inci 1

Puasa Bicara Teror

Ramadan 1430 H kali ini umat Islam Indonesia dihadapkan pada tantangan yang berat, terutama berkaitan dengan ramainya kembali isu terorisme yang telah menimbulkan prasangka-prasangka pada sesama umat.

Di antara faktor penyumbang lahirnya prasangka-prasangka kepada umat Islam akibat terorisme itu adalah informasi yang tidak transparan atau tidak benar, di samping pandangan para pengamat yang seringkali asal bunyi.

Bagaimana kita menjalankan puasa Ramadan di tengah tantangan seperti itu? Tentu kita harus menjalankan puasa kali ini dengan lebih baik dan memaknainya lebih dalam lagi dibanding tahun sebelumnya. Seperti harapan Nabi Muhammad SAW bahwa seseorang harus memaknai masa kininya lebih baik dari masa lampaunya. ”Man kana yaumuhu khairum min amsyihi fahuwa rabihun” Barangsiapa yang hari ini lebih baik dari hari kemarin, maka dia beruntung.

Dengan kata lain jika kualitas puasa kali ini sama atau bahkan lebih jelek dari tahun kemarin, maka ”jalan lapar” yang kita tempuh menjadi kurang bermakna bahkan bisa dikategorikan merugi.

Nah, bagaimana agar puasa kita kali ini lebih bermakna dibanding sebelumnya? Imam Al Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin merumuskan tiga tingkatan puasa. Pertama, puasanya orang awam yaitu puasa yang hanya menahan perut (dari makan dan minum) dan kemaluan dari memperturutkan syahwat birahi.

Kedua, puasanya orang khusus, yaitu puasanya orang-orang saleh, yang selain menahan perut dan kemaluan juga menahan semua anggota badan dari berbagai dosa seperti menjaga pandangan, lisan, dan pendengaran atau menahan berbagai anggota badan lainnya dari berbagai dosa seperti tangan, kaki dari hal-hal yang dibenci dan sebagainya.

Ketiga, puasa orang khusus lebih dari khusus, yaitu puasa hati dari berbagai keinginan yang rendah dan pikiran-pikiran yang tidak berharga, juga menjaga hati dari selain Allah secara total.

Dengan memakai kerangka teori puasa Al Ghazali di atas, setidaknya kita memiliki parameter terhadap ada tidaknya peningkatan kualitas puasa kita dari Ramadan ke Ramadan berikutnya. Apakah selama ini kita masih terfiksasi pada puasa level 1 (awam, syariat), atau sudah meningkat pada level 2 (inderawi, tarikat), atau berada pada level 3 (hati, makrifat)?

Puasa Anti-teror, Kritik Internal

Tulisan ini tidak akan membahas tentang puasa level 1, di samping karena telah banyak dibahas di berbagai kesempatan, juga kurang relevan jika dimaksudkan untuk memberi pemahaman yang lebih meningkat terhadap makna puasa. Oleh karena itu setidaknya kita harus mengelaborasi puasa level 2.

Menarik untuk mengutip sebuah riwayat. Seorang wanita sedang mencaci-maki pembantunya di bulan Ramadan. Kabar ini didengar Nabi SAW. Beliau lalu mengutus seseorang untuk membawa makanan dan memanggil perempuan itu. Lalu Nabi SAW bersabda, “Makanlah makanan ini!” Perempuan itu menjawab, “Saya sedang berpuasa ya Rasulullah.” Nabi SAW lalu menegurnya, “Bagaimana mungkin kamu berpuasa padahal kamu mencaci-maki pembantumu. Sesungguhnya puasa adalah sebagai penghalang bagi kamu untuk tidak berbuat hal-hal yang tercela. Betapa sedikitnya orang yang berpuasa dan betapa banyaknya orang yang kelaparan.”

Riwayat di atas menarik untuk kita kaji, karena beberapa hal. Pertama, Islam yang di antaranya dipraktikkan lewat ibadah puasa, sangat menghormati terbangunnya hubungan sosial yang harmonis. Sekalipun hubungan itu adalah antara majikan dengan pembantu, yang pada realitas umumnya selalu didominasi oleh sang majikan (artinya majikan bisa sekehendak hati memperlakukan pembantu).

Dalam Islam, orang yang berpuasa bukan saja diukur dari parameter fisikal (tidak makan, minum, dan berhubungan suami istri), melainkan juga dinilai dari perilaku sosialnya. Bahkan puasa menjadi semacam garansi bagi pelakunya untuk tidak berbuat hal-hal yang merugikan.

“Sesungguhnya puasa adalah sebagai penghalang bagi kamu untuk tidak berbuat hal-hal yang tercela,” sabda Nabi SAW. Apa artinya? Ternyata Islam sangat berkepentingan untuk membangun masyarakat yang beradab.

Kedua, dengan prinsip seperti itu, tentu menjadi tanda tanya besar ketika muncul tuduhan dari pihak-pihak lain, bahwa umat Islam atau setidaknya kelompok umat Islam dikait-kaitkan dengan berbagai tindakan teror, menakut-nakuti, merusak, dan membunuh manusia tanpa landasan syara’. Jangankan berbuat seperti itu, mencaci-maki pembantu saja sangat dibenci oleh Islam. Oleh karena itu menjadi tanda tanya besar jika umat Islam menjadi tertuduh dalam kejahatan terorisme?

Puasa Bicara, Kritik Eksternal

Kesalahan fatal pemberitaan bahwa Noordin M. Top yang terbunuh dalam aksi pengepungan di rumah Muh. Zahri di Desa Beji, Kec. Kedu, Kab. Temanggung beberapa waktu lalu, tentu harus menjadi introspeksi bersama bagi pihak kepolisian, media massa, dan pengamat. Bahwa kejujuran informasi harus dipraktikkan dengan baik. Mereka tidak boleh memberi informasi kepada masyarakat yang terkesan asal bunyi.

Di sinilah relevansi puasa bicara (atau melaporkan) bagi kita, terutama bagi mereka yang memiliki otoritas bersuara pada masyarakat luas.

Pertama, puasa bicara bermakna lebih dari sekadar menahan lidah untuk tidak menggunjingkan orang, mencaci maki, menghujat dan menghujat balik, mengeluarkan kata-kata kotor. Puasa bicara meniscayakan kita hanya berbicara yang perlu-perlu saja atau yang betul-betul bermanfaat. “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berkatalah yang baik atau diam,” pesan Nabi SAW.

Kedua, puasa bicara juga mengandung pengertian jangan bicara atau melaporkan tentang sesuatu yang tidak kita pahami, atau malah dengan data yang tidak akurat. Jangan bicara hanya sekadar ingin menimbulkan kesan bahwa kita orang pintar dan sok menjadi pengamat.

Betapa komentar-komentar para pengamat kita beberapa waktu yang lalu telah berhasil membuat masyarakat kita resah, gelisah, dan pusing. Mereka membuat banyak orang tidak tenang, menderita. Padahal menurut Nabi SAW, “Orang lslam ialah orang yang [membuat] orang lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya.“

Betapa berbahayanya pembicaraan atau pemberitaan yang didasarkan pada hal-hal yang tidak benar. Bukankah isu, intrik, dan informasi tak akurat telah banyak memakan korban, seperti salah tangkap? Inilah teguran keras Allah atas pemberitaan bohong. “Ingatlah di waktu kamu menerima berita bohong dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya ringan saja. Padahal di sisi Allah adalah besar. Dan mengapa kamu tidak berkata, di waktu mendengar berita bohong itu ‘Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan ini. Maha Suci Engkau (Ya Tuhan kami), ini adalah dusta yang besar.’” (An-Nur/24:15-16).

Mari kita berpuasa bicara. Mari puasa bicara yang saling memojokkan dan saling menuduh. Betapa tenang dan damai jika udara kita bersih dari pembicaraan-pemberitaan yang tidak berguna, bohong, dan menyakitkan? Dan jangan sampai pembicaraan dan pemberitaan kita menjadi teror baru. Semoga!

Mohammad Nurfatoni

Penulis adalah aktivis Forum Studi Islam Surabaya dan pendiri Pojokkatahatiku Institute

Artikel ini telah dimuat harian Surabaya Post 22/8/09

http://www.surabayapost.co.id/?mnu=berita&act=view&id=df8db2b0cd357a89d5e723c746d1e21b&jenis=d645920e395fedad7bbbed0eca3fe2e0

Tinggalkan komentar