PEMILU: Kemusykilan Demokrasi

Seluruh energi bangsa ini hampir habis terkuras untuk sebuah pesta demokrasi yang berupa pemilihan umum. Para elit, juga kaum alit, mencurahkan konsentrasinya pada pemilihan umum. Triliunan rupiah digelontorkan oleh negara, juga partai politik dan masyarakat kecil, demi pemilu. Semua itu dilakukan karena pemilihan umum diyakini sebagai pilar demokrasi yang akan menyelamatkan nasib bangsa dan negara.

Benarkah? Secara struktural mungkin ya. Karena pemilihan umum, sebagai salah satu ajaran demokrasi, sudah terlanjur dipilih untuk mengisi struktur-struktur negara seperti lembaga perwakilan, dan terakhir juga untuk lembaga eksekutif. Tanpa pemilihan umum tidak ada rotasi, juga tidak ada lejitimasi. Tanpa pemilihan umum, akan terjadi stagnasi dan pada gilirannya melahirkan otoritarianisme. Begitulah menurut teori demokrasi.

Tapi, sekali lagi, benarkah? Benar, jika pemilihan umum hanya dipandang dari sisi formalitas-rutinitas. Tapi, menurut saya, pemilihan umum bukanlah segala-galanya. Malah dia bisa jadi bencana bagi segala-galanya. Tentu, jika kita berkenan melihat pemilihan umum secara lebih kritis, dengan memakai kaca mata substansial-esensial. Maka akan terlihat beberapa kejanggalan dari sebuah pemilihan umum di tengah masyarakat yang sangat beragam tingkat kedewasaan dan pemahamannya tentang sebuah nilai.

Yang Menang, Yang Populer

“Jika ide tentang rakyat adalah ide tentang pasar, dan pemilihan umum jadi toko kelontong besar, demokrasi akan memilih seorang Arnold Schwarzenegger,” tulis Goenawan Mohamad dalam kolom Catatan Pinggir (Tempo, 24 Agustus 2003), sebulan menjelang pemilihan gubernur California, salah satu Negara Bagian Amerika Serikat.

Schwarzenegger akhirnya terpilih. Tapi apakah dia terpilih karena mutu kepemimpinannya? Atau dia terpilih karena program yang dia tawarkan? Memang, dalam kampanyenya, Schwarzenegger sempat menjajakan program, diantaranya “program lepas sekolah”. Tapi benarkah dia terpilih karena itu? Saya rasa bukan. Melainkan karena dia adalah sosok yang sangat populer—seorang selebritis Hollywood yang kaya raya, yang film-filmnya, diantaranya Terminator dan Total Recall, begitu tersohor.

Schwarzenegger adalah contoh mutahir, bahwa pemilihan umum akan melahirkan sosok pemimpin yang populer. Ibarat toko kelontong, bermacam ragam hal ditawarkan. Tak ada yang telah diseleksi lebih dulu, menurut jenis, tingkat mutu, dan segmen pembeli. Tapi orang memilih barang lebih karena pilihan laris dan praktis, yang semua itu sangat dipengaruhi oleh apa yang dalam pemasaran dan periklanan disebut brand-name, atau merek, atau logo, yang mudah dikenal. Praktis: tidak perlu menelisik dan mencari-cari lagi.

Karena itu jangan heran jika menjelang pemilihan umum 2004 di Indonesia, para kontestan bekerja keras membangun popularitas. Triliunan rupiah (Ekonom UI Mohamad Chatib Bisri memperkirakan, Rp 10-15 triliun dihabiskan untuk kampanye) dihamburkan untuk mendominasi bawah sadar masyarakat agar selalu ingat pada nomer sekian …, warna ini …, tanda gambar tertentu …, dan seorang tokoh X…!

Dari situlah kemudian masyarakat tergiring untuk memilih seorang pemimpin berdasarkan tingkat popularitasnya, bukan berdasarkan mutu dan karakter kepemimpinannya. Maka, model pemilihan pemimpin seperti ini bukan saja melahirkan Schwarzenegger atau Josep Estrada—presiden terguling Filipina, seorang bekas bintang film yang populer, melainkan juga mengokohkan George W. Bush sebagai presiden Amerika Serikat, hanya karena dia punya brand-name (“Bush”) yang sudah dikenal banyak orang.

Pertanyaannya adalah, model “pencarian” pemimpin seperti inikah yang kita kehendaki itu? Jika jawabnya ya, maka jangan menyesal jika nanti akhirnya yang terpilih sebagai pemimpin adalah seorang yang “bermoncong putih”!

Satu Suara Kyai = Satu Suara Pelacur

Al kisah, sebuah partai politik Islam, belajar dari kekalahnnya pada pemilu sebelumnya. Pada saat itu partai ini hanya mengandalkan kader-kader eksklusifnya, baik sebagai calon anggota legislatif maupun sebagai pemilihnya. Tak heran jika tidak banyak suara yang berhasil diraupnya, sehingga partai ini tidak memenuhi kuota minimal jumlah kursi di parlemen (electoral threshold).

Belajar dari kekalahan itu, kini partai politik tersebut sudah mulai terbuka. Sudah banyak calon anggota legislatif yang direkrut dari luar organisasi kadernya (bahkan untuk daerah tertentu sudah ada yang berasal dari luar Islam). Salah satu pernyataan yang mengokohkan keterbukaan itu pernah disampaikan oleh salah seorang pimpinan lokalnya, bahwa seorang PSK (pelacur) pun bisa menjadi calon anggota legislatif asal memenuhi syarat-syarat tertentu.

Mungkin partai politik Islam tersebut tidak benar-benar berminat merekrut pelacur sebagai calon anggota legislatifnya, tetapi maksud yang hendak dituju adalah bahwa partai politik tersebut sangat welcome. Rupanya partai politik tersebut mulai sadar bahwa kunci sukses dalam pemilihan umum adalah teraihnya kursi. Dan kursi bisa didapat jika berhasil diraup suara sebanyak-banyaknya. Sementara suara sebanyak-banyaknya tidak bisa dihandalkan dari para kader eksklusifnya, melainkan harus diambil dari berbagai lapisan masyarakat: dari kalangan agamawan sampai kalangan pelacur (kan tidak ada larangan bagi para pelacur untuk memilih partai politik Islam dalam pemilihan umum!).

Memang, dalam ajaran demokrasi ditegakkan aturan satu orang adalah satu suara (one man one vote). Suara seorang kyai sama nilainya dengan suara seorang pelacur. Suara seorang doktor sebanding dengan suara seorang buta huruf. Tak heran jika kini partai tidak hanya berkonsentrasi pada basis massanya, melainkan sudah melebarkan sayap pada kelompok-kelompok lain. Ironisnya, pelebaran sayap itu seringkali mengesampingkan prinsip-prinsip yang (pernah) dianutnya.

Sebuah partai politik yang berbasis massa Islam modernis sampai-sampai harus melakukan praktik “larung kepala kerbau”—sesuatu yang berbau TBC (tahayul, bid’ah, khurafat)—demi menggaet suara pada kalangan nelayan tradisional. Sebuah partai politik Islam yang dulu mengharamkan perempuan sebagai pemimpin, kini, harus meralatnya demi meraup suara kaum wanita yang lebih banyak.

Demikian juga partai politik sekuler. Pada musim-musim menjelang pemilu, mereka sangat giat menggarap suara kalangan santri. Tengoklah berbagai kunjungan mereka ke berbagai pondok pesantren! Lihat pula mimbar-mimbar kampanye mereka yang tak pernah sepi dari “ulama” dan istiqhosah! Mereka mau menutup fakta bahwa produk hukum yang mereka perjuangkan di parlemen seringkali bertentangan dengan aspirasi kaum santri (masih ingat hiruk pikuk penetapan UU Sistem Pendidikan Nasional?).

Tokoh-tokoh yang dulu dikenal sebagai tokoh Islam, kini harus melakukan metamorfosis diri menjadi tokoh pluralis. Hari ini mengucapkan “Selamat Idul Fitri”, esoknya “Selamat Natal”, lusa berucap “Gong xi fat cai”. Juga, tokoh-tokoh nasionalis sekuler kini berlomba-lomba mengubah dirinya menjadi nasionalis relijius. Berkalung sorban layaknya para kyai.

Ya. Semua itu dilakukan untuk meraup suara sebanyak-banyaknya. Tanpa memandang dari mana suara itu didapatkan. Lalu kita bertanya, bagaimana sebuah partai politik bisa memperjuangkan sesuatu yang luhur jika mereka justru melakukan pelacuran diri demi meraup suara sebanyak mungkin? Bagaimana pula pertanggungjawaban mereka atas konstituen lintas basis yang telah memberikan suara kepadanya?

Suara Rakyat adalah Suara Tuhan

Imajinasikan ini. Kuota 30% perempuan di parlemen terpenuhi. Asumsikan mereka semua adalah pejuang kesetaraan jender. Perjuangan mereka juga didukung oleh 21% laki-laki anggota parlemen. Lalu mereka, lewat berbagai “pintu”, berinisiatif mengimplementasikan isu jender menjadi produk hukum. Salah satu produk hukum yang ingin direvisi adalah soal pembagian harta waris. Saatnya kini 1:1, bukan lagi 2 untuk pria dan 1 untuk perempuan. Perjuangan mereka berhasil. Maka berlakulah hukum waris yang baru: 1 untuk perempuan, 1 untuk laki-laki.

Menurut teori demokrasi, produk hukum yang dihasilkan oleh parlemen tersebut adalah sah. Itulah kebenaran baru, cermin dari aspirasi rakyat yang disuarakan oleh wakilnya di parlemen. Sebab suara rakyat adalah suara tuhan (fox populi fox dei). Artinya apa yang diinginkan oleh mayoritas rakyat itulah yang berlaku sebegai nilai kebenaran. Meskipun itu bertentangan dengan nilai-nilai kebenaran sejati? Tidak jadi soal. Karena ini demokrasi Bung!

Memang itu baru khayalan belaka. Namun, sejarah mencatat bahwa parlemen kita hampir saja berhasil memperjuangkan “suara mayoritas” menjadi kebenaran baru (misalnya RUU Perkawinan tahun 1973 yang banyak memuat pasal yang bertentangan dengan syariat Islam). Untung itu bisa digagalkan. Tapi tidak menutup kemungkinan bahwa suatu saat akan lahir produk hukum yang bertentangan syariat Islam, jika suara di parlemen didominasi oleh mereka yang sekuler. Hal itu lumrah saja, sebab itulah konsekuensi dari ajaran demokrasi melalui pemilihan umum. Toh, di negara lain sudah ada contohnya, misalnya produk hukum yang melegalkan perkawinan sesama jenis. Menurut ajaran demokrasi, hal itu sah-sah saja karena banyak yang menginginkannya.

Persoalannya adalah, di tengah-tengah lautan masyarakat yang serba permisif ini, partai-partai yang mengusung ajaran moral, misalnya dengan jargon syariat Islam, akan sulit memperoleh suara dukungan, meskipun di negara yang mayoritas Islam (coba pikir, untuk menarik massa kampanye saja partai politik pengusung syariat Islam harus ikut arus dengan berdangdut megal-megol ria). Sebaliknya dengan partai-partai sekuler. Jadi, bagi yang percaya dengan pemilihan umum sebagai alat perjuangan, bersiap-siaplah menjadi bagian dari “ketok palu” keinginan suara rakyat = suara tuhan!

Sidojangkung, 2005

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s