Mencari Ikhlas di Kehampaan Diri

Apa yang dimaksud dengan ikhlas? Salah satu contoh perbuatan ikhlas yang sering dikutip adalah seorang yang sedang membuang “hajatnya” di WC. Mengapa? Dia disebut ikhlas karena tak mengharapkan apa-apa dari sesuatu yang baru saja dilepasnya. 

Itukah ikhlas? Contoh di atas tentu saja menyesatkan karena yang dilepaskan itu adalah sesuatu yang tak lagi dia butuhkan dan, mau tak mau, harus dibuang. Maka, logikanya, bagaimana ada harapan [timbal balik] dari kotoran yang justru harus dilepaskan itu? 

Jadi, apa makna ikhlas itu? Menarik, untuk mengutip surat ke-112 dalam al-Qur’an. Surat itu disebut surat al-Ikhlas. Sedang isinya tentang ketauhidan: Katakanlah, Dia Allah yang Esa. Allah tempat bergantung. Tak beranak dan dipernakkan dan tak ada satu pun yang setara dengan Dia. 

Jadi ikhlas itu apa? Secara letter lijk kata ikhlas berarti memurnikan dari kata khalasa-yukhlisu-ikhlaasun.Dengan merujuk pula pada kandungan surat al-Ikhlas di atas, maka ikhlas adalah memurnikan segalanya pada Allah. 

Lebih gamblang makna ikhlas itu kita dapati dari ikrar kita: Sesungguhnya shalatku, ibadahku, Hidup dan matiku, Lillahi rabbil aalaamiin (karena dan untuk Allah semata).  

Filsafat Angka Nol 

Innaalillaahi wa innaa ilaihi roojiuun. Sesungguhnya kami berasal dari Allah dan sungguh kami akan kembali kepada-Nya. Ayat di atas memberi petunjuk bahwa: pertama, kita pada dasarnya tidak ada. Adanya kita (lahir) karena diadakan oleh Yang Ada (Allah). Inilah makna innaalillaahi (sesungguhnya kami berasal dari Allah).

Kedua, karena asalnya tidak ada, maka pada akhirnya kita pun akan tiada (mati); wa inaa ilaihi roojiuun (dan sesungguhnya kepada-Nya kita akan kembali).  Dalam bahasa matematika, kondisi seperti ini dilambangkan oleh bilangan nol (0)—sebuah bilangan yang secara aritmatika menunjukkan ketiadaan.

Dalam bahasa puisi, kondisi nol itu saya urai sebagai berikut: 

Fana 

aku dalam semesta fana

bungkus lingkaran hampa

meraba penuh tanya

benarkah aku ada? 

aku ada karena Kau ada         

tanpa Kau, aku tiada         

maka aku ada

bagai tiada 

(Nfath, 21012008) 

Dari Nol Menuju Ikhlas 

Karena pada dasarnya yang ada hanya Allah, maka semuanya adalah milik Allah. Karena semua milik Allah, maka semua harus dikembalikan kepada Allah. Maka, ikhlas adalah memuarakan semuanya pada Allah.  

Simaklah cerita menarik ini: Suatu saat, sekelompok pramuka mengadakan penjelajahan di bukit berbatu; dalam perjalanannya salah seorang pramuka menemukan sebuah pengalaman yang berharga; dia terheran takjub ketika melihat ada air yang menetes dan terus menetes dari celah bukit.

Mengapa kawan pramuka itu takjub, bukankah air selalu menetes dari atas ke bawah! Ya, tapi yang ia takjubi adalah ternyata air itu terus menetes meski tak ada yang memperhatikannya. Ia terus menetes meski tak ada yang memuji; ia terus menetes meski tak ada yang mencaci. Ia mengalir, menetes memenuhi kehendak Allah lewat hukum sunatullahNya bahwa air selalu mengalir dari atas ke bawah, terseret daya tarik grafitasi.
(
Pak Muh, “Langit-Langit Desa”).


Air itu ikhlas, karena ia menjalankan perintah Allah karena tak ada pilihan lain selain taat pada Allah. Bukankah ia adalah nol. Ia milik Allah bagaimana ia akan membangkang pemiliknya. Maka ia rela terhadap Allah: bagaimanapun kehendak Allah itu; bagaimanapun ketentuan Allah itu; bagaimanapun keputusan Allah itu; bagaimanapun ketetapan Allah itu, tanpa peduli dengan pujian atau makian; dalam keadaan sendirian pun; sunyi, senyap, sepi ia terus bekerja.
 
Jadi ikhlas itu adalah beraktivitas karena, demi, dan semata untuk Allah.  Simak pula cerita ini: Suatu ketika seorang lelaki memohon pada tuhan sekuntum bunga dan seekor kupu-kupu namun Tuhan malah memberinya sebonggol kaktus dan seekor ulat.

Alangkah sedihnya lelaki itu, ia tak mengerti mengapa permintaannya keliru pikirnya, oh Tuhan masih banyak tugas mengurusi orang-orang lain … dan dia memutuskan tak akan bertanya.

Setelah beberapa waktu, si lelaki memeriksa kembali permintaan yang telah lama dilupakannya itu alangkah terkejutnya dia dari sebonggol tanaman kaktus berduri nan jelek itu tumbuhlah sekuntum bunga yang elok dan ulat yang menjijikkan itu telah berubah menjadi kupu-kupu yang sangat cantik.  Ah, ternyata Tuhan selalu memberikan yang terbaik walaupun bagi kita kelihatannya keliru.

(Dewi, “Kupu-kupu dan Bunga”, kiriman Arch222) 

Maka ikhlas saja pada Tuhan apapun pemberiannya apapun keputusannya. Mungkin hari ini penuh onak berduri esok akan menjadi bunga indah mewangi. Maka teruslah berusaha, teruslah berdoa! 

Mohammad Nurfatoni Email: sidojangkung@yahoo.co.id

Disampaikan pada acara “MABID Siswa Putri SMP Al Hikmah Surabaya, 6 Maret 2008”   

 

7 komentar

  1. Keikhlasan tak diperoleh melalui pemikiran,keikhlasan hanya akan diperoleh melalui rasa,dimana kehadiran rasa dan gerak diluar kemampuan pikir dan keberserahan akan menunjukkan kemana seharusnya kita ikhlas. Tanpa kata tanpa suara,yang ada hanya gerak dan rasa.Sebagaimana denyut jantung yang bergerak dan terasa,penuh ikhlas menopang keinginan kita.

    Suka

  2. Om Fathoni … numpang crita crita masalah ikhlas ya. Crita Contoh aja biar gampang dan mudah di cerna. “Ikhlas itu seperti AS dan POROS nya. Tidak boleh ada IMPURITIES yg masuk. Apapun. Sebab, begitu KOTORAN masuk sedikit saja … Pasti bunyi. Pasti timbul panas. AS dan POROS akhirnya terluka semakin parah. Maka, begitulah contoh kanjeng gusti Nabi, menjelang shalat jumat mencukur bulu ketiak. Barang yg tidak kelihatan dalam diri kita masing masing toh harus dibersihkan. Begitu ada maksud tersembunyi di dalam AS POROS, pasti bikin rusak amalan. Wassalam.sik

    Suka

  3. ikhlas itu dalam realitasnya memang lebih enak dirasakan, daripada dibicarakan bahkan dibahasakan. Saya mencoba membaca suatu buku yang mengupas ikhlas..namun di akhirnya malah kebingungan dan kemudian terus bertanya “apakah aktivitasku sudah ikhlas?”.

    Rasanya lebih enak bergerak dan terus bergerak sembari menyatakan saat bangun pagi, “Alhamdulilaah, hari ini Tuhan masih memberikan kesempatan untuk berbuat yang terbaik”. Jadi, selama kita berusaha memberikan yang terbaik, niat, hati, pikiran, dan perbuatan mengarah pada Ilahi, sudah cukuplah itu. Wallaahu A’lam.

    Suka

  4. Jadi, untuk menjaga ikhlas, kita tidak boleh berangka 1.
    untuk menjaga ikhlas, kita tidak boleh mempunyai angka 1.
    untuk menjaga ikhlas, kita tidak boleh menjadi angka 1.
    Yang boleh 1 hanya ALLAH. ALLAHU AHAD, ALLAHUSHSHOMAT

    Terima kasih,

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s