Setiap kelahiran mempunyai kisahnya sendiri. Demikian juga Faza Fajrulfatkhi Mohammad, anak keempat kami. Kelahirannya ditandai dengan sejumlah keistimewaan. Pertama, dia perempuan pertama, setelah sebelumnya kami “hattrick” lelaki. Waktu itu memang kami berharap anak perempuan dan Allah mengabulkannya.

Kedua, dia satu-satunya anak kami yang lahir di depan mata ayahnya. Pada proses kelahiran tiga anak lelaki sebelumnya, ayahnya selalu dilarang masuk ke ruang persalinan oleh petugas.

Ketiga, dia anak pertama yang lahir setelah kami memiliki rumah sendiri. Sebelumnya, tiga kakaknya lahir saat kami masih kontrak rumah, yang setiap anak menjadi tetenger akan rumah kontrak kami.Satu anak, satu kontrakan baru.

Keempat, dia anak satu-satunya yang lahir di kabupaten Gresik, sementara tiga lelaki sebelumnya dan satu perempuan setelahnya, lahir di kota Surabaya. Inilah anak asli Gresik, lebih detailnya gadis Sidojangkung, nama desa tempat kami tinggal.

Kelima, dia anak satu-satunya yang lahir bukan di rumah sakit. Sementara tiga kakaknya selelu lahir di rumah sakit, meskipun ditangani oleh bidan dan adiknya, Zada Kanza Makhfiya Mohammad lahir di rumah sakit melalui operasi Caesar.

Keenam, dia lahir sebelum ditolong oleh bidan. Kok bisa? Begini ceritanya. Waktu itu, kami baru setahun pindah ke perumahan di sebuah wilayah Gresik,yang jauh dari kota Surabaya, tempat saya kerja. Tetangga penghuni perumahan itu pun masih minim. Kami saja termasuk sepuluh penghuni pertama.

Saat kandungan mulai membesar, kami sempat berpikir, bagaimana kalau saya pas kerja dan istri harus dibawa ke bidan karena sudah ada tanda-tanda melahirkan? Siapa yang mengantar? Pakai kendaraan apa? Pertanyaan ini kontekstual, karena di samping tetangga masih jarang, di rumah juga hanya ada istri dan tiga anak kecil kami.

Juga, saat itu satu perumahan belum ada yang punya mobil. Becak pun tidak ada di lingkungan kami. Dan belum ada klinik bidan yang menyediakan antar-jemput pasien seperti sekarang.

Tapi Allah Mahaadil. Sabtu sore, mertua tiba-tiba datang berkunjung ke rumah. Sudah menjadi kebiasaan sebelumnya, bahwa kami baru akan memberitahu orang tua jika anak kami sudah lahir. Kami tidak ingin merepotkan. Tapi kali ini mertua datang sendiri tanpa berkabar apa pun sebelumnya, persis sehari sebelum kelahiran anak kami.

Ahad pagi, 11 Juli 1999 sekitar pukul 06.45, perut istri sudah mules-mules berat. Alhamdulillah, pas hari libur. Jadi saya bisa mengantarnya ke bidan. Dan ketiga lelaki kecil kami ditunggu mertua di rumah.

Faza, umur satu pekan. Foto bidikan fotografer keliling.

Segera saya stater motor Yamaha Alfa untuk nggonceng istri ke bidan Suprapti di Desa Domas, tetangga desa. Jarak tempuh memang tidak jauh, tak sampai 1 km. Tapi dalam keadaan perut yang mules berat, rasanya tegang sekali. Begitu sampai di rumah bidan, kami langsung masuk. Tanpa basa-basi istri langsung mapan di tempat persalinan. Dan … ternyata kepala bayi sudah nonggol, sebelum segala sesuatunya disiapkan bidan.

Itulah kali pertama saya melihat bagaimana seorang bayi lahir menyapa dunia. Perasaan bahagia, terkejut, dan surprise bercampur aduk. Yang lebih bikin jantungan, ternyata saat itu bidan Suprapti yang berpraktik tidak ada di tempat. Yang ada adalah asistennya. Bagaimana dan bagaimana? Begitu pertanyaan yang berkecamuk di pikiran saya.

Tapi asisten bidan itu bergerak cepat. Bayi kami yang sudah nongol duluan itu langsung disempurnakan kelahirannya. Alhamdulillah, tidak ada hambatan. Tidak ada kelainan tertentu. Semua berjalan cepat. Dan inilah anak kami yang tercepat kelahirannya. Mules-mulesnya sebentar, dan lahirnya juga supercepat, bahkan sebelum (asisten) bidan siap bertindak.

Kami sangat bahagia ketika kami memeriksa fisik bayi, termasuk kelaminnya. Ternyata seorang bayi perempuan normal. Rasanya hidup kami menjadi sempurna. Kami sudah dikaruniai tiga anak lelaki, dan kini disempurnakan oleh Allah dengan satu anak perempuan.

Dari kiri: Azka Izzuddin Mohammad, Faza Fajrulfatkhi Mohammad, Aqil Rausanfikr Mohammad, dan Rosyad Hisbussalam Mohammad. Merek tampil dalam drama dalamsebuah pementasan di TPA At Taqwa Wisma Sidojangkung Indah Menganti Gresik.

Fajar Kemenangan

Sore di hari Ahad itu juga, kami diperbolehkan pulang. Kembali saya bonceng istri ke rumah dengan Yamaha Alfa. Tapi kali ini kami membawa penghuni baru. Bayi perempuan yang lucu. Kami beri nama bayi perempuan kami ini FAZA FAJRULFATKHI MOHAMMAD.

Meski perempuan, bayi ini tetap saya beri nama Mohammad di belakang. Sebuah konsistensi menyematkan nama ayahnya, yang juga merujuk pada nama Nabi Muhammad SAW.  Begitulah semua anak saya namanya diakhiri dengan Mohammad.

Sementara nama Faza terdiri dari dua suku kata fa-za, juga sebagai konsistensi saya memberi nama panggilan. Dalam konsep saya, nama panggilan sebaiknya sesuai dengan nama asli, yang mudah dieja sehingga tidak bias. Faza sendiri bermakna kejayaan atau mekar. Sedangkan fajrulfatkhi dari kata fajar (waktu fajar, lahir di sekitar waktu fajar, (pagi) dan fatkh (kemenangan).

Saya maksudkan bahwa anak keempat ini menjadi puncak kemenangan atau kejayaan (hasil) perjuangan ketiga kakaknya, yang sesungguhnya nama-nama mereka adalah unsur-unsur perjuangan; Azka sebagai izzuddin (penegak agama), Rosyad sebagai hizbussalam (pejuang Allah Yang Maha Damai), dan Aqil sebagai rausanfikr (cendekiawan, ilmuan yang peduli lingkungan sosialnya).

Nama-nama itu, menjadi bagian doa kami semoga anak-anak kami kelak menjadi bagian dari pejuang peradaban Islam. Amien.

Sidojangkung, 11 Juli 2015/26 Ramadan 1436

Ayah, Mohammad Nurfatoni

Faza Fajrulfatkhi Mohammad saat wisuda Sarjana Psikologi Ubaya, tahun 2021. Didampingi kedua orangtuanya. Insyaallah tanggal 22 Mei 2022 akan “wisuda” kedua: menikah.

Satu komentar

Tinggalkan komentar