Oleh Mohammad Nurfatoni
Artikel ini telah dimuat Majalah MUSLIM edisi Nopember 2009
Mengangetkankah percakapan lewat telepon seluler pengusaha Anggodo Widjoyo dengan sejumlah orang sebagai upaya kriminalisasi KPK yang diperdengarkan dalam sidang Mahkamah Konstitusi (3/11/09)? Jawabnya bisa “ya”, bisa “tidak”; tergantung sudut pandang yang dipakai.
Pertama, mengagetkan karena rekaman itu dengan vulgar dan detail menyebut bagaimana seorang pengusaha merancang kasus hingga tawar-menawar imbalan kepada pihak-pihak yang diduga ikut merekayasa. ”Saya ngeri sekaligus kaget, betapa proses peradilan di negara ini bisa didikte Anggodo. Ini menunjukkan mafia peradilan kuat menguasai lembaga penegak hukum kita,” kata Teten Masduki, Sekretaris Jenderal Transparansi Internasional Indonesia (TII) seperti dikutip Kompas (4/11/09).
Kedua, tidak mengagetkan karena sebelumnya telah beredar sebagian transkripnya di media massa, sementara diperdengarkannya rekaman itu di sidang MK bagikan durian runtuh atau hadiah istimewa dari MK karena dengan diperdengarkan di sidang MK terpenuhi asas legal-formalnya. Sebab sebelumnya beredar semacam ancaman bagi yang membocorkan transkrip itu dan media massa yang memuatnya. Bahkan rekaman itu juga akan disita pihak kepolisian.
Ketiga, tidak mengagetkan jika kita kaitkan dengan “isu” lama yang selama ini seolah-olah hanya menjadi hantu tanpa jelas sosoknya; yakni adanya mafia peradilan. Rekaman itu, meskipun belum dibuktikan di pengadilan, bisa menjadi petunjuk telanjang bagaimana sesungguhnya hantu itu menampakkan dirinya. Dalam rekaman terlihat jelas bagaimana kolaborasi antara (oknum) pengusaha, (oknum) pengacara, (oknum) kejaksaan, dan (oknum) kopolisian dalam merekayasa kasus hukum tertentu.
Sayangnya, kita tidak mendapatkan rekaman yang juga melibatkan pihak peradilan (oknum hakim). Sebab menurut survei tentang Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2006 yang dilakukan oleh TII, peradilan menggondol prestasi sebagai institusi paling aktif meminta suap kepada pengusaha.
Maka tidak salah jika ada sebuah pameo yang mengatakan bahwa jika kita kehilangan kambing maka dalam proses hukumnya justru membuat kita kehilangan sapi. Bisa dalam pengertian bahwa karena tidak ada biaya, lalu kita dikalahkan oleh sebuah skenario hukum sehingga bukan saja kita tak bisa mendapatkan kembali kambing itu, tapi justru kita dibuat babak-belur sebagai pihak yang dikalahkan. Dalam konteks lain bisa pula diartikan bahwa proses hukum membutuhkan “biaya” lebih tinggi dari kasus yang ada, baik biaya resmi maupun biaya tidak resmi.
Pengusaha Jago Suap
Anggodo Widjojo hanyalah satu dari sekian potret pengusaha nakal yang berani memain-mainkan hukum. Masih banyak pengusaha lainnya yang setipe. Dengan kekuatan uang mereka bisa memainkan-mainkan para pejabat.
Dalam kasus bisnis pengusaha juga terbiasa menyogok. Menurut survey Transparancy International Indonesia pada tahun 2008, 60 persen eksekutif bisnis di 50 kota ketika berhubungan dengan lembaga publik harus melakukan suap. Sementara akibat suap tersebut terjadi penambahan biaya proyek sedikitnya 10 persen dan dalam beberapa kasus bahkan lebih dari 25 persen.
Bisa diduga implikasinya, jika nilai proyek itu akan membengkak sebanding dengan biaya suap dan lainnya yang dikeluarkan pengusaha dan diterima pejabat. Sebab sulit bagi pengusaha untuk mengurangi marjin keuntungan; yang sangat mudah dilakukan adalah melakukan mark up nilai proyek. Dan semua ini bisa diatur oleh mereka yang terlibat suap-menyuap.
Dalam kasus suap menyuap ini para pengusaha berdalih jika mereka dengan sengaja melakukan suap kepada aparat pemerintah. Hal itu, menurut dia, terjadi karena pengusaha berada dalam posisi yang lemah. Jika tidak melakukan suap maka bisnisnya tidak akan berjalan sesuai rencana.
Menurut mereka para pengusaha hanyalah korban dari sebuah sistem yang sudah rusak. Padahal sejatinya pengusaha juga menginginkan persaingan bisnis terjadi secara fair berdasar kaidah yang sejujurnya. Namun, jika sistim yang berlaku belum mendukung, maka pengusaha terpaksa harus mengikuti. “Jangan lupa, pengusaha adalah seorang yang oportunis,” kata seorang pengusaha.
Nah, sikap oportunis inilah yang meskinya menjadi bahan introspeksi diri para pengusaha. Kalau pengusaha tidak menawarkan suap tidak mungkin terjadi suap. Sebaliknya kalau seluruh pengusaha tidak mau memenuhi permintaan suap pejabat, mana ada terjadi suap? Suap terjadi karena ada permintaan atau penawaran. Lalu apakah inisiatip suap-menyuap ini seperti pertanyaan yang sulit dijawab ini: “lebih dulu mana ayam atau telur?” Yang jelas penyuap dan tersuap sama-sama merugikan. Dari Ibnu Umar ra, ia berkata : “Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam melaknat yang memberi suap dan yang menerima suap” (HR At-Tirmidzi).
Penegak Hukum atau Penekuk Hukum?
Kalau pengusaha atau pihak yang terkait hukum punya inisiatip menyuap namun pejabat bermoral tinggi, maka bukan saja dia menolak suap malah justru menangkap penyuap. Tapi inilah ironi pejabat kita. Banyak yang justru menggunkan jabatan untuk mengeruk keuntungan.
Apakah ini yang dimaksud dengan falsafah yang mengatakan betapa kuatnya tiga godaan bagi mereka yang sedang mendaki jabatan, yaitu tahta, harta, dan wanita (“Tiga Ta”).
”Tiga Ta” bukan dianggap sebagai godaan yang perlu disikapi secara hati-hati oleh para pejabat melainkan justru dijadikan sebuah cita-cita secara salah. Jika tahta, yaitu kedudukan terhormat sebagai pejabat penegak hukum sudah diraih maka terbukalah lebar-lebar kesempatan untuk menumpuk harta (dan menggait wanita), meskipun dengan memanfaatkan jabatan dan kedudukannya secara tidak bermoral!
Rekaman percakapan Anggodo Widjojo itu menelanjangi betapa banyak pejabat penegak hukum yang bisa seenaknya berhubungan dengan orang-oarng yang terlibat kasus hukum. Ironisnya para pejabat yang seharusnya menjadi teladan bagi yang lain justru memberi contoh buruk. Mereka tidak memberi contoh mulia dalam menegakkan hukum melainkan justru memberi contoh cara-cara menekuk hukum. Patut dipertanyakan integritas para pejabat kita.
Bukan Sekadar Reformasi Birokrasi
Ramai-ramai kasus kriminalisasi KPK dianggap menjadi momentum penting reformasi birokrasi, terutama di kalangan kepolisian dan kejaksaan. Tapi mengingat banyaknya pihak yang disebut-sebut dan diduga terlibat dalam kasus itu, tentu tidak cukup hanya dengan itu. Bagaimana bisa, pengusaha bermain, jaksa dan polisi bermain, pegacara dan mafia kasus bermain. Belum lagi jika diteruskan adanya media dan pejabat tinggi negara yang namanya juga disebut-sebut. Memang semua perlu diklarifikasi, dan tak boleh memilih-milih sehingga ada kesan dikorbankan.
Tapi itulah gambaran masyarakat kita: korupsi seolah sudah menjadi “budaya”. Penyebutan “budaya” korupsi sebenarnyua tidak tepat, sebab seharusnya budaya itu berkonotasi baik; tetapi yang dimaksud di sini bahwa korupsi telah menjadi perilaku massif; yang jika itu terus-menerus dibiarkan, seolah menjadi perilaku yang benar.
Jika mengutip puisi Negeri Para Bedebah Adhie M Massardi: “… bila melihat negeri dikuasai para bedebah/usirlah mereka dengan revolusi/bila tak mampu dengan revolusi, dengan demonstrasi/bila tak mampu dengan demonstrasi, dengan diskusi/tapi itulah selemah-lemahnya iman perjuangan”, maka revolusi menjadi pilihan utama.
Artinya sistem ini memang sudah harus diperbaiki total; misalnya koruptor tak cukup lagi dipenjara; malah bisa dipotong tangannya seperti tawaran tradisi hukum Islam: “Pencuri lelaki dan pencuri perempuan, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Maka barang siapa bertaubat sesudah melakukan penganiayaannya itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Maidah :38-39) Semoga!
Sidojangkung, 4 Nopember 2009