Foto Profil Mohammad Nurfatoni
Liberalisasi budaya bukanlah ekspresi kemerdekaan, 
ia justru akan membunuh peradaban secara perlahan.

Seorang
Raja sedang dirundung duka. Putri kesayangannya sakit parah. Berbagai upaya pengobatan dilakukan. Belum juga si Putri sembuh. Beberapa dokter telah didatangkan. Tak ada hasil.

Tapi sang Raja tak patah arang. Ia terus berusaha. Sampai suatu saat, datanglah ‘orang pintar’. Ia menawarkan resep kesembuhan Putri. Resep manjur, katanya.

Orang pintar memberi tiga pilihan resep. Raja boleh memilih satu di antaranya. Cukup satu. Tak perlu dua atau tiga. Adapun tiga syarat itu adalah: pertama, agar si Putri sembuh, raja harus memukul istrinya. Raja tertegun dengan syarat ini. Sebab, ia dikenal sebagai raja yang sangat sayang pada istrinya. Bagaimana mungkin ia akan menyakitinya?

Raja menolak syarat ini. Raja meminta syarat yang kedua. Lalu orang pintar menjelaskannya. “Baginda harus membunuh kuda tunggangan!” katanya. Raja bimbang. Ia penyayang binatang. Apalagi kuda kerajaan. Tunggangan resmi sang raja. “Tak mungkin, saya membunuhnya,” protesnya dalam hati.

(Baca: Siyono dan Nyawa Seekor Semut)

Dalam bimbang, raja bertanya resep ketiga. Orang pintar membuka suara, “Raja harus minum khamr. Minuman keras.” Raja terperanjat. Seumur-umur belum pernah ia meminum minuman beralkohol. Ia raja yang taat. Tapi ia mulai goyah. Putrinya harus sembuh. Ia sangat mencintai putrinya. “Haruskah aku terpaksa menenggak khamr?” Otak dan hatinya mulai berperang. Saling berhadapan.

Otaknya memberi nasehat, “Nggak apa. Lakukan saja. Minum tak merugikan orang lain. Beda dengan memukul istri atau membunuh kuda.” Hatinya menolak. “Jangan, itu haram. Dosa.”

Tapi raja harus membuat keputusan. Otaknya yang menang. Menurutnya, meminum khamr, jauh lebih sedikit mudaratnya. Ia hanya akan merugikan diri sendiri. Jika pun berdosa, ia bisa bertobat. Yang penting putrinya sembuh. “Okey,” kata Raja. “Saya pilih resep ketiga. Saya siap minum khamr.” Maka ia pun minum khamr yang dibawa orang pintar itu.

Seteguk. Dua teguk. Dan akhirnya beberapa teguk minuman keras itu mulai beraksi. Raja pusing. Ia setengah tak sadar. Saat itu, seperti biasa, kuda meringkik di kandang. Tapi kali ini lain. Emosi Raja sedang tidak stabil oleh pengaruh minuman keras. Ringkikan kuda itu membuatnya murka. Ia hunus pedang. Ia tebas kuda itu. Kuda kesayangan pun tumbang.

Mengetahui kejadian itu, istri raja tergopoh menghampiri. Ia hendak mencari tahu apa yang terjadi. Tapi raja malah tersinggung. Ia pukul sang Istri. Babak belur. Sakit, hatinya.

Kisah penuh metafor ini pernah saya baca di rubrik “Hikmah” koran Republika sekitar akhir 90-an. Saya tidak bisa mengutip persis. Korannya sudah raib. Mbah Google pun saya tanya, tidak menjawab. Akhirnya saya tulis kembali, dengan gaya bahasa sendiri.

Ada pesan penting yang hendak saya sampaikan dari kisah itu: jangan remehkan efek minuman keras. Raja memilih resep menenggak khamr, karena menganggap dampaknya paling kecil. Tapi ternyata justru membuyarkan segalanya. Jatuh korban-korban. Kudanya mati. Sang Istri pun terluka. Padahal dua keadaan itu sejak semula coba ia hindari. Ini gara-gara minuman keras. Minuman yang mampu merusak daya kontrol emosi seseorang.

Seorang remaja putri Yy, dalam kisah kontemporer adalah korban dari pembiaran produksi dan distribusi minuman keras. Anak-anak remaja leluasa minum alkohol. Lalu mereka dengan brutal, memerkosa, dan membunuh korban.

Tidak bisa dibayangkan 14 remaja memerdayai perempuan kecil. Tidak salah jika banyak yang berpendapat bahwa pengaruh minuman menjadi penyebabnya. Minuman keras membuat mereka menjadi raja tega. Menjadi buas. Dan konon, para pelaku kejahatan punya resep sebelum bertindak. Mereka butuh alat pacu keberanian. Dan minuman keras pilihannya.

Liberalisasi budaya
Selain hilangnya kontrol emosi, pengalaman bawah sadar juga punya peran penting. Pembunuhan dalam film, yang ditonton berulang-ulang, suatu saat akan memengaruhi cara bertindak seseorang. Demikian juga kekerasan seks, termasuk pornografi.

Sementara atmosfir film, lokal atau impor, telah didominasi materi seks dan kekerasan. Anehnya, muncul pula gugatan keberadaan lembaga sensor. Dengan sensor saja begitu brutal, bagaimana jika film-film ditonton tanpa sensor? Tapi dunia internet mana bisa disensor? Sulit. Sementara di dalamnya berhamburan materi pornografi. Anak di bawah umur dengan mudah mengaksesnya: dari gadget yang dibelikan oleh orang tua!

Yang tidak boleh dilupakan adalah pengaruh berkelompok. Jika bersendiri, mungkin ia tak berani. Tapi dengan berkelompok? Seperti sering nekatnya supporter yang bergerombol di jalanan. Psikologi kelompok membuat 14 remaja itu berani durjana berjamaah.

Apa yang harus dilakukan? Peran keluarga sangat penting. Tapi semua itu butuh kehadiran negara. Liberalisasi budaya tidak boleh dibiarkan. Negera harus hadir. Negara punya dan bisa membuat perangkat hukum untuk melarang produksi dan peredaran minuman keras. Juga melarang konten kekerasan dan pornografi dalam industri hiburan.

Negara harus serius memikirkan hulu (penyebab), jangan hanya berdebat soal hilir (hukuman pelaku). Lebih aneh, jika negara malah ambil untung dari semua itu. Seperti punya saham pada perusahaan minuman beralkohol. Cukup. Stop. Jangan ada korban lagi seperti Yy! (*)

Oleh Mohammad Nurfatoni, Sekretaris Yayasan Bina Qalam Indonesia
Hari ini (13/5/2016), tulisan ini dimuat koran Duta Masyarakat, Surabaya

3 komentar

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s