Masjid Merah Berdarah

Masjid dikepung, diserbu, dan rakyat dibunuh. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana itu bisa terjadi? Rakyat, sebagiannya adalah pelajar, dibantai oleh pemimpinnya sendiri—yang seharusnya berkewajiban mengayominya. Bagaimana bisa terjadi, masjid tempat suci itu, yang di dalamnya terdapat kompleks pesantren Jamiah Sayyidah Hafsah, berubah menjadi kuburan massal. Tembakan, ledakan, dan gas syaraf bercampur-aduk dengan nafsu kekuasaan rezim militer Presiden Pervez Musharraf, membuat darah semburat dan tubuh-tubuh bergelimpangan.

 

Itulah yang terjadi di negeri “Muslim” Pakistan, Selasa 10 Juli 2007. Diperkirakan 800 orang tewas akibat serbuan yang bersandi Operasi Siluman itu, termasuk Maulana Abdul Rasyid Ghazi, wakil pemimpin Masjid Merah—seorang tokoh yang bersama abangnya, Imam Masjid Merah Abdul Aziz Ghazi, menjadi musuh Musyarraf. Jumlah kurban yang mencapai 800-an itu sungguh luar biasa meski pejabat pemerintah sendiri seperti dikutip TEMPO (22/7/07) hanya menyebut angka korban 200 lebih, tapi seorang relawan Pakistan, Abdys Sattar Edhi, telah menerima permintaan pemerintah untuk menyiapkan 800 kantong mayat, padahal sebelumnya ia sudah mengirim 300 kantong.

 

“Dosa” apa yang dibuat oleh Abdul Rasyid Ghazi dan ratusan pendukungnya sehingga mereka harus dibantai oleh militer Pakistan? Musharraf mengatakan bahwa tindakan penyerbuan itu dilakukan untuk menyelamatkan negara dari kehancuran! Tapi jujurkah Musharraf? Benarkah mereka akan menghancurkan Pakistan? Saya kira, salah satu jawaban jujur adalah dengan mencermati reaksi Presiden Amerika Serikat George W. Bush pasca-pembantaian itu. “Saya menyukai dan menghargainya,” kata Bush tentang Musharraf yang ia sebut sebagai sekutu kuat dalam memerangi ekstermisme. Jawaban jujur atas pembataian itu juga bisa dicermati dari pernyataan bekas PM Pakistan Benazir Bhutto. “Saya senang tidak tercapai gencatan dengan militan dalam masjid karena akan membuat mereka makin berani,” katanya sinis.

 

Jadi jelaslah, bahwa Abdul Rasyid Ghazi dan pendukungnya diburu, dan akhirnya dibantai, hanya karena mereka terlanjur dicap sebagai ekstremis, militan, atau radikal! Sementara tuduhan radikal ini dialamatkan kepada mereka hanya karena mereka memperjuangkan dan menginginkan penegakaan hukum syariah. Atau setidaknya, mereka menginginkan agar moral di Pakistan dijaga ketat. Mereka ini marah dan membunuh beberapa imigran China, yang menjalankan prostitusi di Islamabad (Kompas, 15/7/07).

 

Agenda Musharraf, Agenda Bush

Setidaknya ada dua hal yang bisa kita cermati sebagai agenda di balik pembantaian di Masjid Merah itu. Pertama, sebagai rezim yang memperoleh kekuasaannya dengan cara kudeta, Musharraf berusaha keras mempertahankannya dengan segala cara. Salah satu caranya adalah dengan melumatkan musuh-musuh politiknya. Dua bersaudara, Abdul Aziz Ghazi dan Abbdul Rasyid Ghazi adalah bagian dari musuh politik itu. Keduanya mulai menentang pemerintah karena dukungan Musharraf pada Amerika Serikat yang menyerang Afghanistan tahun 2001. Tak heran jika pernah terjadi percobaan pembunuhan pada Abdul Rasyid Ghazi tahun 2004 (ayahnya sendiri, Abdullah, terbunuh di Masjid Merah tahun 1998).

 

Tapi, sebenarnya masih banyak musuh politik Musharraf, di antaranya adalah kalangan akademisi dan praktisi hukum yang menentang pemecatan yang dilakukan Musharraf terhadap Ketua Mahkamah Agung Choudry Muhammad Iftikhar 9 Maret 2007.

 

Nah, pembantaian di Masjid Merah bukan malah memperkuat posisinya—meski ada yang mendukungnya seperti Benazir Bhutto—melainkan justru mempersolid para penentangnya. Dikabarkan para pengungsi politik Pakistan di luar negeri bertemu di London. Dipimpin bekas PM Nawaz Sharif yang dijungkalkan lewat kudeta militer oleh Musharraf delapan tahun lalu meminta Musharraf mundur.

 

Kedua, tentu mudah ditebak bahwa agenda kedua Musharraf berkaitan erat dengan Presiden Amerika Serikat George W. Bush. Musharraf, meskipun pada faktanya adalah militer yang mengambil-alih tampuk kekuasaan Pakistan melalui kudeta, adalah karib dekat George W. Bush. Ini memang aneh. Amerika Serikat yang mendengung-dengungkan demokrasi, justru bersahabat dengan Presiden Pakistan Pervez Musharraf yang anti-demokrasi, dan sangat diktator itu.

 

Semua itu dikarenakan double standard yang diterapkan AS. Di satu sisi mereka berusaha masuk ke ranah kekuasaan negara lain demi kampanye demokrasi (misalnya terhadap Iran, yang dianggap konservatif karena negara itu dipimpin oleh kekuasan para Mullah), namun di sisi lain justru ikut berupaya melanggengkan kekuasaan yang anti-demokrasi. Dalam konteks ini, Pakistan adalah contoh telanjang bagaimana AS bermuka dua. Contoh lain adalah Saudi Arabia. Bagaimana AS bisa bersahabat karib dengan negara monarki absolute seperti itu?

 

Tentu, itu tak lepas dari kepentingan yang ingin diambil oleh AS, terutama berkaitan dengan isu terorisme global. Pakistan adalah negara penting bagi AS dalam menghancurkan Rezim Taliban di Afghanistan enam tahun silam. Dan Musharraf, seperti juga pemimpin negara “Muslim” kebanyakan haruslah dirangkul oleh Bush untuk memerangi rakyatnya sendiri, yang jauh-jauh hari sudah dicap teroris oleh AS.

 

Dalam konteks ini bisa dikatakan bahwa pembantaian rakyat di Masjid Merah Pakistan yang dilakukan oleh Musharraf adalah perpanjangan tangan dari kepentingan AS, dan Bush pada khususnya, untuk memberangus setiap gejala perlawanan terhadap AS dalam perang global terorisme. Ini pula yang kita lihat pada konflik di Somalia beberapa bulan lalu. Di mana AS memberikan dukungan sepenuhnya pada pemerintah untuk menumpas rakyatnya sendiri.

 

Tapi benarkah apa yang disebut Islam radikal Pakistan itu akan habis? Imran Khan, salah satu bintang kriket Pakistan mengatakan, “Setelah delapan tahun kediktatoran militer, radikalisme dan fundamentalisme meningkat di mana-mana.” Pertanyaan penting juga diutarakan Benazir Bhutto, “Pertanyaan yang harus dijawab, bagaimana masjid makin menjadi radikal. Pasti ada benturan dengan pemerintah.”

 

Dua kutipan di atas memberi gambaran bahwa perlawanan terhadap Musharraf—yang kemudian sikap ini disebut radikal—adalah akibat dari sikap keras politik kekuasaan yang diterapkan Musharraf sendiri terhadap kalangan Islam Pakistan. Dalam skala global, ini pula yang sedang dilancarkan oleh Bush. Pembelaannya pada Israel, penyerbuannya ke Afghanistan dan kemudian Irak, juga keterlibatannya pada berbagai tekanan pada komunitas Muslim di negara lain, adalah tindakan yang bisa menyulut perlawanan rakyat Muslim di berbagai penjuru dunia.

 

Maka pujian Bush pada Musharraf adalah cermin dari keberhasilan misi yang diemban Musharraf. Dan saya tidak bisa membayangkan berapa juta dollar yang telah diterima Musharraf dan para kroninya akibat loyalitasnya pada tuan Bush itu!

 

Maka, wahai rakyat Pakistan, presiden-mu syaraf memang!

 

Sidojangkung, 18 Juli 2007

Mohammad Nurfatoni

(Dimuat Majalah Muslim, edisi Juli 2007)

3 komentar

  1. Assalaamu’alaikum..
    Artikel yang bagus. Maaf Mas, saya me-link artikel ini dari blog antum ke blog saya. Semoga Allah memberkahi kita semua. Terima kasih sebelumnya.

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s