Semangat Idul Fitri

Idul Fitri segera datang. Seperti tahun-tahun sebelumnya kita sambut dan meriahkan hari itu dengan penuh kegembiraan, bahkan dalam beberapa kasus kita rayakan hari itu dengan pesta penuh nafsu. Agar Idul Fitri tidak sekedar menjadi rutinitas yang menjebak, maka kita perlu melakukan perenungan-perenungan mendalam untuk mendapatkan makna, semangat, atau ruh asasi Idul Fitri.

Idul Fitri dan Semangat Pembebasan

Ketika masuk pada Idul Fitri, kita diperintahkan untuk mengagung-besarkan Allah. Kita penuhi langit dengan gemuruh takbir. Kalimat-kalimat tayyibah yang berisi puji-pujian untuk Al­lah kita lantunkan. Dalam puji-pujian itu kita kembali mengikrarkan akan keagungan, ketinggian, kesucian, kebesaran, kekuasaan, dan keesaan Allah. Puji-pujian itu sekaligus menjadi cerminan pengakuan akan kekerdlilan, kerendahan, dan kelemahan kita.

Dengan tuntunan melantunkan kalimat-kalimat tayyibah tersebut, Idul Fitri menyadarkan kita untuk kembali ingat kepada Allah. “Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah pun melupakan mereka (pada diri mereka sendiri)” (At-Taubah/9:67). Dengan mengingat Allah, kita menjadi ingat terhadap diri kita sendiri.

Dalam rentang perjalanan waktu selama setahun—karena kecintaan kita terhadap dunia atau karena kelelahan kita untuk mempertahankan hidup di dunia—kita menjadi lupa kepada Allah. Kita tidak pernah membesarkan Allah, sebaliknya selalu membesarkan diri kita, keluarga kita, harta kita, jabatan kita, ego kita.

Karena kita lupa kepada Allah maka Allah membuat kita lupa pada diri kita, lupa pada kemanusiaan kita. Lupa pada diri sendiri itu membuat kita kadang berubah menjadi binatang buas, yang selalu siap memakan orang lain. Kita makan rakyat dengan kekuasaan politik kita; kita makan rakyat dengan kekuasaan konglomerasi kita; kita makan rakyat dengan dolar kita (dengan menimbun atau melarikan ke luar negeri). Kita makan rakyat dengan monopoli. Kita makan rakyat dengan korupsi. Padahal pola makan-memakan rakyat yang lemah, yang tak berdaya adalah sifat kebinatangan yang hanya mengenal hukum rimba, siapa yang kuat dialah yang menang.

Idul Fitri datang untuk membebaskan kita dari segala belenggu yang mengungkung kemanusiaan kita. Belenggu ego, belenggu harta, belenggu jabatan, belenggu ilmu, atau belenggu pangkat. Idul Fitri mengingatkan bahwa semua itu pada dasarnya tidak bermakna apa-apa. Tidak merupakan sesuatu yang besar, tidak pula sesuatu yang agung, yang kuasa, dan yang suci. Kebesaran, keagungan kesucian, dan kekuasaan mutlak, hanyalah milik Allah. Oleh karena itu sesungguhnya yang berhak mengatur, menjajah, menekan, dan memain-mainkan kita—baik dalam arti kiasan maupun sesungguhnya—hanyalah Allah. Sebaliknya hubungan kita dengan yang lain akibat relasi harta, pangkat, jabatan, atau gender seperti: penguasa-rakyat, atasan-bawahan, majikan-buruh, tuan-pembantu, pedagang-pembeli, pria-wanita adalah hubungan kemanusiaan dan menajemen belaka. Dalam relasi tersebut tidak lagi berlaku hukum tekan-menekan, mati-mematikan, kuasa-menguasai, atau hamba­t-menghambat. Sebab itu semua adalah ciri hukum rimba atau hak sewajarnya relasi Tuhan-manusia.

Idul Fitri dan Semangat Pencarian Kebenaran

Dengan terbebas dari segala belenggu anti-kemanusiaan tersebut, manusia akan menemukan jati dirinya masing-masing. Penemuan jati diri yang terpenting pada Idul Fitri adalah bahwa manusia itu makhluk (pencari) kebenaran.

Seperti kita ketahui, manusia lahir dalam keadaan suci, tanpa dosa. Namun perfu dicatat, bahwa lahir tanpa dosa itu bukan berarti sama dengan kertas putih kosong, sebab sesungguhnya kelahiran manusia membawa potensi kebenaran. Itu terjadi setelah manusia pada suatu kesempatan asali penciptaan, pernah mengadakan perjanjian dengan Allah tentang ketuhanan Allah. “Dan (ingatlah) kelika Tuhanmu mengeluarkan keturunan Adam dari sulbi mereka (seraya berkata): “Bukankah aku ini Tuhanmu?”Mereka menjawab, “Benar, kami bersaksi.” (Al-A’raf/7:172). Pengakuan terhadap Allah adalah puncak dari seluruh kebenaran, sehingga seluruh kebenaran itu sendiri juga berasal dari Allah (AI-Baqarah/ 2:147).

Karena itu kembalinya manusia pada kesejatiannya disebut Idul Fitri (id berarti kembali, fa’tr atau fi’trah berarti kesucian, agama yang benar, atau asal kejadian). Dengan demikian, maka Idul Fitri mengajarkan manusia untuk melepaskan dirinya dari kejahiliyahan, kedunguan, ke-bego-an, atau kebodohan.

Idul Fitri mengajarkan kebenaran untuk menolak kebatilan. ldul Fitri mengajarkan kebenaran untuk menolak penipuan. Idul Fitri mengajarkan kebenaran untuk menolak pembodohan struktural. Idul Fitri mengajarkan kebenaran untuk menolak fatamorgana mayoritas (AI-An’am/6:116).

Implikasinya, ldul Fitri menuntut keberanian kita untuk menolak kebatilan, melawan penipuan, menentang manipulasi, dan memberontak pusat-pusat struktur pembodohan rakyat. Lebih jauh Idul Fitri mengajak kita untuk keluar dari sistem yang gelap menuju sistem yang jelas (AI-Baqarah/2:157). Idul Fitri, menuntut kita untuk membebaskan rakyat dari kungkungan sistem yang bobrok, sistem yang carut-marut, sistem yang tidak adil, sistem yang penuh dengan kesewenang-wenangan; sistem yang dibangun atas dasar nafsu kekuasaan, dan bukannya atas dasar kebenaran. Idul Fitri mengajak membangun sistem yang benar, sistem yang adil, sistem yang demokratis, sistem yang membuka peluang selebar-lebarnya untuk dilaksanakannya seluruh hukum kehenaran.

Selamat Idul Fitri. Pesan penting Idul Fitri: bebaskan segala belenggu anti-kemanusiaan. Suarakan selalu kebenaran!

Mohammad Nurtatoni

Dimuat Buletin Jumat Hanif No. 27 tahun ke-2, 30 Januari 1998

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s