Menumbuhkembangkan Kreativitas Anak

KEMAMPUAN manakah yang menjadi pilihan orangtu­ terhadap anaknya: pandai a­taukah kreatif? Agak membi­ngungkan barangkali perta­nyaan ini. Sebab adakah perbe­daan antara keduanya? Apa­kah anak pandai itu juga krea­tif, atau anak pandai tidak mesti kreatif? Sebaliknya, pan­daikah anak yang kreatif?

 

Jika kita tinjau secara men­dasar tentu ada perbedaan an­tara keduanya. Orang pandai, kalau boleh saya pakai rumu­san Guilford, berarti berpikir konvergen. Artinya kemampu­an berpikirnya terbatas pada pengetahuan yang sempat te­rekam dalam memori otaknya. Jika menghadapi persoalan yang belum pernah dihadapi, kemampuan berpikirnya men­jadi lamban.

Hal ini berbeda dengan o­rang kreatif, yang mampu ber­pikir secara divergen, yakni kemampuan memecahkan ma­salah dengan alternatif seba­nyak mungkin.

Karena itulah, berpikir kreatif, menurut Mac­Kinnon, melibatkan tiga sya­rat: pertama, adanya respon a­tau gagasan yang baru. Kedu­a, reapon atau gagasan terse­but harus mampu memecah­kan masalah secara realistis dan ketiga, kemampuan mem­pertahankan insight yang or­sinil, menilai, dan mengem­bangkannya sebaik mungkin.

Suasana Kondusif

Sampai di sini barangkali je­las pilihan kita: anak kreatif. Namun persoalannya adalah bagaimana menjadi anak kre­atif. Coleman dan Hammen setidaknya menemukan tiga faktor yang harus dipunyai o­rang sehingga menjadi kreatif. Pertama, kemampuan kog­nitif: termasuk kecerdasan di atas rata-rata, kemampuan melahirkan gagasan-gagasan baru. Kedua, sikap terbuka terhadap stimuli internal ma­upun eksternal. Ketiga, sikap yang bebas, otonom, dan percaya pada din sendiri.

Agar ketiga faktor yang harus melekat pada diri orang kreatif tersebut juga dimiliki pada anak, maka perlu ditum­buhkan situasi kondusif ke arah sana. Pertama, kita tingkatkan ke­mampuan kognitif anak. Cip­takan suasana, agar anak mampu melahirkan gagasan baru. Dalam hal ini permainan yang tidak mampu menimbul­kan lahirnya gagasan baru, se­macam permainan Ular Tangga, sedapat mungkin kita ja­uhkan.

 

Sebaliknya permainan se­macam menyusun aneka ben­tuk balok harus banyak kita berikan. Atau jika mungkin, kita hindarkan anak dari per­mainan yang sudah jadi dari pabrik. Alangkah baiknya jika kita biarkan anak mencipta­kan permainannya sendiri. Bagaimana dulu ketika per­mainan ‘instan’ belum banyak menjarah anak, mobil-mobilan harus dibuat sendiri dari kulit jeruk, atau bikin tembak-tem­bakan dari kayu.

Demikian pula cara pembe­lajaran anak. Jangan dicecoki dengan pengetahuan jadi se­macam pemberlakuan hafalan yang ketat. Sebaliknya, kita harus memberikan rangsa­ngan pemikiran dengan per­soalan yang menggelitik. Pertanyaan semacam yang termuat dalam buku: Menga­pa Begini, Mengapa Begitu, adalah salah satu contoh up­aya yang mampu merangsang anak berpikir kreatif.

Kedua, harus kita tumbuh­kan minat anak terhadap per­soalan yang agak luas. Jika a­nak terpaku pada satu perma­salahan maka memori-memo­ri yang diterima otaknya sa­ngat terbatas. Kalau sudah be­gitu, maka kemampuan berpi­kir global tidak dimiliki. Ke­mampuan menjelajah persoal­an tidak ada. Dalam kaitan ini pergaulan anak terhadap bu­ku, majalah, atau sumber pe­ngetahuan lain menjadi penting artinya, termasuk kepada orang-orang kreatif lainnya.

Ketiga, beri kebebasan anak untuk berekspresi: agar memi­liki sikap percaya. diri. Orangtua dalam hal ini kadang se­ring bersikap otoriter. Anak harus mengikuti apa yang di­inginkannya, kemauan anak adalah kemauan orangtua. Termasuk dalam hal ini adalah pilihan-pilihan yang harus diambil anak. Apa­kah harus intens dengan ilmu pengetahuan alam, atau ilmu pengetahuan sosial.

Padahal kita tahu dunia anak sangat berlainan dengan dunia orangtua. Apa yang ba­ik menurut orangtua, belum tentu harus dilakukan anak. Maka tahapan perkemban­gan anak harus juga menjadi perhatian. Dalam perspektif ini juga, kemauan orangtua untuk mengikutkan les privat anaknya secara berlebihan menjadi ancaman kebebasan berpikir kreatif. Kesadaran a­nak untuk belajar, bertindak, dan bekerja, itulah yang sebe­narnya harus ditumbuhkan dengan jalan menjadi motivcasi.

Mohammad Nurfa­toni

Penulis alumnus FP MIPA IKIP Surabaya, kini aktif di Pusat Studi Islam Surabaya.

(Dimuat Surabaya Post, 1/8/1993)

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s