oleh Mohammad Nurfatoni
Dimuat Surabaya Post Sabtu, 19 September 2009 | 10:23 WIB
Setiap menjelang Idul Fitri, terjadi peningkatan belanja yang luar biasa. Pusat-pusat perbelanjaan, baik yang tradisional maupun modern, penuh sesak oleh pengunjung. Dari sudut pandang bisnis, hal ini tentu menggairahkan. Namun, bagaimana dari sudut pandang spiritualisme, khususnya dalam pemaknaan puasa Ramadan dan Idul Fitri?
Indikator terjadinya peningkatan belanja masyarakat bisa juga dilihat dari peredaran uang kartal yang diperkirakan mencapai Rp 300,4 triliun pada H-1 Idul Fitri tahun ini. Jumlah ini meningkat dari tahun 2008 yang mencapai Rp 250 triliun.
Bisa ditebak, besarnya peredaran uang kartal itu bukan hanya karena peningkatan belanja kebutuhan primer, melainkan juga kebutuhan sekunder, bahkan tersier, yang kadang-kadang di luar nalar sehat. Orang belanja bukan karena memerlukan suatu barang, tetapi hanya ingin melampiaskan nafsu belanjanya. Perilaku seperti ini lantas ditangkap oleh pelaku bisnis dengan menerapkan strategi diskon besar-besaran. Dengan diskon, orang-orang tergoda membeli sesuatu yang sebenarnya tidak dibutuhkan.
Lebih jauh konsumerisme menjelang Idul Fitri juga menampakkan gejala absurditas. Banyak fenomena orang belanja hanya sekadar ingin mengganti barang lama dengan baru. Lebih absurd lagi barang baru tersebut dimiliki sekadar untuk menunjukkan ”siapa saya” kepada sanak saudara atau para tetamu yang bersilaturahmi ke rumahnya.
Hambatan Perkembangan Jiwa
Menarik meletakkan konsumerisme dalam kerangka teori psikoanalisis Sigmund Freud sebagaimana ditafsirkan Jalaluddin Rahmat (Madrasah Ruhaniah, Mizan, 2006). Freud menyebut tiga fase perkembangan jiwa anak. Pertama, fase oral yang ditandai dengan kenikmatan memasukkan sesuatu ke dalam mulut. Kenikmatan ini diperoleh dari pengalaman anak menyusui ibunya. Selanjutnya fase anal yaitu ketika anak-anak mendapat kenikmatan saat mengeluarkan kotoran dari tubuhnya seperti urine atau buang air besar. Pada fase ini mereka suka dengan timbunan kotoran dan kadang mempermainkannya. Terakhir fase genital yang menandai anak telah beranjak besar. Pada fase ini mereka memiliki kegemaran mempertotonkan atau mempermainkan alat kelamin.
Menurut Jalaluddin, teori Freud di atas menjelaskan bahwa tiga fase perkembangan anak seluruhnya berhubungan dengan kebutuhan fisik dan tak menyentuh kebutuhan ruhani. Sementara kebutuhan manusia terus berkembang. Semakin dewasa semakin abstrak bentuk kebutuhannya, misalnya kebutuhan intelektualitas dan spiritualitas.
Namun pada sebagian orang terjadi fiksasi (hambatan) kepribadian. Ada orang yang terhambat pada pemenuhan kebutuhan oral saja. Kenikmatan baginya hanya terletak pada makanan dan minuman.
Ada pula yang terhambat pada periode anal di masa dewasanya. Mereka gemar melihat kotoran. Berbeda dengan anak-anak, orang dewasa mengubah kotoran dalam bentuk tumpukan harta benda. Mereka senang saat membaca laporan deposito. Mereka senang melihat ”tumpukan” rumah, perhiasan, kendaraan, pakaian, dan sejenisnya.
Penumpukan kekayaan yang dibeli dengan pengeluaran belanja yang besar pada dasarnya adalah sublimasi dari kenikmatan memandang kotoran. Dan konsumerisme pada dasarnya ada hasrat berbelanja ”tumpukan-tumpukan kotoran.” Bermewah-mewah dengan harta benda, meski tak jelas asas manfaatnya.
Nah, ada juga manusia yang terhambat pada fase genital karena dalam hidupnya yang terpikirkan hanyalah kepuasan hedonistik semata seperti seks bebas dan perselingkuhan.
Peran Industri Iklan
Harus diakui besarnya peran sistem kapitalisme pasar dalam merongrong konsumerisme masyarakat modern. Didukung oleh kecanggihan teknologi informasi dalam berbagai media massa, baik cetak (koran dan majalah) maupun elektronik (TV, radio, dan internet), kapitalisme telah menyihir bawah sadar dalam berperilaku konsumtif.
Media komunikasi modern telah menjalankan fungsinya sebagai public relations bagi produksi barang-barang konsumtif. Bahkan, media massa bukan saja menjadi media promosi paling depan untuk menjajakan barang-barang konsumsif, melainkan juga berfungsi sebagai pembentuk image atau citra mengenai gaya hidup glamor dan hedonistik.
Ironisnya, bulan puasa yang mestinya menjadi wahana penggemblengan pertumbuhan ruhani justru dibajak oleh kapitalisme untuk memanjakan konsumerisme. Simak saja acara-acara TV yang dijejali oleh iklan-iklan konsumtif. Bahkan bulan puasa telah menjadi lahan subur iklan-iklan itu. Jam-jam mati pukul 02.00 dini hari tiba-tiba riuh, berjubel oleh acara yang disokong daya ekonomi iklan.
Mencederai Puasa
Konsumerisme yang meningkat menjelang Idul Fitri ini tentu bertolak belakang dengan semangat yang dibawa oleh ibadah puasa. Setidaknya ada dua semangat puasa yang dicederainya. Pertama, seperti telah kita jalani, puasa adalah peragaan hidup bersahaja. Dalam puasa, kita memperagakan bagaimana memanfaatkan kepemilikan secara bersahaja, tidak menghambur-hamburkan dan berfoya-foya, meskipun itu milik sendiri.
Namun, kita dilarang makan dan minum sekalipun terhadap makanan atau minuman milik sendiri, sebelum waktunya tiba. Dengan peragaan itu puasa mendidik manusia untuk mampu mengendalikan hawa nafsu, termasuk di dalamnya adalah nafsu konsumtif, atau lebih jauh nafsu serakah dalam menumpuk harta.
Kedua, puasa juga mengajarkan bertoleransi terhadap kelestarian makhluk hidup di masa depan dengan berpikir dan berperilaku atas kemungkinan kelangkaan sumberdaya alam. Puasa sesungguhnya melatih ketahanan diri pelakunya agar mampu memungut sumber daya alam seminimal mungkin bagi kebutuhan hidupnya. Sebab, harus disadari bahwa sumber daya alam sangat terbatas, maka tak pantas jika dihambur-hamburkannya untuk sekadar memanjakan nafsu sesaat.
Sumber daya alam yang terbatas itu harus dimanfaatkan seefisien mungkin demi kelestarian hidup bersama. Seperti pohon jati yang ”berpuasa” dengan menggugurkan daunnya, atau ayam yang ”berpuasa” saat mengerami telurnya. Kedua ”puasa” itu tidak lain adalah perilaku menjaga kelestarian keturunannya.
Lantas bagaimana kita keluar dari jerat konsumerisme? Puasa mengajak manusia beriman untuk menyuburkan pertumbuhan ruhani sekaligus mengendurkan kebutuhan jasmani. Dalam puasa manusia diajak mi’raj ke tingkat spiritualitas yang lebih tinggi dengan mengendalikan kebutuhan oral, anal, dan genital.
Dengan pertumbuhan ruhani yang optimal manusia bisa mengontrol hawa nafsunya. Sebab ruhani yang sehat akan menuntut manusia untuk bergerak pada kebutuhan-kebutuhan yang bersifat intelektualitas dan spiritualitas. Manusia seperti ini jika berlebih harta akan menggunakannya untuk menolong sesama. Bukan untuk membangun egoisme hedonistik-materialistik.
Dari sini manusia akan mencapai pintu menuju Tuhan. Inilah makna penting yang seharusnya dicapai manusia ketika menjalankan puasa Ramadan dan berhasil mendapati Idul Fitri, yakni ketika manusia kembali pada Tuhannya. Semoga!
Penulis adalah aktivis FOSI (Forum Studi Islam) Surabaya, penulis buku ”Tuhan yang Terpenjara”