Sekalipun diindikasikan berbau ‘permainan’ politik tingkat tinggi, kasus-kasus konflik dan pertentangan yang berbau agama semacam kasus Ketapang dan Kupang [juga Ambon dan Poso] menunjukkan masih rentannya sentimen keagaman pada masyarakat kita.
Ini sangat ironis dengan berbagai wajah yang ingin diwujudkan oleh pira elit agama. Dalam berbagai kesempatan, kita melihat beberapa tokoh penting dari berbagai agama duduk bersama membuat pernyataan seputar perlunya kerukunan umat beragama. Juga kita lihat berbagai atraksi doa bersama dari berbagai ritual doa keagamaan yang berbeda. Ada juga tokoh agama tertentu yang mencoba “cair” dengan simbol-simbol agama lain. Kita juga mendengar beberapa organisasi massa dan partai politik yang menghindari simbol-simbol agama demi menjauhi cap eksklusifitas primordial keagamaan.
Selain itu, pada tataran konseptual, juga lahir tafsir bahwa agama-agama itu lebih sebagai sebuah keyakinan dari pada formalisme kelembagaan. Ada juga tafsir bahwa agama-agama itu pada hakekatnya sama, setidaknya memiliki titik-titik temu tertentu. Lantas untuk apa melestarikan konflik antaragama? Mungkin itu pertanyaan yang hendak dijawabnya. Oleh karena itu jika ditarik benang merahnya, tafsir-tafsir tersebut menyimpan ambisi menghilangkan eksklusifitas agama.
Upaya para elit agama tersebut, seolah ingin memperlihatkan adanya kerukunan permanen dalam pluralisme agama. Keyakinan boleh berbeda, tapi semangat persatuan dan kesatuan harus tetap terjaga. Jangan terjebak pada formalisme agama tertentu. Jangan sampai kelembagaan agama mengalahkan semangat inklusifisme dan pluarlisme. Kira-kira begitulah ambisi para elit agama.
Tapi di tingkat massa, pernyataan dan perlilaku elit agama tersebut sulit dipahami; bahkan terlihat saling kontradiktif. Hal ini menimbulkan beberapa pertanyaan analitis. Pertama, apakah terjadi kesenjangan yang sangat jauh antara elit agama dengan massa (umat). Elit bilang rukun, umat malah saling gempur.
Kedua, apakah kesenjangan itu disebabkan karena tidak samanya motivasi yang mendorong perilaku kontradiktif tersebut? Elit demi kepentingan politik, umat demi jihad. Ketiga, apakah ini bukan bentuk radikalisasi umat atas perilaku elit agama yang dianggap nyleneh? Tokoh Muslim ke gereja; tokoh agama lain ke masjid (?). Umat menjadi sesak dadanya. “Apa-apaan ini?” gurutunya.
Keempat, atau ini dendam laten akibat penyebaran agama yang dirancang elit agama tertentu tanpa memperhatikan etika? Kita lihat misalnya, eksploitasi krisis dengan proyek: “Makan Siang dari Tuhan?”
Dari berbagai pertanyaan di atas, kita perlu kembali merenungkan beberapa hal. Pertama, perlunya redefinisi SARA, khususnya tentang unsur agama. Selama ini kita beranggapan bahwa simbol-simbol agama selalu mengandung unsur pertentangan. Dengan dalih itu kita membangun ideologi SARA, dengan tema: sebisanya mengubur dalam-dalam simbol-simbol agama.
Simbol-simbol agama, tentu saja beserta hakekat yang terkandung di dalamnya, kita samarkan atau kita ganti dengan sesuatu yang abstrak, misalnya Pancasila. Maka pernah terjadi pemberangusan asas aguma oleh asas Pancasila. Pernah pula terjadi pelarangan berbusana agama (jilbab) bagi pelajar. Sampai-sampai terjadi agama phobia. Kita takut menunjukkan identitas keagamaan kita. Dan ini masih berlanjut sampai sekarang, terbukti dengan banyaknya tuduhan primordial dan sektarian terhadap orang atau kelempok yang menonjolkan identitas agamanya. Bahkan lebih jauh dituduh fundamentafis dan eksterm [atau teroris].
Kedua, tidak relevan lagi memaksakan suatu pemikiran persamaan agama (agama-agama itu sama). Secara subjektif, para pemeluk agarna itu berhak meyakini agamanya yang benar, dan agama lain salah. Meskipun begitu perlu dikembangkan ruang terbuka untuk mengembangkan sikap dan kajian pada tataran objektif. Dengan sikap objektif kita harus menerima bahwa ada realitas agama lain selain agama yang kita anut. Meskipun begutu, sah-sah saja, bahkan kalau perlu dikembangkan, kajian objektiF tentang kebenaran agama. Sebab, logika saja sudah membenarkan bahwa tidak masuk akal jika agama-agama yang ada ini sama (dan benar semua). Logika ini perlu dipertajam dengan pertanyaan: benarnya semua agama, apakah menunjukkan tuhan itu banyak? Atau jika dibalik: tuhan itu satu, tapi menurunkan banyak agama? Rasa-rasanya tidak masuk akal kedua pertanyaan ini. Toh pada realitasnya, konsep dan ajaran agama-agama beda dan bertolak belakang satu dengan lainnya.
Ketiga, perlunya dilakukan redefinisi tentang konsep toleransi. Selama ini banyak diajarkan sikap toleransi yang salah. Demi toleransi kita ‘wajib’ membenarkan agama lain lewat ucapan selamat atau menghadiri ritus-ritusnya. Menteri Agama yang beragama Islam memberi sambutan tentang Hari Raya Waisak. Presiden yang beragama Islam menghadiri Perayaan Natal.
Toleransi itu artinya sikap menerima kenyataan bahwa ada orang lain yang memeluk agama lain (meskipun agama itu salah). Mereka tetap berhak untuk itu dan kita tidak berhak mengganggunya (selama mereka tidak mengganggu kita). Dengan sikap toleransi seperti ini, misalnya, agama saya (Islam) menggembangkan bangunan rahmatan lil alamin.
Jadi agama itu bukan unsur SARA dalam pengertian sebagai sumber konflik dan pertentangan, jika kita mau berpikir dan bersikap objektif, tidak mengada-ada.
Mohammad Nurfatoni
Dimuat Buletin Jumat Hanif, No. 18 Tahun ke-3 4 Nopember 1998