Kematian adalah kepastian;
tetapi mematikan kehidupan adalah bencana besar.
Nyawa adalah nafas kehidupan. Ia harus dijaga dan diselamatkan, karena nilainya tak terkira. Manusia, sejatinya dituntut untuk mengembangkan dan menyelamatkan kehidupan, bukan sebaliknya malah memusnahkannya.
Mari sejenak kita tengok kejadian yang sangat dramatis tentang penyelamatan nyawa, yaitu saat peristiwa kecelakaan pertambangan San Jose de Capiapo, Chili, pada tahun 2010. Sebanyak 33 penambang “terkubur” sedalam 700 meter di perut bumi.
Strategi, tenaga, dan dana–mencapai US$ 20 juta, dikerahkan untuk penyelamatan itu. Tak kurang 130 tim diterjunkan. Menteri Pertambangan Laurence Golborne dan Presiden Chili Sebastian Pinera, berkali-kali ikut turun ke lokasi.
Medan yang dalam dan sulit ditembus, mengharuskan berbagai strategi dirancang. Gagal plan A, berganti plan B, lalu dipakai plan C, dicoba lagi plan B. Akhirnya, 33 nyawa yang terkubur reruntuhan sejak 5 Agustus “baru” bisa diselamatkan seluruhnya pada 13 Oktober. Ya, perlu waktu 69 hari. Tanpa putus asa, karena ada 33 nyawa. Lebih dari itu ada ratusan kerabat yang berharap keselamatan 33 nyawa itu.
Bukan hanya itu, ratusan juta warga dunia pun ikut larut. Tercekam lebih 3 bulan tetapi akhirnya plong, menangis haru, dan bersyukur; saat satu per satu para pekerja tambang itu muncul ke permukaan dengan kapsul penyelamatan.
Nyawa 33 manusia memang sangat, sangat bernilai. Karena itu, sangat pantas untuk diselamatkan. Ini soal jiwa, soal kemanusiaan. Tapi mari kita selami juga kisah nyata yang saya kutip dari buku Slilit Sang Kiai, karya Emha Ainun Nadjib (Pustaka Utama Grafiti, 1991, h 6).