
Hari ini, 12 tahun Zada Kanza Makhfiya Mohammad. Baru kali ini saya menulis sejarah kelahirannya. Sementara sejarah kelahiran kempat kakaknya sudah saya tulis beberapa tahun lalu.
Zada—panggilannya—memang anak istimewa. Pertama, lahir saat kami sudah bersiap tak lagi merencanakan punya anak. Tapi, Tuhan Maha Perencana. Rencana kami diganti oleh rencana-Nya. Kami diamanahi lagi anak kelima, sebenarnya keenam, sebab anak kelima kami mengalami keguguran tahun 2004 saat tsunami melanda Aceh.
Maka ketika putri kedua ini lahir (formasi lengkap: lelaki, lelaki, lelaki, perempuan, dan perempuan) kami memberinya nama yang menggambarkan hal itu.
Nama lengkapnya: Zada Kanza Makhfiya Mohammad. Zada berarti tambahan. Kanza bermakna khazanah, perbendaharaan, atau harta. Sedangkan makhfiya artinya tersembunyi. Dan Mohammad-
–mengambil nama ayahnya yang juga merujuk juga pada Nabi Muhammad SAW.
Perlu diketahui, nama Mohammad selalu kami sematkan pada setiap nama anak-anak kami, termasuk yang perempuan. Karena itu beberapa pihak mengira dia—melihat dari namanya—sebagai lelaki, seperti saat kami mencatatkan kelahiranya di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dispendukcapil) Kabupatan Gresik.
Dalam akta kelahiran, jenis kelaminnya ditulis laki-laki. Padahal berkas formulir yang kami sertakan, jelas ditulis perempuan. Mungkin si petugas entri data fokus pada kata Mohammad dan berasumsi itu nama lelaki. Apalagi kata Zada sebagai nama panggilan juga dipakai oleh pemain sepakbola: Leonardo Martins Zada. Akhirnya akta kelahiran itupun kami minta direvisi.
Jadi secara lengkap arti nama dia adalah khazanah tersembunyi—layaknya harta karun—yang menjadi tambahan nikmat kami, keluarga Mohammad Nurfatoni. Atau bisa juga dimaknai si anak tambahan itu adalah harta karun yang tersembunyi sebagai anugerah Allah.

Lahir Caesar
Zada adalah satu-satunya anak kami yang lahir dengan cara tidak normal
melalui operasi Caesar. Ini keistimewaan kedua. Operasi dilakukan karena saat kami mengontrolkan kandungan ibunya pada dokter spesial kandungan di Rumah Sakit Wiyung Sejahtera Surabaya, air ketubannya sudah habis.
Apalagi saat itu sang ibu—Siti Rondiyah—telah berumur 40 tahun. Yang menurut dr Eighty SPOG, dokter yang menanganinya, juga berisiko saat melahirkan secara normal.
Maka petang itu juga, Selasa 2 Desember 2008 pukul 19.00 WIB —dokter perempuan itu memutuskan untuk melakukan operasi sekitar pukul 12 malam setelah beberapa jam istri berpuasa.
Kami sebenarnya tidak siap, karena saat itu hanya berniat memeriksakan kandungan secara rutin di masa-masa akhir kehamilan.
Oleh karena itu setelah kepastian operasi diambil, saya segera pulang, untuk menjemput anak-anak dan mengambil perlengkapan persalinan seperlunya.
Tentu, vonis operasi Caesar itu bagi kami masih sangat mendebarkan, karena itu kejadian kali pertama. Tapi saya mencoba menguatkan istri. Kehadiran bapak dan ibu mertua, almarhum KH Abdul Mu’thi dan Asiyah, malam itu dari Desa Mlangi Kecamatan Widang Kabupaten Tuban juga mampu memompa semangat istri. Maka bismillah, kami pasrah pada Allah dan memohon keselamatan istri dan anak yang akan dilahirkan lewat operasi.
Di tengah menunggu operasi, saya pun mendapat dukungan dengan kehadiran Mas Abdul Aziz—bos saya di Cakrawala Print—dan istri Lely Dismawati (almarhumah). Juga ikut hadir di rumah sakit, Pak Sueb dan Mbak Endang (almarhumah) rewang
kami.
Tepat pukul 00.07 WIB Rabu 3 Desember 2008 lahirlah sang jabang bayi. Sang ibu sehat dan selamat. Normal kondisinya. Si bayi tampak cantik sekali. Kami sangat bahagia. Segala rasa resah sebelum operasi terbayar sudah.
Selain satu-satunya yang lahir lewat operasi, Zada juga satu-satunya anak kami yang kontrol dan imunisasinya di dokter spesialis anak yang cukup senior: dr Ismail. Saat itu dia dokter RS Wiyung Sejahtera yang menangani pascakelahiran Zada dan membuka praktik di Perumahan Pratama Wiyung Surabaya. Keempat anak kami sebelumnya, kontrolnya di puskesmas atau polianak rumah sakit.
Saya merasakan keinginan yang kuat untuk memberikan yang terbaik pada ‘si harta tersembunyi’ itu—atau jangan-jangan karena saat itu kondisi ekonomi kami sudah lebih baik dibanding saat kelahiran empat kakaknya?

Baru Merasakan Punya Adik
Yang jelas, kehadiran Zada membuat kami sangat bahagia. Saat itulah kakak-kakaknya baru merasakan bagaimana punya adik. Bisa ngudang, ngemong, atau nggendong. Maklum kelahiran Zada dengan anak keempat terpaut 9 tahun. Itulah kenapa di awal kami sebut sebagai anak “tambahan”.
Sedangkan kelahiran anak-anak kami sebelumnya jaraknya berdekatan. Azka Izzuddin Mohammad lahir 26 April 1994 sedangkan adiknya, Rosyad Hizbussalam Mohammad, lahir 16 September 1995.
Anak ketiga, Aqil Rausanfikr Mohammad, lahir 3 Maret 1998. Hanya selisih setahun lebih dari anak keempat: Faza Fajrulfatkhi Mohammad, yang lahir 11 Juli 1999. Dengan jarak lahir yang berdekatan itu, nrecel kata orang Jawa, seolah mereka tidak punya adik. Bahkan mereka saling “bersaing” mendapakan kasih sayang orangtua.
Malah ada yang sempat kami titipkan ke rumah orangtua di desa. Rosyad pernah kami titipkan ke rumah mertua di Tuban saat Aqil lahir. Sedangkan Aqil kami titipkan ke rumah orangtua saya: Ahmad Thohir dan Siti Fatimah (keduanya telah wafat, semoga Allah mengampuni beliau berdua) di Desa Keduyung, Kacamatan Laren, Kabupatan Lamongan, saat Faza lahir.
Maka, ketika Zada lahir, mereka baru paham akan kehadiran seorang adik sehingga bisa merasakan bagaimana bergaul dengan adiknya. Perlakuan sebagai adik itu masih berlangsung sampai sekarang, ketika Zada berusia 12 tahun di hari ini. Kakak-kakaknya tetap sering menggodanya—dan dalam beberapa hal “memanjakannya”.
Tapi kami berpesan pada Zada, satu-satunya anak kami yang memanggil ibunya: Bunda, tidak boleh menjadi anak manja meskipun bungsu. Dan alhamdulllah, kami senang karena meski belum baligh, dia tidak manja dan bahkan telah mandiri dalam hal ibadah. Shalat, ngaji, dan berbusana muslimahnya selalu “terdepan”.
Kami pun senang karena tahun depan dia sudah siap belajar di Pesantren Ar-Rohmah Putri, Malang, dengan kemauannya sendiri. Itu akan semakin memandirikan, meskipun kami akan melepasnya dengan air mata haru, seperti dulu saat melepas kakak perempuannya ketika awal mondok di
pesantren yang sama.
Selamat ultah Zada sang khazanah tersembunyi. Semoga menjadi anak shalihah yang khairunnas anfauhum linnas, menjadi manusia terbaik karena bermanfaat bagi sesama, amin!
Oh ya, selain memperingati kelahiran Zada, setiap tanggal 3 Desember kami juga mengenang kepergian abahnya—panggilan kekeknya: KH Abdul Mu’thi—yang wafat empat tahun setelah kelahirannya, yaitu 3 Desember 2012. Semoga Allah mengampuni almarhum, amin! (*)
Mohammad Nurfatoni, ayah lima anak.
One comment