Pengalaman hidup seorang kawan ini membuat saya kagum. Luar biasa! Tak terbayangkan bagaimana ia bisa menjalani kehidupan sehari-hari dengan kondisi istri sakit; sakit yang menurut saya lebih berat dirasakan bebannya dari pada sakit yang biasa dialami kebanyakan orang.
Tapi cobaan ini tidak membuat keluarga berantakan. Sang suami tetap setia hidup bersama istri; dan anak-anaknya tumbuh normal. Tiga dari sekian anaknya sudah menginjak bangku kuliah; dua di perguruan tinggi negeri ternama dan satu perguruan tinggi swasta. Masih ada adiknya yang sekolah di tingkat dasar dan menengah.
Memang sakit sang istri datang di tengah perjalanan kehidupan keluarga ini. Awal berumah tangga sampai lahir beberapa anak tidak terjadi masalah. Masalah baru datang sekitar 13 tahun lalu, ketika tiba-tiba sang istri terkena penyakit yang menyerang syaraf, yang dikenal dengan sakit jiwa. Konon, sakitnya terjadi akibat trauma yang dialami saat melihat tetangga rumahnya yang bunuh diri.
Beberapa kali sang istri sempat dirawat di rumah sakit. Sembuh, lalu kambuh lagi. Begitu berkali-kali yang terjadi. Namun, alhamdulillah kini kondisinya lebih baik. Kehidupan keluarganya berjalan, meski mungkin tetap ada yang tidak biasa bagi keluarga lain. Tapi itu semua dilalui sebagai ujian hidup.
Dengan sabar sang suami berusaha merawat sang istri sembari berharap kondisinya pulih seperti sedia kala. Sang suami juga dengan sabar mengerjakan pekerjaan rumah tangga; di samping harus tetap bekerja keras untuk menafkahi keluarga, dan terutama bertanggung jawab menyekolahkan anak-anak sampai jenjang pendidikan yang terbaik.
Saya tidak bisa membayangkan bagaimana semua itu bisa dijalani dengan penuh kesabaran oleh keluarga tersebut. Tetapi dari situlah kita bisa mengambil pelajaran penting bagaimana membangun cinta kasih dalam rumah tangga.
Mahabbah dan Mawaddah
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan-pasangan dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu mawaddah dan rahmah. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir (ar-Rum/30:21).
Tertarik lawan jenis adalah fitrah, naluri kemanusian yang telah dititipkan Allah pada kita. Banyak sisi-sisi yang membuat kita tertarik lawan jenis. Umumnya kita tertarik pada lawan jenis disebabkan oleh pertimbangan fisikal. Kecantikan atau kegagahan seringkali menjadi pertimbangan awal terjadinya proses pernikahan. Itu alamiah sekali. Dalam istilah Arab, maqam ketertarikan yang berdasarkan aspak lahiriyah ini disebut mahabbah.
Selain mahabbah, dikenal juga istilah mawaddah. Yaitu proses jatuh cinta yang bukan semata-mata berdasarkan aspek lahiriyah melainkan yang bersumber pada sesuatu yang abstrak, misalnya sisi kepribadian seseorang. Dalam bahasa kini, mungkin ini yang disebut dengan inner beauty, yaitu kecantikan yang tumbuh dari kepribadian seseorang.
Biasanya, karena berdasakan segi kepribadian, mawaddah akan menjadikan cinta kasih lebih langgeng dibanding yang semata berdasarkan mahabbah. Sebab kepribadian seseorang itu lebih kuat dan lama bertahan. Sementara aspak lahiriyah mudah sekali berubah, baik akibat perubahan umur maupun sebab-sebab lain.
Wajah cantik bisa luntur menjadi keriput oleh usia. Paras ayu bisa mengerikan jika babak belur oleh kecelakaan. Tubuh yang dianggap ideal pun bisa mengalami perubahan-perubahan. Yang membanggakan kelangsingan mungkin saja akan mengalami kegendutan oleh berbagai sebab; yang membanggakan tubuh subur pun bisa jadi menjadi kurus oleh sebab tertentu. Demikian juga fisik gagah seorang lelaki, bisa lumpuh oleh suatu penyakit.
Atau sebaliknya menjadi cantik karena di-“permak” oleh perhiasan dan kosmetika, atau bahkan (ada yang nekat) operasi plastik. Maka jadilah cantik secara imitatif, cantik yang serba topeng. Kecantikan yang sangat artifisial: serba permukaan, dangkal, dan instan.
Karena sifatnya yang serba berubah itu maka ketertarikan yang berdasarkan mahabbah menjadi rawan luntur dan sulit dipertahankan dalam jangka waktu lama. Ini berbeda dengan ketertarikan yang berdasarkan mawaddah. Karena memiliki unsur kesejatian yang lebih mendalam, maka mawaddah akan lebih menjadikan cinta kasih lebih langgeng.
Oleh karena itu kini dikembangkan ilmu kepribadian. Kita didorong dan diajari untuk menjadi pribadi yang menarik; menjadi sosok yang berkarakter kuat.
Meluaskan Cinta Kasih
Lebih dari sekedar ketertarikan dan cinta kasih yang berdasarkan kepribadian, ada lagi jenis cinta kasih yang lebih tinggi nilainya, yaitu rahmah. Meminjam istilah almarhum Cak Nur, cinta kasih ini adalah jenis kecintaan Ilahi karena bersumber dan berpangkal dari Tuhan yang bersifat ar-Rahman dan ar-Rahim.
Seperti sebuah pesan Rasulullah saw, “Berakhlaklah kamu dengan akhlak Allah!”, maka hubungan cinta kasih dalam pernikahan seharusnya didasari oleh sifat Allah, yaitu ar-rahman. Dengan dasar ar-Rahman itulah maka cinta kasih akan mencapai kualitas yang murni, sejati, serba tak terbatas, dan serba meliputi. Ini sejalan pula dengan firman Allah “… rahmat-Ku meliputi segala sesuatu …” (al-A’raf/7:156).
Karena sifatnya yang bersumber dari Allah, maka rahmah akan menjadikan cinta kasih dalam rumah tangga terbebas dari sekat-sekat yang bersifat artifisial. Cinta kasih ini sudah tak lagi memandang kepribadian seseorang, apalagi sekedar kecantikan atau ketampanan. Sebab rahmah adalah manifestasi Allah. Dan ia harus menjadi citra Allah dalam diri kita.
Rasulullah saw mengajarkan, “Orang-orang yang kasih sayang akan dikasih-sayangi oleh Yang Maha Kasih-Sayang. Karena itu kasih-sayangilah manusia di bumi maka Dia yang di langit akan kasih-sayang kepadamu.”
Cinta kasih yang didasarkan rahmah inilah yang mampu mengantarkan kehidupan rumah tangga mencapai sakinah, yaitu keluarga yang bahagia diliputi oleh rasa tenang dan tenteram.
Maka, kembali pada cerita kehidupan keluarga seorang kawan di atas, saya rasa hanya rahmah yang membuat sang suami tetap setia dan sabar hidup berumah tangga bersama istrinya yang sakit itu. Sungguh luar biasa! Bagaimana dengan kita? [*]
Sidojangkung, 7 Nopember 2009
Mohammad Nurfatoni
Artikel khusus ditulis untukk rubrik SAKINAH majalah donatur Nurul Hayat Surabaya