Saat ini suhu udara di Turki cukup dingin, berkisar 11 derajat Celsius. Tapi tidak dengan suhu politik. Suasana panas sedang melanda perpolitikan Turki. Suhu politik meningkat di parlemen, juga menyebar ke luar. Dua kelompok yang berseberangan saling berdemonstrasi: kelompok pendukung sekularisme di satu pihak, dengan kelompok propartai Islam di pihak lain.
Krisis politik ini terjadi menyusul terpilihnya Abdullah Gul dari partai berbasis Islam, Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) pada pemilihan presiden Turki yang diselenggarakan hari Jum’at 27 April 2007. Kubu sekuler menganggap sidang pemilihan presiden putaran pertama tidak sah karena tidak memenuhi kuorum, yakni 2/3 anggota parlemen atau 367 dari 550 orang.
Seperti diketahui, pemilihan presiden Turki dilakukan oleh parlemen dalam tiga putaran. Jika dalam pemilihan putaran pertama seorang capres mendapat 2/3 suara maka dia terpilih menjadi presiden. Jika tidak, pemilihan putaran kedua harus dilakukan. Syarat terpilihnya presiden sama dengan putaran pertama. Jika parlemen tidak berhasil memilih presiden pada putaran kedua, pemilihan dilanjutkan pada putaran ketiga. Capres bisa terpilih jika mendapatkan setidaknya 276 suara.
Tidak kuorum-nya sidang tidak lain karena pemboikotan yang dilakukan oleh kelompok oposisi prosekularisme. Kelompok ini sejak semula curiga bahwa calon presiden dari AKP akan memperjuangkan sistem politik berbasis Islam, menggeser sekularisme yang sudah menjadi ideologi Turki sejak dicanangkan oleh Jenderal Mustafa Kemal Atartuk tahun 1923. Sebenarnya calon presiden yang diajukan AKP adalah PM Recep Tayyib Erdogan. Karena mendapat pertentangan keras, maka akhirnya AKP mengusung Menlu Abdullah Gul. Namun yang terakhir inipun tetap dianggap akan membawa pengaruh Islam di Negara sekuler Turki.
Penentang tidak saja datang dari partai oposisi, Partai Rakyat Republik (CHP), partai yang menggusung sekularisme, melainkan juga dari militer. Panglima tertinggi militer Turki menyampaikan pernyataan bahwa mereka bisa mengintervensi jika proses pemilu mengancam diabaikannya sekularisme Turki.
Atas tuntutan CHP, akhirnya hasil pemilihan presiden putaran pertama dibatalkan oleh Pengadilan Konstitusi (PK). Sebenarnya, jika pemilihan putaran pertama tidak oleh keputusan PK, bisa dilakukan pemilihan putaran kedua, jika pun tetap gagal mencapai kuorum karena tetap diboikot oleh CHP, maka dilakukan pemilihan putaran ketiga. Karena cukup mensyaratkan 276 suara, maka sebenarnya Abdullah Gul bisa terpilih mengingat jumlah anggota parlemen dari AKP adalah 353 orang. Tapi inilah akal-akalan yang dilakukan oleh pihak pro sekuler, bagaimana caranya bisa menggagalkan terpilihnya calon dari AKP.
Sebagai konsekuensi dari keputusan PK, maka diadakan pemilihan ulang putaran pertama pada Ahad, 6 Mei 2007. Pemilihan inipun akhirnya gagal juga mencapai kuorum, karena kembali diboikot pihak oposisi. Maka sebagai konsekuensinya, pemerintah harus mempercepat pemilu legislatif (22 Juli 2007), yang sedianya baru dilakukan pada Nopember 2007.
Turki, Romantisme Sekularisme Kemal Atartuk
Seolah mengulang sejarah, kegagalan Abdullah Gul dari partai berbasis Islam AKP mencapai kursi presiden saat ini, menandai kembali sengitnya pertarungan antara kubu sekuler dengan Islam. Dalam kurun waktu 50 tahun terakhir, setidaknya terjadi tiga kali kudeta militer dengan alasan menyelamatkan sekularisme, yaitu pada tahun 1960, 1970, dan 1980. Sepuluh tahun yang lalu, krisis politik juga terjadi setelah Partai Kesejahteraan, partai Islam pertama, memenangi pemilu Turki. Krisis ini akhirnya juga “dimenangi” pihak sekuler, karena militer berhasil memaksa PM Necmettin Erbakan dari Parta Kesejahteraan untuk meletakkan jabatan. Dan militer pun akhirnya melarang Partai Kesejahteraan.
Data sejarah ini tentu menarik dikaji. Pertama, sekularisme yang dicanangkan oleh Jenderal Mustafa Kemal Atartuk sejak tahun 1923 dengan melakukan perubahan secara luas di Turki antara lain dengan memasyarakatkan pakaian ala Barat, mengadobsi alfabet dan kode hukum Barat, serta menghapus lembaga-lembaga Islam, masih punya pengaruh kuat di Turki, terutama karena mendapat “pengawalan” dari militer—di samping karena magnet kemajuan Barat (Uni Eropa) yang sangat kuat untuk menarik Turki sejajar dengan negara-negara Barat.
Maka, seperti diajarkan oleh Ataturk, agar bisa menjadi Barat, Turki harus meninggalkan identias lama (Islam) berganti baju dengan identitas baru (sekuler). Hal ini tidak boleh ditafsirkan dalam pengertian substansi (misalnya kemajuan ekonomi atau ilmu pengetahuan), melainkan juga pada hal-hal simbolis. Maka Turki menjadi sangat antisimbol Islam (misalnya, salah satu alasan kecurigaan akan adanya misi antisekuler dari Erdogan dan Gul, diantaranaya karena istri kedua tokoh ini memakai jilbab).
Kedua, meski masih memiliki pengaruh kuat di Turki, namun sekularisme Turki menuai kritik keras, karena sekularisme gaya Attartuk dianggap terlalu ekstrem dan mendiskriminasi mayoritas Muslim Turki. Dan yang lebih menarik, ternyata pelan-pelan tapi pasti, sekularisme Turki mulai ditinggalkan warga Muslim Turki. Gelombang protes dari kelompok yang propartai Islam di jalan-jalan yang memperlihatkan wanita-wanita berjilbab setidaknya menunjukkan bahwa telah berkembang dengab pesat kesadaran kembali pada Islam.
Meski capaian terbesarnya dibuldezor oleh militer dan kemudian dilarangnya partai Islam, Partai Kesejahteraan, pada 1997, tidak menyurutkan gelora kesadaran pada (politik) Islam. Capaian kursi mayoritas di parlemen oleh partai berbasis Islam, AKP (354 kursi dari 550) pada pemilu 2002 juga adalah indikator penting mulai ditinggalkannya sekularisme Turki. Maka, kelompok sekularis Turki tidak sepatutnya selalu mengenang romantisme masa-masa keemasan sekularisme di bawah pengaruh Atartuk.
Ketiga, selalu menjadi potret buram dari wajah demokrasi Barat, jika partai-partai Islam memenangkan pemilu selalu saja dianulir, dengan berbagai cara. Masih sangat segar dalam ingatan kita bagaimana AS dan Israel, juga Eropa meradang dan akhirnya mengintimidasi dan meneror kemenangan Hammas dalam pemilu di Palestina. Inilah yang kini sedang terjadi di Turki. Berbagai akal bulus dimainkan untuk menggagalkan kemenangan calon presiden dari kelompok Islam.
Meskipun begitu, PM Erdogan tetap yakin bahwa kelompok Islam akan tetap memenangkan pemilu dipercepat 22 Juli 2007. Optimisme ini bukan saja didasarkan akan terus bangkitnya kekuatan (politik) Islam, melainkan juga oleh capaian positif pemerintahan yang dipimpinnnya. Di bawah pemerintahan PM Erdogan, pemerintahan Turki sebenarnya jauh lebih baik dibandingkan dengan pemerintahan koalisi sekuler sebelumnya. Erdogan yang bekuasa sejak tahun 2002 mampu mengurangi inflasi dari 29,7 persen menjadi 9,65 persen. Dia juga berhasil menggenjot pertumbuhan ekonomi hingga rata-rata 7 persen pada 2003-2007 dari pertumbuhan 2,5 persen sebelumnya.
Tapi, tentu saja, berpegang dari pengalaman sejarah, optimisme itu tetap saja menyelipkan pesimisme. Bahwa dalam sistem demokrasi Barat, sedemokratis apapun capaian yang dimenangkan oleh kelompok Islam, selalu saja mengundang campur tangan pihak seluler, baik lewat militer maupun cara-cara tidak demokratis lainnya.
Maka, tidakkah kita lebih mawas diri? Wallahu a’lam.
Sidojangkung – Menganti, 7 Mei 2007
Dimuat di majalah Muslim, Edisi 6, Mei 2007
Bangkitkan kembali…Kekhalifahan!!!!!!
SukaSuka
permisi, ada tulisan lain mengenai Turki? seperti pemilu yang mengantarkan Abdullah Gul sebagai Presiden serta masalah sekuler di negara tersebut. sebelumnya, terima kasih.
SukaSuka
jayalah sekulerisme
SukaSuka
Sekulerisme hanya membawa kesesesatan dan kemudoratan,…..
Hancurkan sistem sekularisme,…. Bangkitkan lagi ke khalifahan di Turki
SukaSuka
alhamdulillah ,,,,,,
smoga turkey menjadi negara muslim yang kuat lagi seperti masa kejayaan ottoman
d akhir thn 2010 aku mengunjungi beberapa daerah d turkey ternyata mayoritas masyarakat d sana masih memegang teguh ajaran islam
SukaSuka