Suci Saat Datang dan Pergi

Innalillahi wa inna ilaihi roojiuun. Sesungguhnya kami berasal dari Allah dan sungguh kami akan kembali kepada-Nya.

Kita datang dari Allah dalam keadaan suci, maka seharusnya kita kembali kepada-Nya dalam keadaan suci pula. Inilah pesan penting yang terserap dari Idul Fitri. Ied berarti kembali dan fitr berati kesucian atau asal usul.

Jadi sesungguhnya puasa Ramadhan yang baru saja kita lakukan, akan membawa kita kepada keadaan seperti saat kita dihantarkan oleh ibu kita ke dunia; saat lahir menjadi bayi yang bersih dan suci. Rasulullah SAW bersabda, ”Barang siapa yang berpuasa Ramadhan dengan penuh keimanan dan perhitungan (ihtisab), maka dosa-dosanya masa lalu akan diampuni Allah.

Menarik, jika kita mengkaitkan dengan tradisi mudik yang biasa dilakukan masyarakat Muslim Indonesia saat datang Idul Fitri. Ternyata, mudik sebagai tradisi berkunjung ke kampung halaman, menjadi simbol kembali ke asal usul. Dengan berkunjung ke kampung halaman, setidaknya kita diingatkan akan dua hal; pertama, inilah wajah asli kita; mungkin ndeso banget atau malah miskin sekali. Kedua, di sanalah leluhur kita berada; maka mudik memberi ruang kasadaran kita akan asal usul, nenek moyang, dan kampung kita.

Dengan dua ingatan itu, sesungguhnya mudik adalah proses penyadaran kita akan mudik yang sesungguhnya, yaitu mudik menuju Allah SWT, seperti isyarat Allah, ”Wahai manusia, sesungguhnya engkau telah bersungguh-sungguh (untuk menemui-Ku), maka engkau akan menjumpai-Nya.Pertama, dengan puasa Ramadhan, kita telah dengan sungguh-sungguh untuk menyiapkan wajah asli kita, wajah bayi tanpa dosa. Kedua, dengan wajah asli itulah perjalanan kita kembali ke asal usul, yaitu Allah SWT di kampung akherat akan lancar.

Persoalannya, apakah puasa Ramadhan telah mampu mengantarkan kita untuk bersiap mudik ke kampung akherat? Doa kita, tentu saja, semoga begitu! Tapi, bisa juga tidak jika puasa kita setingkat puasa seperti yang disindir oleh Rasulullah SAW, ”Berapa banyak orang yang berpuasa tapi tidak mendapatkan apa-apa kecuali lapar dan dahaga.

Selain itu, dalam perjalanan panjang pascaramadhan, kesucian kita belumlah terjamin; apalagi dalam sistem yang non-taqwa, dimana pintu kemaksiatan terbuka lebar dan pintu kebaikan tertutup rapat.

Maka tugas individual kita adalah selalu menjaga kesucian diri, diantaranya dengan, pertama, selalu beristiqfar dan bertaubat kepada Allah SWT seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Tapi seringkali banyak kesalahan atau dosa yang tidak kita sadari. Sementara bertaubat itu meniscayakan penyesalan atas dosa-dosa yang kita lakukan. Maka dosa-dosa (kecil) yang tidak kita sadari semoga gugur dengan cara kedua, yaitu dengan memperbanyak amal shaleh.

Sahabat Salman Al Farisy pernah bersama Rasulullah SAW. Dalam perjalanan bersama itu, Rasulullah SAW tiba-tiba mengambil ranting sebuah pohon, lalu digerak-gerakkan ranting itu sehingga berguguranlah daun-daun keringnya. Kepada Salman Al Farisy, Rasullulah SAW memberi penjelasan bahwa apa yang dilakukan itu adalah simbol gugurnya dosa-dosa orang yang menyempurnakan wudhu dan shalat lima waktu.

Jika dari dua cara itu masih ada dosa atau kesalahan kita yang lolos juga, Allah SWT ternyata sangat luas kasih sayang-Nya pada kita. Ternyata, musibah, bencana, sakit, bahkan kesulitan mendapatkan nafkah yang halal, adalah cara Allah SWT untuk menghapuskan dosa-dosa kita.

Jika dengan itupun dosa kita masih ada, maka kematian kita adalah cara Allah untuk menghapus dosa kita. Masalahnya, apakah dua cara terakhir itu yang kita pilih, guna mensucikan diri agar bisa kembali suci seperti saat kita didatangkan Allah ke dunia ini?

Menganti, 2 Nopember 2006

Mohammad Nurfatoni

Dimuat Buletin Jumat Hanif, pekan ke-1 Nopember 2006

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s