Memimpin (Keluarga) dengan Integritas

Seorang bapak terbelalak. Ia kaget tak terkira melihat reaksi anaknya yang di luar dugaan. Padahal biasanya sang anak selalu menuruti permintaannya. Tapi kali ini lain. Ada apa gerangan?

“Koq Bapak sendiri tidak berjamaah shalat?” begitulah pertanyaan kritis sang anak ketika mendapat perintah yang kesekian kali untuk shalat berjamaah di masjid.

Memang, sang bapak selalu berusaha agar anak-anaknya menjadi orang baik, di antaranya terbiasa menjalankan shalat fardhu berjamaah di masjid. Dan biasaanya, tak ada satu kata pun yang terlontar dari mulut sang anak, baik berupa pertanyaan kritis, apalagi bantahan. Karena sang anak juga diajari sebuah nilai luhur untuk tidak pernah membantah orang tua dalam hal kebajikan.

Tapi kali ini lain. Rupanya sang anak mulai kritis. Mungkin selama ini terpendam pertanyaan dalam hatinya, “Jika shalat berjamaah di masjid itu perbuatan baik, mengapa bapak sendiri tidak melakukannya?”

***
Penggalan cerita di atas bisa diperkaya dengan kisah-kisah lain yang memiliki kesamaan masalah. Mungkin ada seorang bapak yang tidak berkenan jika anaknya merokok, tetapi ia sendiri merokok; seorang ibu yang meminta putrinya memakai jilbab, tetapi ia sendiri tidak memakainya; seorang bapak meminta anaknya jujur tapi ia sendiri korupsi, orang tua yang menyuruh anaknya belajar sementara mereka justru menonton sinetron televisi, dan seterusnya.

Tidak ada yang salah dari perintah atau larangan orang tua di atas. Apalagi perintah atau larangan itu berlandaskan nilai-nilai luhur. Bukankah shalat berjamah di masjid, tidak merokok, memakai jilbab, jujur, atau belajar adalah perbuatan-perbuatan mulia! Lalu di mana masalahnya?

Masalahnya adalah tidak adanya ajakan, apalagi penyelaman atau penghayatan. Yang ada hanyalah perintah dan larangan. Ajakan, penyelaman, atau penghayatan bermakna: bersama-sama mengerjakan suatu pekerjaan dengan penuh kesadaran. Sementara perintah atau larangan seringkali hanya berlaku pada objek yang diperintah atau yang dilarang.

Lebih parah lagi jika perintah atau larangan itu bertolak belakang dengan keadaan pemberi perintah atau larangan. Seperti melarang anak merokok tapi dirinya sendiri merokok. Tapi inilah problem kita: minimnya, untuk tidak mengatakan nihilnya, integritas pada diri orang tua.

Maka, ketika kita melihat kenakalan remaja yang meluas, jangan mudah menyalahkan pihak ketiga: sekolah atau lembaga pendidikan lainnya. Salah satu tempat terdekat untuk diintrospeksi adalah lembaga keluarga: bagaimana orang tua menjalankan fungsinya?

Integritas Syarat Kepemimpinan
“Wahai orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang kamu sendiri tidak menjalankannya? Sungguh besar dosanya di sisi Allah bahwa kamu mengatakan sesuatu yang kamu sendiri tidak melakukannya.” (ash-Shaff/61:2-3)

Ayat di atas adalah peringatan keras bagi mereka yang tidak memiliki integritas yaitu satunya pemikiran, hati, dan perbuatan. Dalam bahasa lain, integritas dimaknai sebagai kesetiaan pada kebenaran.

Integritas ini menjadi syarat penting seorang pemimpin, termasuk pemimpin keluarga. Sebab bagaimana seorang pemimpin akan berpengaruh dan menggerakkan jika ia sendiri adalah sebuah problem nilai, yaitu seseorang yang tak berwibawa karena integritasnya dipertanyakan!

Sedangkan memimpin keluarga ke arah kebenaran termasuk perintah penting dalam Islam, seperti yang tersurat dalam al-Qur’an, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka …” (at-Tahrim/66:6).

Maka memimpin keluarga, harus dimulai dari anfusakum, diri sendiri. Orang tua harus menjadi pilar pertama dalam membangun kesetiaan pada kebenaran. Orang tua adalah guru yang sebenarnya, dalam pengertian ia harus digugu (dipercaya) dan ditiru (diteladani). Atau dalam khasanah Jawa lainnya diajarkan ing ngarsa sung tulada, bahwa yang di depan (pemimpin atau orang tua) harus menjadi teladan. Nah, untuk bisa digugu dan ditiru atau diteladani, maka orang tua harus selalu hidup dalam nilai-nilai kebenaran.

Dengan memberi teladan, mungkin orang tua tak perlu banyak bicara. Sebab satu teladan perbuatan lebih efektif dibanding seribu perintah. Karena itu ada ungkapan Arab lisanul hali afshahu min lisanil maqali (bahasa perbuatan lebih “berbicara” daripada bahasa lisan).

Perilaku Jiwa
Pertanyaannya, apakah integritas hanya berkaitan dengan keteladanan fisikal, dalam pengertian sesuatu yang bisa dilihat? Misalnya, karena seorang bapak tidak suka anaknya merokok maka tidak saja dia melarangnya, tetapi ia juga memberi contoh tidak merokok. Hanya saja hal itu dilakukan ketika berada di rumah atau di depan anak-anaknya. Di ruang-ruang tersembunyi, ia tetap merokok!

Atas pertanyaan di atas, tentu jawabannya tidak. Integritas adalah pribadi yang menyeluruh dan menyatu. Ia tak tersekat-sekat oleh tempat dan waktu. Di mana pun, tanpa ada anak atau di depan anak, ia akan berbuat sama baiknya.

Sebab, jangan lupa, antara orang tua dengan anak terjalin hubungan hereditas (orang menyebut hubungan darah) yang diikat kuat oleh perjanjian agung pernikahan. Sehingga hubungan itu juga menciptakan jalinan spiritual-psikologis orang tua-anak.

Jadi, apa yang dilakukan orang tua, secara langsung atau tidak langsung, akan berperan membentuk perilaku anak. Maka dalam ungkapan Jawa disebutkan, kacang ora ninggal lanjarane, yang berarti perangai anak tidak jauh beda dengan orangtuanya. Baik-buruknya perilaku seseorang bisa dilihat dari perilaku anak-anaknya.

Termasuk dalam konteks ini adalah perilaku-perilaku jiwa. Integritas tidak hanya menyangkut fisik atau penampakan luar, melainkan berkaitan dengan kondisi jiwa orang tua. Tindak tanduk orang tua yang menyangkut pemikiran, sikap, dan respon batin sangat berpengaruh pada anak-anaknya. Doa orang tua misalnya sangat berpengaruh kepada anak-anaknya.

Oleh karena itu jika para orang tua tidak berharap memiliki anak yang berkepribadian kikir, dengki, pemarah, dan sikap-sikap jiwa buruk lainnya, maka jadilah orang tua yang pemurah, pemaaf, sabar, dan sikap-sikap jiwa terpuji lainnya.

Maka kembali pada cerita di atas: orang tua yang tidak memiliki integritas tidak akan efektif dalam memimpin keluarga. Bagaimana dengan kita? [*]

Mohammad Nurfatoni
Artikel ini telah dimuat Majalah NURUL HAYAT Surabaya, edisi Januari 2010

2 komentar

  1. kakak, keluarga q kehilangan seorang pemimpin yang bijak(ayah) dia meninggal 2 tahun yang lalu. semenjak dia pergi keluarga ku sangat menyukai yang namanya prasangka buruk dan perebutan harta. aku dah ga tahan lihat tingkah mereka. aku bingung aku cuma anak ke3 kedua kakak q perempuan adik ku juga hanya aku yang laki2 umur q sudah 19 thn. pantas kah aku untuk bicara kepada mereka?

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s