Nilai Kita

Bagaimanakah kita harus bersikap, di tengah kehidupan yang semakin kompleks ini? Ketika keragaman status sosial, kekayaan, atau jabatan semakin tajam. Juga adanya kompleksitas masalah yang kita hadapi!

Sebuah rumus mengatakan bahwa jika nilai tertentu (n) dibagi dengan bilangan tak terhingga (~), maka hasilnya adalah nol (0). Apa maknanya? Dalam logika matematika itu mengandung pengertian bahwa sebuah angka jika dibandingkan dengan angka yang besar, dan lebih besar lagi, sampai tak ternilai besarnya, maka angka itu menjadi tak bernilai (kosong).

Sangat menarik, karena dalam kehidupan, rumus matematika di atas bisa kita implementasikan dalam memperbaiki kualitas keberagamaan kita, baik kepada manusia, dan terutama kepada Allah. Bagaimana memaknainya? Pertama, dibandingkan dengan Allah Yang Tak Terbatas, kita ini tidak bernilai apa-apa (nol). Siapa pun kita; apapan jabatan kita; berapa pun harta kekayaan kita, sebanyak dan semewah apapun mobil dan rumah kita, tidak ada artinya jika dibandingkan dengan Allah.

Tentu ini menjadi renungan yang berharga, betapa sesungguhnya kita ini bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa. Sewaktu menjadi pejabat publik misalnya, mungkin kita merasa paling berkuasa; dan karena itu mungkin sering pongah dan sewenang-wenang. Tapi benarkah kita berkuasa? Bukankah kekuasaan itu milik Allah! Katakanlah: “Wahai Tuhan Yang mempunyai kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kekuasaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Ali Imran/26-27). Ah, betapa sangat mudahnya Allah mengangkat pemimpin dan juga menjungkalkannya.

Saat kita kaya, mungkin kita sering merasa berlimpah sampai tujuh turunan. Dan merasa bahwa adalah hak kita untuk menikmati sendiri atau memberikan pada yang lain. Tapi benarkah kita memang kaya? Oh, kekayaan itu milik Allah, dan bukan sesuatu yang sulit bagi Dia untuk menganugerahkan pada seseorang dan kemudian melenyapkannya. Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karuniaNya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan (Ali Imran/3:180)

Kedua, oleh karena itu di hadapan Allah Yang Tak Terbatas, posisi kita adalah sama, sederajat, tidak ada yang lebih tinggi atau hina. Yang kaya dan yang miskin sama, yang bergelar dan yang tidak sekolah sama, yang jenderal atau kopral pun sama. Tidak boleh yang pejabat merasa lebih berkuasa dari rakyat; yang kaya merasa lebih mulia dan yang miskin merasa rendah diri. Yang putih menganggap ras terhormat dan mendiskriminasi yang hitam. Tidak bisa yang lelaki merasa lebih mulia dibanding yang perempuan. Tidak etis ulama merasa lebih bersih dari umat. Yang profesor lebih berilmu dari mahasiswa. Tidak benar bahwa tentara merasa lebih perkasa dari rakyat jelata, sehingga dengan mudah menebus nyawanya dengan peluru!

Siapa pun kita, apapun kita, dari manapun kita, sama tak bernilai (nol) di depan Allah. Yang membedakan di depan Allah hanyalah ketaqwaan kita. Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Al Hujuraat/49:13)

Lantas, bagaimana kita memaknai beragamnya jabatan, kedudukan, kekayaan, profesi, gender, dan sebagainya. Memang, keragaman adalah sebuah realitas; Kata Allah, diciptakan laki-laki, juga perempuan. Berbagai bangsa, juga berbagai suku. Bahkan di sebut juga realitas berpasang-pasangan. “Dan Allah menciptakan kamu dari tanah kemudian dari air mani, kemudian Dia menjadikan kamu berpasangan …” (Faathir/35:11)

Jadi, tidak boleh kita nafikan adanya kaya-miskin, ulama-umat, pengusaha-pekerja, penguasa-rakyat, laki-perempuan, timur-barat, dan sebagainya. Keragaman dan realitas berpasangan itu adalah soal pembagian peran dalam memerankan diri sebagai Abdullah dan khalifatullah. Secara nilai tidak ada yang cetak-biru bahwa yang satu lebih baik dari lainnya. Maka keragaman dan realitas berpasangan itu bukan sebagai identitas “pembeda”. Kita dikenal bukan karena kita kaya, tapi karena kebajikan yang kita lakukan; kita miskin pun tidak dikenal karena kemiskinan, tetapi karena kebajikan yang kita lakukan. Kita dikenang bukan karena jabatan kita, tetapi oleh kebajikan kita. Dan seterusnya.

Ketiga, apapun masalah yang sedang kita hadapi (n), jika kita bandingkan (kembalikan) pada Allah Yang Maka Kuasa (~), maka persoalan tersebut terasa kecil, bahkan tak berarti (0).

Dalam hadits Qudsi riwayat Ahmad, Allah SWT berfirman, ”Sungguh, luasnya langit dan bumi tidak dapat memuatKu, yang dapat memuatKu hanyalah hatinya orang beriman.” Hadits ini mengajarkan sebuah isyarat, bahwa hati orang beriman itu sangat luas. Mengapa? Tidak lain karena hatinya selalu bersama Allah. Persoalan apapun yang dihadapi, dengan petunjuk dan pertolongan-Nya akan tuntas. Maka orang beriman (mestinya) tidak merasa berat dan susah jika menghadapai masalah, karena mereka punya Allah. Bukankah Allah yang akan menyelesaikannya! ”Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Yunus/10:62)

Dengan bersama Allah, maka hati menjadi tenteram. Lalu bagaimana hati bisa tenteram? ”(yaitu) Orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (Ar-Ra’d/13:28; baca juga Al Fath/48: 4).

Maka berdzikir (ingat Allah), menjadi nafas kita sehari-hari. ”(yaitu) Orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (Ali Imran/3: 191). Tentu, berdzikir di sini bukan hanya dalam pengertian mengucap lafal dan asma Allah, melainkan kesadaran selalu bersama Allah (ilmu menghadirkan) “Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (Al Hadiid/57: 4)

Keyakinan pada Allah inilah yang menyebabkan hati orang beriman menjadi lapang sehingga dalam menghadapi persoalan seberat apapun, mereka akan tenteram, damai, dan bijaksana. Maka persoalan itu pun menjadi ringan. Sebaliknya dengan hati orang yang tidak beriman, persoalan kecil yang dihadapi menjadi permasalahan besar karena hatinya sempit; karena tidak ada Allah di dalamnya.

Maka jika diibaratkan, batu besar yang dijatuhkan di hamparan samudera, maka ia akan kelihatan kecil, sebaliknya jika batu besar itu ditampung di kolam kecil, maka batu itu kelihatan sangat besar.

Ujian sebagai Keniscayaan
Mengapa implementasi rumus di atas penting kita praktekkan dalam menjalani kehidupan ini? Tidak lain karena kita tidak pernah lepas dari masalah hidup, yang seringkali dalam perbendaharaan kita sebut ujian atau cobaan. ”Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.” (Al Baqarah/2: 214; baca juga Al Baqarah/2: 155-156)

Jadi, orang beriman tidak akan pernah sepi dari masalah, ujian, atau cobaan. Tinggal bagaimana menghadapinya. Jika kita kembalikan pada Allah yang Maha Luasa Tak Terbatas, insya Allah semua masalah akan tuntas. Semoga!

Sidojangkung, 8 Juni 2007
(Sumber: Buletin HANIF, 8 Juni 2007)

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s