Ambivalensi TV dan Ramadhan

Majelis Ulama Indonesia (MUI) mempersoalkan sejumlah tayangan stasiun televisi selama Ramadhan ini. Mereka menilai beberapa tayangan tersebut menyimpang dari syiar Islam.

“Hasil pemantauan yang kami lakukan, banyak tayangan yang dirasa kurang pas untuk bulan Ramadhan,” kata Ketua MUI Amidhan di Kantor Depkominfo kemarin. Tayangan-tayangan tersebut, antara lain, mengandung unsur-unsur pornografi, kekerasan, dan mistis (Jawa Pos, 27/9/07).

Apa yang menarik dari berita di atas? Pertama, setiap Ramadhan, kita selalu diributkan oleh wacana tentang puasa yang steril dari hal-hal yang maksiat. Di samping tuntutan program siaran televisi yang “islami” seperti disampaikan MUI di atas, wacana harus-tidak ditutupnya berbagai tempat yang berkaitan dengan perilaku maksiat (lokaliosasi pelacuran, panti pijat, diskotek, night club), juga selalu mengemuka.

Salah satu alasan penghentian tayang program siaran tidak “islami” atau penutupan tempat maksiat adalah karena umat Islam berada di bulan suci Ramadhan dan kaum Muslim yang berpuasa di dalamnya harus dihormati dengan jalan menghentikan segala pergelaran perilaku maksiat.

Menarik untuk menelaah sejauh mana alasan di atas bisa kita diterima. Memang, pada saat umat Islam menunaikan ibadah di bulan Ramadhan, diperlukan suasana kondusif yang memungkinkan dijalankannya puasa dan ibadah lainnya secara khusuk. Maka segala gangguan, terutama yang berbau maksiat, harus dijaulai sejauh-jauhnya.

Tapi, ada kelemahan mendasar pada argumentasi di atas. Seolah-olah pergelaran kemaksiatan di luar bulan Ramadhan diperbolehkan, bahkan diberi ruang yang luas.

Kita, tentu, harus setuju jika program siaran televisi harus sopan dan mendidik, serta tempat-tempat digelarnya kemaksiatan ditutup di bulan Ramadhan; tetapi sekali­-kali hal itu jangan didasarkan pada Ramadhan­nya, melainkan bahwa segala bentuk kemaksiatan memang harus dijauhkan-dijauhi; tak peduli di bulan Ramadhan atau bulan-bulan yang lain. Sebab, sekali lagi jika Ramadhan dijadikan alasan penutupan itu, akan menimbulkan kerancuan berpikir: bahwa di luar bulan Ramadhan kemaksiatan menjadi halal (argumentasi seperti ini tercermin misalnya dari pernyataan “Jangan berbohong saat berpuasa Ramadhan; jadi di luar Ramadhan boleh berbohong?).

Jadi, saya setuju jika MUI mengevaluasi program siaran televisi yang penuh dengan pornografi, kekerasan dan mistis itu. Tapi mengapa harus mengambil momentum Ramadhan. Jika dalam suasana Ramadhan harus steril seperti itu, lantas bagaimana nasib puasa Ramadhan umat Islam di belahan negara-negara sekuler? Haruskan mereka menuntut wilayah mereka steril? Bisakah? Bagaimana caranya?

Kedua, soal televisi. Sudah sering kritik pedas dialamatkan pada mereka. Tapi begitulah televisi kita, sebuah bagian dari industri kalitalisme. Soal rating dan iklan menjadi capaian utama. Maka, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) selalu tak berdaya. Sementara ada Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) dan Undang-Undang Penyiaran, khususnya pasal 36 UU Penyiaran tentang larangan isi siaran yang bersifat fitnah, menghasut, berbohong, dan cabul.

Jadi, untuk sementara (jika tak mampu membendung dampak negatif televisi) matikan televisi, kalau bisa secara serentak. Lha kalau yang lihat televisi minim, mana ada iklan yang tayang. Tapi apa bisa hal ini dilakukan? Ah, setidaknya tirulah “Bang Jack” Deddy Mizwar, berbuat dan berbuat untuk pelan-pelan mendominasi siaran televisi yang menghibur, mendidik sambil menyindir. Meskipun akhirnya jatuh juga dalam pelukan kapitalisme!

Sidojangkung, 27 September 2007

Mohammad Nurfatoni

Dimuat Buletin Jumat Hanif, No. 59 Tahun ke 11, 28 September 2007

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s