Di Balik Kekalahan Parpol Islam

Pemilu 2009 ternyata menjadi “kuburan” bagi partai politik Islam. Meski ada satu partai yang sedikit meningkat perolehan suaranya, akan tetapi secara keseluruhan mereka mengalami penurunan, bahkan kegagalan karena adanya peraturan ambang batas untuk bisa duduk di parlemen (parliamentary threshold) membuat beberapa di antaranya gagal ke Senayan.

Parpol Islam yang dimaksud di sini adalah parpol yang menjadikan Islam sebagai asas partai. Mereka adalah PKS, PPP, PBB, PKNU, PBR, PMB, dan PPNUI. Merujuk hasil final perhitungan KPU, perolehan suara mereka cuma sebesar 18,17%, turun sekitar 3,17% dari akumulasi suara parpol Islam (PKS, PPP, PBB, PBR, dan PPNUI) pada pemilu 2004 yang mencapai 21,34%. Jika kita bandingkan dengan pemilu-pemilu sebelumnya, perolehan parpol Islam 2009 termasuk yang buruk (lihat Tabel)

Tabel Jumlah Suara Partai-partai Berasaskan Islam pada Pemilu di Indonesia
Tahun/Nama Partai/Prosentase Suara
1955 Masyumi, NU, PSII, Perti (43,50 %)
1971 NU, Parmusi, PSII, Perti (27,12 %)
1977 PPP (29,29 %)
1982 PPP (27,78 %)
1987 PPP (15,97 %)
1992 PPP (17,01 %)
1997 PPP (22,43 %)
1999 PPP, PBB, PK, PNU, PSII, PKU, Masyumi, PUI, PSII 1905, Masyumi Baru (16,25 %)
2004 PBB, PPP, PPNU, PKS, PBR (21,37 %)
2009 PKS, PPP, PBB, PKNU, PBR, PMB, PPNUI (18,17 %)
(Diolah dari berbagi sumber)

Bagaimana kita membaca fenomena tersebut? Pemilu 2009 adalah episode lanjutan, meminjam Abdul Munir Mulkhan, runtuhnya mitos politik santri. Jika pada Pemilu 1955 akumulasi suara parpol Islam masih bisa digjaya dengan 43,5% tetapi terus turun sampai titik terendah saat kekuasaan puncak otoritarian Soeharto pada Pemilu 1987 (15,97%) dan 1992 (17,01%). Mengapa ini bisa terjadi? Didukung oleh kekuatan represif, Soeharto berhasil melakukan proyek kuningisasi (baca: Golkar-isasi) yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya deideologisasi Islam.

Umat Islam yang pada Pemilu 1955 berhasil diyakinkan oleh para politisi Islam akan pentingnya kekuatan politik Islam, maka pada era kekuasaan Soeharto berbalik diyakinkan bahwa tidak ada relevansi antara Islam dengan politik. Maka urusan politik betul-betul menjadi profan dan sebaliknya Islam hanya dipenjara pada urusan sakral, ritual. Deideologisasi Islam ini dilakukan sampai ke akar-akanya. Sehingga siapa saja yang memperjuangkan Islam politik, maka akan masuk bui. Bahkan secara intelektual, proyek ini pun diselaraskan dengan wacana “Islam Yes, Partai Islam No” dan ide sekularisasi lainnya yang digagas Nurcholish Madjid.

Lalu bagaimana menjelaskan keruntuhan politik Islam di zaman reformasi, yang tidak ada lagi represi? Pertama, tentu proyek deideologisasi Islam yang berjalan 32 tahun di era Soeharto tidak bisa begitu saja dilepaskan cengkramannya. Artinya deideologisasi dan sekularisasi Islam berhasil menanamkan pengaruhnya yang sangat kuat meskipun telah berganti rezim. Apalagi wacana liberalisasi agama terus digencarkan di era kini, yang mau tak mau berimbas pada pandangan ketiadaaan relasi antara Islam dan politik.

Sementara itu sebagian kalangan yang sebenarnya menolak ide deideologiasasi dan sekularisasi dalam Islam tetapi menolak ikut dalam pemilu karena alasan nilai juga terbilang lumayan besar. Dari kelompok ini ada Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan kelompok Salafy. Jadi di samping tidak dipilih oleh masyarakat Islam kebanyakan, parpol Islam juga belum dilirik oleh kalangan aktivis Islam sendiri. Ini PR tersendiri yang membutuhkan rembuk bersama.

Kedua, tentu ini otokritik terhadap para elit parpol Islam, terutama karena sudah terjadi pembelokan yang relatif jauh antara cita-cita politik Islam dengan pragmatisme politik elit parpol Islam. Jika para politisi Islam pada zaman Pemilu 1955 menjadikan partai politik dan kekuasaan politik sebagai alat untuk memperjuangkan Islam, maka ditengarahi kini para politisi Islam menjadikan parpol Islam sebagai kendaraan untuk memperebutkan kekuasaan. Sejarah membeberkan bagaimana fatsoen politisi Islam di era Pemilu 1955, yang penuh kebersahajaan, santun, tapi gigih memperjuangkan idealisme. M. Natsir dan Kasman Singodimedjo adalah beberapa teladan yang bisa disebut. Nah, kini sejarah mencatat bagaimana keglamoran dan tuna-idealisme sebagian besar politisi Islam.

Jika asumsi itu tidak benar, mengapa para elit politik begitu bernafsu membentuk parpol sendiri-sendiri. Tidak bisakah meleburkan ego pribadi dan kelompok demi membentuk kekuatan politik Islam yang kuat!
Peta pembentukan koalisi pascapemilu legislatif 2009 juga menjadi jawaban lainnya. Apa sebenarnya yang mereka cari? Sebab menjadi aneh jika parpol-parpol Islam justru merapat ke parpol yang sekuler, yang asas dan paltformnya tentu berbeda jauh. Tidak-bisakah mereka bersatu membentuk koalisi parpol Islam, setidaknya dengan sesama parpol yang menjadi representasi lain dari kekuatan politik Islam seperti PKB dan PAN?

Jika parpol Islam bergabung dengan PKB dan PAN maka terakumulasi 29,12% suara dan cukup menjadi syarat pencalonan presiden tersndiri. Harapan seperti ini yang disuarakan oleh beberapa tokoh Islam seperti politisi gaek PPP AM Saefuddin atau Muhammad Al Khaththath, Sekjen FUI.

Dalam bingkai kaca mata optimisme, sebenarnya angka 17,9% bagi gabungan parpol Islam atau 29,12% plus PAN dan PKB, itu merupakan angka yang cukup berharga jika dimiliki oleh satu parpol (bandingkan dengan PD 20,85%, PG 14,45%, dan PDIP 14,03%).

Apa maknanya? Seandainya parpol Islam melebur jadi satu, tentu menjadi kekuatan yang signifikan. Tapi ini adalah optimisme yang ngawang. Betapa susahnya membayangkan mereka bisa bersatu, apalagi meleburkan dalam satu kekuatan parpol Islam. Mungkin hanya kekuasaan otoriter yang bisa memaksa mereka bersinergi menjadi satu parpol, seperti ketika pada Pemilu 1977 Pemerintah Otoriter Orde Baru memaksa 4 parpol Islam (NU, Parmusi, PSII, dan Perti) menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Tapi, masak harus menunggu kedatangan otoritarianisme jilid berikutnya untuk mempersatukan diri.

Sebenarnya harapan bersatunya kekuatan politik Islam dalam satu wadah mulai muncul saat era reformasi digulirkan. Mulanya Amien Rais sebagai tokoh reformasi saat itu didorong untuk memimpin PPP sehingga menjadi gerbong politik umat Islam yang kuat. Tapi keinginan itu gagal. Lantas muncul ide membentuk partai politik baru, tapi gagal disatukan seiring dengan perbedaan pandangan di antara kader-kader M. Natsir, politikus Masyumi yang sangat disegani. Semula memang digagas pembentukan parpol sebagai penerus perjuangan Masyumi yang pernah berjaya di era Pemilu 1955. Tapi kubu yang dimotori Amien Rais kemudian mendirikan PAN dan kubu Yusril Ihza Mahendra akhirnya membentuk PBB.

Di luar skenario itu, muncul pula PKB yang mencoba meneruskan tradisi politik NU, juga “sempalan-sempalan” penerus tradisi politik Masyumi seperti Partai Keadilan (PK) pimpinan Nur Mahmudi, Masyumi pimpinan Abdullah Hehamahua, Partai Umat Islam (PUI) pimpinan Deliar Noer, dan beberapa lainnya.

Maka, dengan berdirinya berbagai parpol dari kalangan Islam politik tersebut, pupus sudah harapan munculnya kekuatan politik umat Islam yang tangguh. Dan bisa ditebak, jika tidak ada dari mereka yang menjadi pemenang pemilu, setidaknya yang menjadi dua besar. Bahkan banyak yang gagal memenuhi ambang batas minimal electoral threshold (ET) sebagai persyaratan ikut pemilu berikutnya. Padahal, sekali lagi jika boleh berandai-andai, jika perolehan suara parpol Islam saat itu digabung maka akan di dapatkan 16,25% suara dan jika digabung dengan PKB dan PAN bisa mencapai 35,98%. Sementara PDIP sebagai pemenang pemilu hanya memperoleh 33,73% suara.

Ketiga, kekalahan parpol Islam dan juga tingginya angka golput 39,2 % pada Pemilu 2009 (dihitung dari suara tidak sah sebesar 17.488.581 dan suara yang tidak digunakan sebesar 49.677.076), ibarat terperosoknya mereka pada lubang yang dibuat para politisinya sendiri. Dikepung citra buruk oleh berbagai kasus suap, skandal seks, dan kinerjanya yang buruk sebelumnya, parpol dan DPR dihajar rakyat dengan cara tidak memilihnya.

Terakhir, satu-satunya yang membuat kita “gembira” atas kekalahan parpol Islam pada Pemilu 2009 adalah karena kekalahan itu terjadi dalam petarungan tidak sehat yang penuh dengan (isu) money politic dan kecurangan-kecurangan lainnya. Mungkin para politisi Islam tidak cukup “gizi” untuk melakukan hal serupa, atau setidaknya saya yakin bahwa mereka masih memegang prinsip anti-politik uang. Sebab saya tidak bisa membayangkan jika parpol Islam menang dan atau ikut terlibat pemilu dengan cara-cara menghalalkan segala cara. Mampus dech!

Mohammad Nurfatoni, pendiri Pojokkatahatiku Institute
Tulisan ini, dengan bebera perbaruan data, telah dimuat majalah Muslim edisi Mei 2009, tebit di Surabaya