Universalitas Puasa

Seorang usahawan nyaris putus asa ketika perusahaan handalannya mengalami bangkrut total. Anak-anaknya seketika menjadi liar dan menempuh cara hidup tanpa kiblat, sementara orang tua mereka belum sanggup melakukan usaha kecil-kecil karena gengsi.

 

 

Dalam keadaan kalang kabut yang demikian, ia menemui seorang ustadz untuk mendapatkan jalan keluar dari musibah yang ditanggungnya.

“Jalan keluar satu-satunya hanya berpuasa,” saran Ustadz. “Jangan berolok-olok, ustadz. Masalah saya ini masalah serius.

 

“Berpuasalah, kataku! Apa berpuasa itu kurang surius?”

 

“Apa yang bisa saya peroleh dalam kondisi lapar, lemas, dan tanpa vitalitas tubuh?”

 

 

“Ah, kamu memang suka berpikir secara liar, tidak mengikuti pola berpikir dari Rabbul ‘alamin.”

 

“Pola berpikir Rabbul ‘alamin?”

“Ya. Lihatlah sebelum dirimu. Binatang-binatang itu juga mau berpuasa demi kelestarian keturunannya. Kalau ayam-­ayammu tidak mau berpuasa saat mengerami telurnya, kamu tidak akan bisa menikmati goreng ayam dan opornya. Mereka akan punah jauh-jauh hari sebelum kau sempat nongol di sini.

Lihat pula ular itu. Budaya mereka mengeraskan struktur kulitnya, supaya tidak cedera oleh sengatan matahari dan tusukan duri-duri, berakhir dengan tidak mampu lagi melata di muka bumi. Akhirnya mereka mau juga berpuasa. Dan apa perolehan mereka? Mereka dapat menanggalkan kulit yang membelenggu dirinya selama itu, tanpa perlu gengsi­gengsian.

 

Kemudian renungkan pula fenomena ini. Bila ulat-ulat pemakan daun itu tidak berpuasa, kamu pasti tidak akan kebagian makanan. Untung mereka taat pada aturan Rabbul ‘alamin, sehingga mereka mampu menjelma menjadi kupu-­kupu. Selain bisa terbang, pekerjaan mereka berganti dengan mengawinkan bunga-bunga, menolong proses penyerbukan, dan makanan mereka madu. Asyik, kan? Asyik, kan? Asyik, kan?

(“Binatang pun Berpuasa”, Muhammad Zuhri, Suara Merdeka, 1996.)

***

Apa yang dapat dipelik dari kisah di atas? Pertama, ternyata puasa itu bersifat universal, global, atau kosmopolitan. Tidak hanya manusia yang berpuasa, binatang pun berpuasa! Ini menunjukkan bahwa puasa itu milik semua golongan, termasuk milik umat-umat terdahulu. “Hai orang-orang yang beriman diwajibkan puasa atasmu sebagaimana telah diwajibkan atas umat sebelum kamu…” (Al Baqarah/2:183).

 

Maka sangat aneh jika ada manusia yang enggan, bahkan mengingkari, berpuasa (Ramadhan). Sebab dengan sikap seperti itu, mereka tercerabut dari pola berpikir Rabbul’alamin.

 

Kedua, ternyata berpuasa itu merupakan pengorbanan pelakunya bagi semesta alam. Seperti yang dilakoni oleh binatang di atas, demi kelestarian keturunannya, mereka rela berpuasa, yakni menahan diri untuk tidak mengumbar kebutuhan fisikalnya. Dengan berkorban seperti itu, maka pelaku puasa pada dasarnya telah menanam dua kesadaran penting.

 

Pertama, kesadaran akan kelangkaan sumberdaya alam. Dengan berpuasa, para shaimin (pelaku puasa) melatih ketahanan diri agar mampu memungut sumber daya alam seminimal mungkin bagi kebutuhan hidupnya. Sebab, mereka menyadari bahwa sumber daya alam terbatas, maka tak pantas jika dihambur-hamburkannya untuk memanjakan nafsunya. Para shoimin justru sadar bahwa sumber daya alam yang terbatas itu harus dimanfaatkan seefisien mungkin demi kelestarian hidup bersama.

 

Maka adalah aneh, jika puasa Ramadhan justru membuat anggaran belanja kita melonjak.

 

Kedua, dengan demikian, para shoimin juga menanam kesadaran akan kebersamaan hidup. Mereka tidak egois. Mereka berpikir terhadap yang lain: tentang pelestarian sumber daya; lentang masa depan generasi mendatang; tentang kelangsungan hidup bersama. Maka sungguh tidak wajar jika puasa Ramadhan tidak meninggalkan efek sosial bagi pelakunya.

 

Bagi shoimin yang sanggup ikhlas berkorban demi semestanya ini (partisipasi dalam kemenejeran Tuhan), maka akan mendapat anugerah dari Allah yang tidak disangka-sangka. Seperli ulat yang bermetamorfosis dengan puasa sehingga menjadi kupu-kupu, maka tidak saja dia bisa terbang, tapi juga bisa membantu proses penyerbukan, sekaligus mereguk madunya. Maka shoimin yang menjalankan puasa dengan penuh makna akan mencapai derajat taqwa. Dan bagi orang bertaqwa, Allah akan memberikan jalan keluar dan rizki yang tak di sangka-sangkanya (Ath Thalaq/65:2-3).

 

Mohammad Nurfatoni

Dimuat Buletin Jumat Hanif No. 17 Tahun ke-5, 24/11/2000

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s