Saya mencoba menulis tentang (praktek) demokrasi, tanpa teori muluk tapi hanya dari kejujuran hati, atau keluguan, yang terdalam.

1. Demokrasi memang telah berhasil memenangkan seorang kandidat; tapi saya tak yakin demokrasi telah memilihkan kita pemimpin terbaik.

2. Karena demokrasi lebih mewadai popularitas dan elektabiltas; siapa yang populer dan digemari maka ia akan dikenal dan pada akhirnya ia yang dipilih.

3. Tak terlalu penting siapa dia, rekam jejaknya, dan bagaimana visinya ketika maju bertanding dalam kompetisi sebuah jabatan.

4. Kalaupun toh ada pemaparan visi dan program, saya rasa itu hanya bagian dari bungkus belaka. Karena sifatnya lebih teaterikal dan citra.

5. Demokrasi seringkali hanyalah cara instan mengisi kepemimpinan yang kosong. Dia tak dengan serius menempa pemimpin secara alamiah.

6. Maka jangan heran jika pada kesempatan pesta demokrasi khalayak mengelu-elukan seorang kandidat, tapi akhirnya cacat dalam kepemimpinannya.

7. Tengoklah sejarah seorang kandidat yang pernah meraup 60% lebih suara kemenangan tapi minus prestasi dalam masa kepemimpinannya.

8. Ini karena demokrasi layaknya etalase toko, yang harus selalu tampak indah, tak penting bagaimana kualitasnya.

9. Lebih runyam lagi jika demi keindahan itu, demokrasi mempercantik diri dengan imitasi-imitasi, sesuatu yang sepertinya bagus tapi palsu.

10. Maka seperti barang dagangan, seorang kandidat pesta demokrasi perlu dipoles dengan strategi pemasaran atau manajemen bisnis.

11. Maka larislah para konsultan bisnis demokrasi, para pakar marketing dan komunikasi, juga praktisi periklanan. Semua berusaha menjualnya

12. Dan sebagai barang dagangan, kandidat tak lepas dari perhitungan untung-rugi. Maka cukong dan calo berlomba menanamkan saham.

13. Transaksi dan tawar menawar menjadi lumrah. Sekarang kandidat dihargai berapa dan nanti harus menghasilkan laba berapa?

14. Istilah akad pinangan dan balik modal menjadi lumrah dalam bisnis demokrasi. Wani piro lan oleh balilan piro?

15. Maka, demokrasi bukan saja tidak memberi jaminan terpilihnya pemimpin yang terbaik, tapi juga tak menjamin baiknya kesejahteraan rakyat.

16. Memang sepintas pesta demokrasi memutar roda ekonomi, tapi perputaran ekonomi itu lebih hanya di sekitar pengusaha mapan.

17. Bisnis periklanan dengan segala pendukungnya: biro iklan, media cetak dan elelktronik, juga percetakan dan garmen. Juga lembaga survey.

18. Rakyat biasa seringkali hanya mendapat jatah bagian kaos atau amplop serangan fajar. Tak seberapa manfaatnya dan kesannya sangat rendah.

19. Tentu yang menggiurkan adalah harga pinangan dan biaya yang harus dikeluarkan untuk memperoleh kendaraan politik. Ini bisnis besar.

20. Sebagai bisnis demokrasi, tentu tak ada yang gratis. Semua harus balik modal. Maka kita lihat banyak pejabat produk demokrasi jatuh.

21. Akibat jungkir balik berusaha mengembalikan modal, termasuk dengan cara-cara terlarang.

22. Maka, jangan salahkan jika sebagian kami apatis, ragu, atau tak percaya dengan demokrasi!

Mohammad Nurfatoni
Sidojangkung, 20 September 2012

Sumber: http://chirpstory.com/li/23546

3 komentar

  1. Sangat betul tad
    Karena demokrasi kita msh transaksional banget, selama parpolnya punya prinsip ‘bisnis’ oriented ya selama itu pula demokrasi ala etalase berlangsung. Nah, jadi poin masalahnya, demokrasinya atao parpolnya?kalo parpol=demokrasi, ya berarti orang2 parpol perlu taubatan nasuha. Kalo parpol tidak = demokrasi, trus demokrasi model apa yg mau dipake? Kalo tidak pake demokrasi, lalu mau pake cara apa dalam mengamalkan fikih kenegaraan? Ini yg harus dicari alternatifnya bagi para cendikia muslim, termasuk antum tad 🙂

    Suka

  2. Ini ada komentar rekan di Forum Penulis Muslim di FB, akun nya: http://www.facebook.com/icanks
    ini komentarnya:

    Kemarin saya sempat baca release berita disalah satu milis yg memuat pernyataan seorang tokoh bahwa saat ini Indonesia butuh pemimpin prophetik. Yang dimaksudkan barangkali sosok pemimpin yg punya akhlak layaknya seorang Nabi, sederhana, bersahaja dan benar benar mendahulukan kepentingan umat.

    Saya berfikir keras setelah membaca pernyataan tokoh itu. Bagaimana kita akan mendapatkan sosok pemimpin berkarakter prophetik seperti itu jika tetap memakai mekanisme parpol? Akan sangat sulit, sebab leader jebolan parpol dapat dipastikan akan lebih mementingkan keberlangsungan kekuasaan parpolnya daripada kepentingan umat. Konsolidasi dan penguatan massa dilevel bawahpun sepenuhnya ditujukan utk memperkuat pengaruh partai yg bersangkutan dan muaranya pasti pada strategi mempertahankan status quo.

    Keadaan parpol yg seperti ini juga terjadi pada parpol parpol lain, entah itu parpol islam, parpol abu abu dan parpol sekuler lainnya. Kompetisi meraih dukungan dilevel bawah ini nampak sekali dalam perencanaan anggaran di level pusat, misalnya di badan anggaran itu. Kualitas bantuan yg lahir dari program program itu pd akhirnya bias politik kompetisi. Semakin besar jumlah menteri asal parpol yg bersangkutan di kabinet maka semakin besar dana yang dapat disalurkan utk menata kesetiaan massa mereka dibawah.

    Makanya kemudian tidak heran bahwa isu reshufle kabinet itu menjadi ultimate weapon rezim berkuasa dalam menjinakkan parpol oposisi. Perusahaan-perusahaan pendukung pun turut bermain dalam penguatan dana parpol, dengan efek timbal balik yg pasti didapat seperti pemberian proyek proyek kakap dengan anggaran milyaran.

    Dari ini kemudian timbullah praktek praktek korupsi seperti jamak kita dengar di media. Sepak terjang parpol tak berhenti sampai disitu, semua lahan yg potensi dan melibatkan massa pasti masuk dalam target, maka tak heran jika sepak bola pun dipolitisir sedemikian rupa, hingga keadaannya persepakbolaan demikian memperihatinkan. Kondisi birokrasi pun tak kalah memperihatinkan, akibat intervensi politis mereka dalam memilih atau menentukan jabatan jabatan publik yg tak sepi dengan isu isu suap.

    Dengan keadaan parpol seperti demikian,saya kemudian menjadi yakin bahwa sistem kepartaian sebagai ciri khas pemerintahan demokrasi tidak akan mampu mendukung lahirnya pemimpin dengan karakter kenabian sebagaimana dicuatkan oleh tokoh seperti saya maksud. Harus segera dipikirkan alternatif lain dalam memilih pemimpin.

    Jika dulu islam politik menjadi kelompok marjinal dalam konstelasi perpolitikan indonesia, maka sejak 1999, kelompok ini pun memperoleh kesempatan untuk memimpin bangsa ini. Namun lagi lagi wakil wakil dari beberapa kelompok ini gagal dalam mengemban tugas mulia tersebut.

    Dalam hal ini, misalnya Gus Dur sebagai representasi islam santri- tradisionalis-modernis -neo modernis – liberal, ternyata tidak mampu mengahadang laju politik indonesia yg tidak pandang bulu. Gus Dur pun tersungkur pada tahun 2001, dengan dalih diduga terlibat korupsi.

    Kemudian kelompok nasionalis sekuler yg merupakan pewaris pemikiran bung karno pun mendapat kesempatan memimpin bangsa ini yg diwakili megawati soekarnoputri. Kesempatan yg dia inginkan sejak 1999,,baru diberikan tahun 2001, dan trnyata tidak membawa perubahan apa apa terhadap agenda reformasi.

    Lebih lanjut, tampilnya kembali kalangan militer yg direpresentasikan SBY dengan agenda reformasinya kurang lebih sama saja keadaanya. Jargon katakan tidak pada korupsi, ternyata berjalan seiring dengan prilaku korup para pendukungnya, dan secara pasti mengikis kepercayaan rakyat oleh sebab ulah mereka sendiri.

    Sekarang kalangan atau kelompok manalagi yang akan tampil memperbaiki keadaan? Apakah kalangan islam lurus (baca: anti liberal) dapat menjawab tantangan ini dan menggerakkan perubahan? Minimal dapat memberikan teladan kepemimpinan yg bersih dari prilaku korup, dan punya empati atas penderitaan rakyat kecil? Mari kita tunggu sama-sama.

    Suka

Tinggalkan komentar