BANYAK kajian tentang hikmah puasa. Tapi menurut saya, hikmah penting dari puasa itu adalah mempraktikkan “jalan lapar” dalam kehidupan.
Selain diajarkan via puasa wajib Ramadan, Baginda Nabi Muhammad saw juga mengajarkan jalan lapar melalui puasa sunah. Ada puasa Senin-Kamis, puasa ayyamul bidh (13,14,15 bulan Qamariyah), atau puasa Daud (sehari puasa sehari berbuka).
Sebagai jalan lapar, puasa bukan sekedar berpindah jadwal makan. Tentang ini, ada sebuah kisah menarik. Seorang bocah suka mondar-mandir. Di tangan kanan menggenggam roti. Tangan kiri membawa es kelapa. Seperti ngece (Jawa, meledek), dia makan roti dan minum es itu, di hadapan orang-orang yang lagi berpuasa. Ya, puasa Ramadhan.
(Baca: Korupsi dan Religiusitas Semu)
Tentu, banyak yang kesal. Mereka ikut menelan ludah. “Ini anak, kok malah sengaja makan dan minum di hadapan para shaimin,” guman seseorang yang merasa terusik. Lalu ia tegur sang bocah. Tapi, bocah itu bukannya sadar dan berhenti memamerkan makan dan minumnya. Ia justru berucap. Ucapan yang cukup menggemparkan.
Ia berujar, “Kami lapar. Sementara perut kalian kenyang. Kami sakit tanpa ada obat. Apalagi biaya berobat. Sementara kalian terus menambah kesakitan kami. Dengan mempertontonkan kemewaan dunia di hadapan kami. Di depan mata kami yang sedang berpakaian kemiskinan. Kami menangis. Kami merintih. Adakah di antara kalian yang peduli?”
“Bukankah juga di bulan puasa ini hanya pergeseran waktu saja kalian menahan rasa lapar dan haus? Ketika azan maghrib terdengar, kalian kembali pada kerakusan kalian?” lanjutnya. “Sementara, kami terus berpuasa meski bukan saatnya berpuasa. Lantaran ketiadaan makanan. Lantaran ketiadaan minuman. Kami berpuasa tanpa ujung.” Kisah di atas bisa dibaca secera lengkap dalam buku Bocah Misterius (2004), tulisan Yusuf Mansur. Sebuah kisah simbolis yang sarat makna. Sebuah otokritik bagi para shaimin yang lupa, bawah puasa sesungguhnya adalah jalan lapar.
(Baca juga: Puasa yang Memenjarakan Tuhan)
Simbol dan makna
Puasa, juga ibadah lain dalam Islam, tidak bisa dipisahkan dari dimensi: simbolik dan filosofis. Kehilangan satu dari dua dimensi itu menyebabkan ketimpangan. Tanpa simbol, sulit mengukur eksistensi dan identitas suatu ibadah. Dan sebaliknya, tanpa filosofi, ibadah bagaikan kulit tanpa isi.
Dalam dimensi simbol, yang disebut shalat adalah perpaduan antara gerak, bacaan, dan diam. Diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Sangat sulit diukur jika seorang mengakui telah melakukan shalat, padahal ia tak melakukan perbuatan seperti itu. Sekalipun ia berdalih telah memahami dan mempraktikkan filosofi atau makna shalat dalam kehidupan. Misalnya ia mengaku tidak berbuat jahat atau kriminal (inna shalata tanha an al fakhsyai wa al munkar).
(Baca juga: Puasa, Deformasi Tubuh, dan Jati Diri Baru)
Sebaliknya dengan orang yang menjalankan shalat secara simbolik. Jika shalatnya tidak membawa implikasi kebaikan pada diri dan lingkungannya, maka akan dikelompokkan pada golongan manusia celaka (fawailul lil mushallin). Alquran mengecam orang yang melalaikan filosofi shalatnya karena tidak menyantuni orang miskin (Almaun: 1-7).
Berpuasa bukan sekedar tidak makan dan minum. Puasa mengandung filosofi. Puasa adalah gerakan menahan nafsu. Nafsu kenyang. Nafsu serakah. Kesuksesan puasa tidak sekedar diukur, sejauh mana shaimin mampu menahan makan dan minum dari subuh sampai maghrib. Di balik itu, puasa adalah jalan kebaikan.
Jika sudah mampu menahan lapar, maka seharusnya juga mampu menahan “rasa kenyang” lainnya dalam kehidupan. Seperti serakah terhadap harta benda. Agak sulit dinalar, jika ada orang Islam yang korupsi. Hampir semua sepakat, korupsi dilakukan bukan karena pelakunya tidak bisa makan.
(Baca juga: Puasa dan Kepedulian Sosial)
Para tersangka koruptor adalah orang kaya. Malah sangat kaya. Tetapi mengapa ia masih menumpuk-numpuk harta secara tidak halal? Jawabnya, ia gagal dalam jalan lapar. Gagal mempraktikkan puasa formal dalam kehidupan. Ia ingin selalu “kenyang”. Ada nafsu serakah yang membuncah. Nafsu yang belum bisa dikendalikan. Sebagaimana dikendalikannya lapar atau dahaga dalam puasa.
Batas dan penyelamat
Korupsi juga soal kesempatan. Kita yang berteriak-teriak antikorupsi mungkin belum diuji oleh kesempatan itu. Nah, puasa adalah ujian soal kesempatan itu. Dalam kesendirian, ada kesempatan “mencuri” makan dan minum. Tapi itu tidak dilakukan, karena kita menjaga puasa. Menjaga jalan lapar. Tetapi menjaga jalan lapar tidak boleh berhenti pada simbol ibadah. Jalan lapar adalah jalan kebaikan. Jalan kehidupan.
Seperti jalan lapar yang ada batas. Dalam jalan kebaikan pun ada batas. Ada rambu. Tapi rambu itu bukan membatasi. Bukan mengekang. Bukan. Justru batas itu membaikkan hidup. Seperti batas dalam wujud palang pintu pada rel kereta api. Apakah ia akan memburukkan hidup? Tidak. Palang pintu itu justru akan menyelamatkan.
(Baca juga: Maksiat Tutup di Bulan Ramadhan?)
Dalam terminologi Islam, batas disebut syariat. Ada halal, ada haram. Ada yang boleh dan ada yang tak boleh. Tanpa batas, tatanan masyarakat akan kacau. Manusia bisa seenaknya. Sekehendaknya.
Bayangkan jika seseorang boleh mengawini siapa saja! Sesukanya. Tanpa batas. Tanpa nilai. Maka bukan saja seorang lelaki akan “mengawini” sesama lelaki, lebih jauh lagi ia akan “mengawini” makhluk spesies lain. Mengerikan! Menjaga batas itulah yang diajarkan puasa, sebagai jalan lapar. Semoga! (*)
Kolom Mohammad Nurfatoni ini kali pertama dipublikasikan oleh Majalah YDSF, edisi Juni 2016
One comment