Berita menarik tentang syariah Islam kembali mencuat menyusul pernyataan pemimpin tertinggi Gereja Anglikan Inggris Dr Rowan Wiliams yang mengatakan bahwa adopsi sejumlah syariah Islam dalam dasar hukum Inggris adalah hal yang tak terhindarkan. Sebab, syariah Islam tak sering bertentangan dengan struktur dan pola hidup warga di negeri kerajaan itu.Williams mengakui bahwa syariah Islam mencakup aturan yang sangat luwes, tapi komprehensif.
Aplikasi dasar-dasar hukum Islam tersebut dalam struktur kenegaraan Inggris akan mampu mengatasi kohesi sosial yang saat ini melanda bangsa kolonialis itu. Dia lantas mencontohkan, tiap Muslim yang terlibat dalam sengketa pernikahan sampai finansial dapat menemukan solusi pada syariah Islam. Hal tersebut, lanjut dia, menunjukkan betapa lengkapnya syariah Islam (Jawa Pos, 10/2/08).
Mengapa berita ini menarik? Ini terutama karena pernyataan itu disampaikan oleh seorang pemimpin gereja—dan tentu saja bukan seorang Muslim apalagi Muslim fundamentalis. Ini perlu saya garisbawahi karena selama ini ada semacam stigma bahwa syariah Islam identik dengan fundamentalisme Islam dan karena itu para penyuaranya selalu diberi label Islam garis keras. Dengan kenyataan ini, akankah kita tetap mengatakan bahwa para penyuara syariah Islam, tentu di dalamnya juga Dr Rowan Wiliams, adalah seorang fundamentalis (Islam)?
Stigma syariah Islam sebagai cermin fundamentalisme Islam, khususnya di Indonesia, sebenarnya jauh-jauh hari sudah terbantah oleh maraknya bank syariah atau bank konvensional yang memiliki “divisi” syariah, termasuk bank-bank asing, yang beroperasi di Indonesia (terlepas apa bank-bank tersebut memang benar-benar bebas dari riba, atau sekedar bebas dari bunga?). Lantas, apakah kita akan mengatakan bahwa karena bank-bank itu menerapkan sistem syariah Islam dalam operasinya itu sebagai bank fundamentalisme Islam?
<
Seperti kita cermati bersama, selama ini selalu muncul serangan terhadap apa saja yang bernuansa syariah Islam. Mulai dari usaha amandemen pasal 29 UUD 1945, penerapan perda-perda bernuansa syariah Islam di beberapa daerah, dukungan terhadap RUU APP atau bahkan terhadap kelompok-kelompok yang memperjuangkan syariah Islam. Serangan itu bahkan kemudian ada yang terorganisasi dalam sebuah konsep yang disebut dengan Islam liberal dengan motornya Jaringan Islam Liberal (JIL).
Hal lain yang menarik adalah bahwa usulan penerapan syariah Islam oleh Dr Rowan Wiliams bukan untuk Negara Muslim, yang mau tidak mau harus diakui masih banyak yang belum menerapkannya termasuk Indonesia, melainkan untuk “negara kafir” Inggris. Tentu, ada perasaan “bangga” bahwa syariah Islam masih dianggap relevan, setidaknya oleh pengusul, menjadi pola hidup yang universal, bukan saja bagi umatnya, tetapi juga untuk umat lain. Selama ini sering kita mendengar orang-orang mengakui universalitasnya nilai-nilai Islam seperti keadilan, kejujuran, kedisiplinan atau kebersihan telah berlaku pada “negara kafir” di negara-negara maju, sampai muncul pernyataan, misalnya “Kita temui Islam ada di Jepang, tapi tidak di Indonesia.” Sebuah pernyataan yang ingin mengungkapkan bahwa Jepang lebih islami soal kedisiplinan dibanding dengan umat Islam Indonesia.
Rupanya relevansi syariah Islam tidak saja terletak pada nilai-nilai kejujuran dan sebagainya tadi, melainkan coba dilirik dari sisi hukum muamalat, seperti ([solusi] sengketa) perkawinan dan finansial seperti pandangan Dr Rowan Wiliams di atas.
Tapi kebanggaan atas mulai diterimanya ide syariah Islam, termasuk oleh orang lain, perlu juga dikritisi. Sebab, seperti bisa diduga, syariah Islam itu hanya (akan) diambil yang sesuai dengan selera mereka. Simak misalnya pernyataan Dr Rowan Wiliams yang menekankan bahwa tidak semua hal dalam syariah Islam layak diadopsi. Misalnya, hukum Islam yang memberikan sanksi tegas potong tangan untuk pencuri. Juga, aksi [yang dianggap] diskriminasi terhadap perempuan.
Pola selera seperti ini tidaklah baru. Dalam sejarah penjajahan Belanda di Indonesia misalnya pernah kita kenal seorang tokoh yang bernama Snouck Hurgronje. Dalam sebuah rekomendasi yang diberikan kepada pemerintah Hindia Belanda, ada beberapa syariah Islam yang diusulkan boleh dilakukan oleh masyarakat Muslim terjajah, misalnya syariah yang berkaitan dengan rukun Islam (shalat, puasa, atau haji). Tapi, dalam rekomendasi itu jangan sampai memberi ruang gerak bagi Islam politik (syariah politik).
Nah, ini pula saya kira yang masih sering disalahpahami oleh umat Islam tentang hubungan Islam dengan Orde Baru, khususnya pada periode akhir kejatuhannya. Seperti banyak diduga, Soeharto telah dianggap islamis atau mengkomodasi (syariah) Islam di akhir masa pemerinthnnya, dengan bukti ia menunaikan ibadah haji, mendirikan banyak masjid atau merestui berdirinya Bank Muammalat dan ICMI. Tapi mari kita lihat, apakah pada masa itu Soeharto mengakomodasi syariah politik. Sampai masa kejatuhannya, partai politik Islam masih dikebiri, juga ormas Islam dengan asas tunggal Pancasila-nya itu.
Jadi, syariah Islam sebagai solusi universal saya kira masih jauh panggang dari api. Bukan saja karena masih banyak yang mencaci-menentangnya, melainkan yang mengambil idenya pun masih setengah-setengah. Seperti juga halnya kita semua. Ketika menikah (monogami) atau saat meninggal sangat setuju menggunakan syariah Islam, tapi dalam aspek lainnya kita masih jauh dari syariah Islam.
Ah, saya jadi ingat Aa Gym, munkin dia adalah korban dari “Syariah Islam: Dicari dan Dicai!”
Sidojangkung, 11 Pebruari 2008
Mohammad Nurfatoni
Dimuat Majalah Muslim, edisi Pebruari 2008
Saya kira perspektif setiap orang tentang syariah islam itu–tidak bisa ditawar2 lagi–berbeda-beda. Jika ada yang pro maupun kontra, sah2 saja lah, Pak. Dan tentu, jika kita melihat realita kontemporer segenap problem di negeri ini, syariah Islam nampaknya belum efektif untuk diterapkan. Yah, saya rasa Bapak sudah tahu jawabannya kenapa.
Wassalam.
SukaSuka
Assalaamu’alaikum,
Hampir satu jam saya membuka blog sampean. saya sungguh terkesan. saya jadi kangen dengan sampean. Insya Alloh, saya ingin bertemu dengan sampean bulan ini. Terimakasih.
Eko
SukaSuka
Syariah Islam belum dilihat sebagai SOLUSI atas segala permasalahan hidup.Masih sering dilihat sbg ‘inventarisasi sanksi2’.Tugas Ustadz Fathoni dkk untuk menyadarkan umat.Bagus blog nya.Salam ukhuwah (okiaryono@gmail.com)
SukaSuka
Terima kasih okiaryono. Tetapi saya kira tugas kita semua!
Salam kenal!
SukaSuka