SALAH satu keunggulan ibadah puasa adalah sifat kerahasiaannya. Berbeda dengan ibadah mahdhah lainnya, ibadah shalat, zakat, atau haji——di samping bisa dilihat orang lain secara kasat mata, juga membutuhkan keterlibatan pihak lain. Shalat (fardhu) misalnya, justru lebih utama dilakukan secara berjamaah dibanding dikerjakan sendirian. Dalam zakat, dikenal ada wajib zakat (muzakki) dan yang berhak menerima zakat (mustahi’); yang keduanya dihubungkan dengan amil zakat. Dalam hubungan itu jelas terjadi interaksi dan saling membutuhkan. Demikian juga haji, yang dikenal sebagai “kongres” umat Islam sedunia. Sedangkan puasa!
Memang, secara penampilan lahiriah, seseorang bisa tampak lemah dan tak bertenaga sebagai kelaziman seorang yang berpuasa di siang hari. Namun, penampilan fisik itu belum menjadi jaminan seseorang sedang berpuasa atau tidak. Ibadah puasa tidak mungkin disertai orang lain dan juga tidak mungkin diketahui orang lain. Bisa saja di hadapan orang lain seseorang seperti berpuasa, tetapi kita tidak tahu bagaimana saat ia sedang sendirian? Padahal, antara puasa sejati dan puasa palsu hanya dibedakan oleh seteguk minum atau sesuap makanan. Dan itu bisa dicuri minum atau dicuri makan saat sendirian.
Oleh karena itulah puasa bersifai sangat rahasia, bahkan rahasia antara hamba dengan Tuhannya. Dalam hadits qudsi Allah SWT berfirman, “Setiap perbuatan anak Adam (manusia) satu kebajikan akan dilipatgandakan menjadi sepuluh, kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu untuk-Ku, dan Aku sendiri yang akan membalasnya…” Dengan sifatnya yang rahasia itu, puasa mendidik pelakunya untuk bersikap jujur.
Mengapa puasa sejati tetap kita pertahankan, meskipun di saat sendirian kita bisa membatalkannya dengan “mencuri” minum, tanpa sepengetahuan orang lain? Jawabnya adalah karena Allah selalu hadir dan mengawasi segala gerak-gerik kita, di manapun dan di saat apapun. Jadi, kita tetap mempertahankan puasa itu meskipun dalam keadaan lapar dan dahaga yang sangat, karena kita sadar betul akan pengawasan Allah.
Itulah yang dimaksud dengan ilmu “menghadirkan” Tuhan. Yang dimaksud ilmu “menghadirkan” Tuhan adalah kesadaran selalu dalam pengawasan Tuhan. Kita “hadirkan” Tuhan dalam hidup kita (omnipresent). Seperti yang selama ini kita pahami, bahwa dengan segala kekuasaan-Nya, Allah SWT Maha Melihat atas segala tindak-tanduk kita, baik yang tersembunyi maupun terang-terangan. Di mana pun kita berada, Dia pasti tahu. Apapun yang kita lakukan Dia Mengetahui.
Itulah komitmen seorang pelaku “jalan lapar” yang benar-benar menghayati firman Allah dalam Surat Al Hadid/57: 4 “Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa; kemudian Dia bersemayam di atas Arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar dari dalamnya, apa yang turun dari langit dan apa yang naik ke sana. Dan dia bersama kamu di mana saja kalian berada. Dan Allah Maha Periksa atas segala apa yang kamu lakukan.”
Orang yang berpuasa sejati sadar betul bahwa Allah Maha Hadir. Dalam kesadaran itu, dia tidak butuh pengawasan lain kecuali Allah. Ada tidaknya orang lain, tidak mempengaruhi kadar puasanya. Tidak lebih bersemangat ketika puasanya diketahui orang lain atau tidak mengendur saat orang lain tidak mempedulikan puasanya. Itulah kejujuran yang murni. Jujur di hadapan Tuhan.
Keadaan yang selalu dalam pegawasan Allah seperti yang diperagakan oleh orang yeng berpuasa sejati itu menjadi modal penting bagi kita untuk bersikap jujur dalam segala hal; di tengah-tengah merebaknya kepalsuan dan kebohongan pada masyarakat dan pemimpin kita.
Selama ini posisi selalu dalam pengawasan Tuhan hanya kita sadari saat berada di masjid atau di majelis pengajian. Pada tempat-tempat sakral itu, biasanya kita selalu berpenampilan terpuji (baik fisik maupun perilaku), karena kita sadar betul bahwa saat itu kita sedang diawasi oleh Tuhan. Makanya kita selalu mendapati kebaikan dari orang-orang yang baik-baik pula.
Namun biasanya kesadaran dalam pengawasan Tuhan itu hilang saat kita berada pada tempat-tempat profan. Ketika di pasar, misalnya, kita sudah lupa bahwa Tuhan sedang mengawasi kita, sehingga dengan berani kita mengurangi timbangan atau takaran.
Betapa sejahteranya masyarakat ini, jika kejujuran menjadi naungannya. Sebab dalam payung sistem yang jujur itu, sudah barang tentu tidak akan ada kejahatan korupsi. Para pejabat dalam jajaran birokrasinya (baik pemerintah maupun swasta) tidak akan berani memanipulasi angka dalam anggaran untuk mengeruk uang haram. Karena, meskipun mereka memiliki siasat canggih untuk berkelit sehingga kejahatannya tidak akan terdeteksi. Ada tidaknya orang lain, tidak akan mempengarahi kejujurannya dalam mengelola amanah uang perusahaan, uang rakyat, atau uang negara. Mereka sadar betul bahwa Allah Maha Hadir dan mengawasi perbuatannya.
Betapa damainya masyarakat kita jika bersendikan kejujuran. Sebab dengan sendi itu tidak akan ada segala jenis perselingkuhan dan perzinaan. Para suami (atau istri) tidak akan berani berselingkuh, karena mereka sangat sadar Allah SWT akan “memelototinya”. Betapa malunya berbuat nista di hadapan Tuhan! Para remaja tidak akan berani melakukan seks pra nikah, karena meskipun orang tua, guru, atau temannya tidak mengetahuinya, tetapi ada Allah Yang Maha Tahu. “Malu kan ‘diintip’ Tuhan!”
Harapan kita, semoga puasa yang kita jalankan ini benar-benar mampu membangun kesadaran akan ke-Maha Hadir-an Allah SWT?
Dengan kemampuan “menghadirkan” Tuhan, insya Allah kita akan terjaga dari perbuatan-perbuatan tercela dan sebaliknya termotivasi untuk selalu berbuat kebajikan. Kita akan bekerja dengan sungguh-sungguh dan sepenuh hati, karena kita sadar sedang dilihat Tuhan. Betapa senangnya saat bekerja diawasi oleh Allah swt, Tuhan pemilik jagad raya ini; sementara dilihat presiden saja hati kita sudah berbunga-bunga!
Menganti, 4 Ramadhan 1427
Mohammad Nurfatoni
(Dimuat di Surabaya News—kini Surabaya Post—tahun 2002)