Membaca Peluang Golput Pilgub Jatim

Meskipun tenggelam oleh hirup pikuk pesta kemenangan yang diraih oleh pasangan gubernur dan wakil gubernur dalam beberapa pilkada terakhir, ternyata angka golput (golongan putih, sebutan bagi mereka yang tidak menggunakan hak pilihnya) cukup mencengangkan.

Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menemukan angka golput sebesar 45,25 persen pada pemilihan gubernur (pilgub) Jateng (Jawa Pos, 24/6/08). Artinya dari sekitar 25,86 juta penduduk Jateng yang terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT), sebanyak 11.701.650 orang tidak menggunakan hak suaranya.

 

Jika angka golput itu kita bandingkan dengan prosentase kemenangan pasangan Bibit-Rustriningsih versi quick count LSI yang mencapai 44,42 persen dari total 54,75 persen suara sah pemilih, yang berarti setara dengan 6.289.139 orang, maka golput adalah “pemenang” pilgub Jateng.

 

Selain pilgub Jateng, tingginya angka golput juga kita dapatkan pada pilgub Sumut (40 persen) dan pilgub Jabar (32,6 persen). Pertanyaannya adalah, apakah pilgub Jatim yang akan diselenggarakan pada 23 Juli 2008 juga akan mengalami hal yang sama, yakni besarnya angka golput?

 

Apatisme Politik

Meskipun ada beberapa alasan teknis atas tidak digunakannya hak suara bagi mereka yang memilih golput, kecenderungan tingginya angka golput pada banyak pilkada menunjukkan adanya hal-hal substantif-politis. Salah satu hal yang bisa kita baca dari fenomena golput adalah munculnya apatisme politik masyarakat.

 

Setidaknya ada dua faktor yang bisa kita baca sebagai hal yang melatarbelakanginya. Pertama, masyarakat sudah mulai jenuh dengan berbagai pesta demokrasi yang silih berganti harus diikuti. Bagi masyarakat desa, pesta demokrasi sudah dimulai sejak pemilihan kepala desa. Kemudian disambung dengan pemilihan kepada daerah tingkat kabupaten dan provinsi. Sementara pemilihan umum dan pemilihan presiden adalah agenda demokrasi lima-tahunan yang juga ‘antri’ menunggu mereka.

 

Bahkan tak cukup itu saja, bagi sebagian daerah, pesta demokrasi sudah dimulai dari pemilihan Ketua RT dan Ketua RW secara langsung. Maka setidaknya dalam siklus lima tahunan, masyarakat dihadapkan pada 7 pesta demokrasi.

 

Kedua, ternyata gegap gempita politik yang tercermin dari banyaknya pesta demokrasi itu tidak serta merta berhubungan langsung dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Mungkin masyarakat akan tetap bersemangat untuk menggunakan hak pilihnya jika partisipasi politiknya itu memiliki imbas terhadap kehidupan mereka. Masalahnya, beberapa pengalaman menunjukkan, partisipasi politik masyarakat dalam pemilu legislatif, pilpres, pilkada, atau pilkades itu lebih termaknai sebagai jalan lempang bagi wakil rakyat atau pemimpin untuk meraih kesuksesan pribadinya. Masyarakat seringkali hanya dibutuhkan saat penggalangan suara tetapi dilupakan, bahkan dikhianati, ketika kursi empuk sudah berhasil diduduki. Janji-janji manis saat kampanye menguap begitu saja.

 

Tentu tidak boleh dilupakan bahwa ‘keberanian’ masyarakat untuk menjadi golput tidak lepas dari kebebasan politik yang berhasil dikembangkan oleh ‘Orde Reformasi’. Dalam suasana tanpa tekanan politik maupun militer seperti yang pernah terjadi pada pemilu jaman Orde Baru, masyarakat kini benar-benar sadar bahwa memilih adalah hak dan bukan kewajiban. Maka mereka menjadi sangat independen untuk (tidak) menggunakan hak politiknya itu.

 

Peluang Golput Pilgub Jatim

Jika apatisme politik seperti diuraikan di atas adalah gejala umum masyarakat Indonesia, maka peta golput pada pilgub Jatim tidak akan jauh berbeda dengan pilgub Jateng, Jabar, atau Sumut. Artinya prosentase angka golput pada pilgub Jatim masih akan berkisar antara 30-45 persen.

 

Tapi, rasanya tidak fair jika kita membaca peluang golput hanya berdasarkan kecenderungan umum, tanpa melihat kemungkinan-kemungkinan spesifik yang akan terjadi pada pilgub Jatim.

 

Pada pilpres 2004, tingkat partisipasi pemilih di Jatim pada putaran pertama mencapai 78,34 persen dan 76,98 persen pada putaran kedua (Kompas, 10/5/08). Data tersebut memberi gambaran bahwa tingkat partisipasi pemilih Jatim cukup tinggi. Sebab, dalam pilpres presiden, memang memunculkan antusiasme yang cukup tinggi, mengingat inilah untuk kali pertama diadakan pemilihan presiden langsung oleh rakyat. Tetapi ketika dilangsungkan putaran kedua, terjadi penurunan tingkat partisipasi sebesar 1,4 persen. Penurunan ini menjadi indikator adanya golput susulan dengan asumsi telah terjadi kejenuhan pemilih akibat diulangnya pelaksanaan pilpres.

 

Dalam kurun waktu 4 tahun pasca-pilpres, kemungkinan terjadinya penurunan partisipasi pemilih dalam pilgub Jatim akan semakin besar. Hal ini bukan saja disebabkan karena telah memudarnya antusiasme untuk memilih pemimpin secara langsung, melainkan juga disebakan oleh pengalaman empirik masyarakat akan hasil pilpres 2004 atau pilkada yang telah dimulai tahun 2005.

 

Banyak yang kecewa dengan kinerja SBY-JK, pemenang pilpres 2004. Banyak janji yang tidak ditepati, juga kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat, seperti menaikkan harga BBM sampai dua kali. Sementara dari berbagai pilkada yang dialami atau dicermati oleh masyarakat, hasilnya setali tiga uang. Hal-hal inilah yang berpotensi mendorong semangat golput pada pilgub Jatim.

 

Namun begitu, masih ada peluang untuk ‘membujuk’ masyarakat Jatim agar tetap bersemangat mengikuti pilgub. Peluang itu bisa dilihat dari dua indikator. Pertama, apakah lima pasang kandidat yang telah disahkan KPUD Jatim akan menjadi sosok pemimpin alternatif yang memungkinkan terpenuhinnya keinginan perubahan dan harapan baru?

Jika kita lihat sosok dan latar belakang para kandidat itu, bisa dikatakan jika mayoritas mereka adalah muka-muka lama dari birokrat, politisi, dan militer. Khofifah Indar Parawangsa adalah mantan Menteri Pemberdayaaan Perempuan, dan pasangannya, Mudjiono,  adalah mantan Kasdam V/Brawijaya. Sutjipto berpasangan dengan Ridwan Hisyam, keduanya adalah mantan anggota DPR RI. Soenarjo adalah mantan Wagub Jatim, dan pasangannya, Ali Machsan Moesa, adalah mantan Ketua PWNU Jatim. Achmady adalah mantan bupati Mojokerto, dan pasangannya Suhartono adalah mantan Kasdam V/Brawijaya. Soekarwo adalah mantan Sekdaprov Jatim, berpasangan dengan Saefullah Yusuf, mantan Menteri Percepatan Daerah Tertinggal.

Melihat berbagai kedudukan yang pernah diemban, maka sebenarnya mereka sudah pernah mempunyai kesempatan memimpin. Pertanyaannya, apakah mereka sudah menggunakan kewenangan ketika memimpin itu untuk kepentingan masyarakat luas? Jika jawabannya ya, maka akan manjadi daya tarik tersendiri oleh masyarakat untuk bergerak memilih satu pasang di antara mereka. Namun jika tidak, maka jangan salahkan jika masyarakat memilih sikap apatis, dengan satu kerangka berpikir, “Ah, apa bedanya mereka dulu dengan nanti?”

Kedua, jika pengalaman masa lalu kita abaikan, maka indikator penting lainnya adalah bagaimana visi, misi, dan program kelima kandidat itu benar-benar menarik minat masyarakat. Menarik di sini bukan saja dalam pengertian sejauhmana berkaitan dengan hajat hidup masyarakat banyak, melainkan sesuatu yang benar-benar tulus dan realistis.

Percayakah masyarakat, misalnya, dengan bujukan janji pendidikan gratis, atau janji penyediaan lapangan kerja bagi pengangguran? Menarikkah isu gender bagi masyarakat yang sedang terhimpit kesulitan ekonomi?  Atau masih percayakah masyarakat dengan janji pemberantasan korupsi di tengah banyaknya kasus korupsi yang menimpa pejabat?

Nah, jika visi, misi, dan program yang disampaikan kelima kandidat gubenur dan wakil gubernur Jatim hanya berisi retorika politik, slogan kosong, atau janji-janji manis belaka, maka kemungkinan besar masyarakat tidak tertarik untuk menentukan pilihan. Maka golput bisa jadi adalah pilihan cerdas!

 

Mohammad Nurfatoni

Artikel ini dengan beberapa editing oleh redaksi menjadi “Membujuk Pemilih agar Tidak Golput dalam Pilgub” dan telah dimuat di harian Jawa Pos Metropolis, 26 Juni 2008.

Selengkapnya bisa diklik di http://www.jawapos.co.id/metropolis/index.php?act=detail&nid=8078

 

4 komentar

  1. Terimakasih informasinya.
    Setiap muslim hendaknya bersungguh-sungguh berpikir, ketika akan mengambil keputusan (sikap). Karena keputusan inilah yang akan dijadikan dasar dalam bertindak (berperilaku).
    Sesungguhnya pemikiran, sikap, dan perilaku akan dimintai pertanggung-jawabannya oleh Allah SWT.
    Oleh karena itu pemikiran, sikap, dan perilaku setiap muslim hendaknya berbasis pada nilai-nilai Islam, agar membawa konsekuensi terbaik bagi Umat Islam, dan manusia pada umumnya.
    Berpikirlah secermat-cermatnya, bila perlu gunakan Analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, and Threat), untuk menunjukkan kesungguhan menjadi muslim kepada Allah SWT.
    Selamat berpikir, bersikap, dan berperilaku. Semoga Allah SWT meridhai.
    Untuk share silahkan klik “Sosiologi Dakwah” di http://sosiologidakwah.blogspot.com

    Suka

Tinggalkan komentar