karya seni yang lahir dari kesadaran syariah? Apakah bukan semata karena melihat peluang sukses yang diboyong oleh novel laris itu?
Lebih jauh lagi adalah pertanyaan yang menyangkut perbedaan antara kehidupan nyata dengan dunia imajinasi film. Benarkah film “Ayat-ayat Cinta” adalah contoh produk seni yang islami, jika dilihat dari sisi bahwa syariah yang ada di film hanyalah sandiwara belaka. Bukankah beberapa pemainnya tidak, atau katakanlah belum, berperilaku seperti yang digambarkan dalam film. Misalnya dalam film digambarkan betapa hubungan laki-perempuan dalam Islam itu dibatasi oleh norma-norma mahram dan hijab, lantas apakah para pemainnya di luar film juga terikat dengan norma itu?
Pertanyaan-pertanyaan di atas tentu menjadi bahan interospeksi, bahwa pencapaian spiritualitas atau pelaksanaan syariah, khususnya dalam karya seni masih merupakan proses panjang yang membutuhkan pendakian lebih tinggi dan pendalaman lebih masuk. Semoga!
Menganti, 24 Naret 2008
Mohammad Nurfatoni
Aktivis FOSI (Forum Studi Islam) Surabaya
Tulisan ini telah dimuat oleh Majalah Muslim, edisi bulan April 2008.
Suka baca?
SukaSuka
@ Sang Penulis
Bukankah untuk bisa menulis [baik], harus banyak membaca.
Jadi, suka atau tidak, membaca harusnya menjadi kebutuhan kita.
Makasih komentarnya!
SukaSuka