Seorang pemuda menemui Nabi saw. Ia berkata, “Ya Nabi Allah, izinkan aku berzina!” Orang-orang berteriak mendengar pertanyaan itu. Tetapi Nabi saw Bersabda, “Suruh dia mendekat padaku.” Pemuda itu menghampiri Nabi saw dan duduk di hadapannya. Nabi saw berkata kepadanya, “Apakah kamu suka orang lain mezinai ibumu?” Segera ia menjawab, “Tidak, semoga Allah menjadikan diriku sebagai tebusannya.” Nabi saw bersabda, “Begitu pula orang lain, tidak ingin perzinaan itu terjadi pada ibu-ibu mereka.” Sukakah kamu jika perzinaan itu terjadi pada anak perempuanmu?” “Tidak, semoga Allah menjadikanku sebagai tebusanmu.” Begitu pula orang lain, tidak ingin perzinaan itu terjadi pada anak perempuan mereka.” “Sukakah kamu, jika perzinaan itu terjadi pada saudara perempuanmu?”
Begitu pula Nabi saw menyebut bibi dari pihak ibu dan pihak bapak. Untuk semua pertanyaan Nabi, pemuda itu menjawab, “Tidak!” Rasulullah saw meletakkan tangannya pada dada pemuda itu seraya berdoa, “Ya Allah, sucikan hatinya, ampuni dosanya, dan pelihara kehormatannya.” Setelah itu tidak ada yang paling dibenci pemuda itu selain perzinaan.
##
Hikmah apa yang bisa kita pungut dari kisah di atas? Ternyata Rasulullah saw sedang menghadirkan (mengajarkan) “ilmu menghadirkan” pada pemuda tersebut; dan tentu, kini, pada kita sebagai umatnya.
Apa yang dimaksud dengan ilmu menghadirkan? Berdasarkan dialog dalam peristiwa di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan ilmu menghadirkan adalah kemampuan “menghadirkan” pengalaman orang lain dalam diri kita.
Ketika sang pemuda hendak meminta izin berzina, maka Rasulullah saw mencoba menghadirkan perasaan para korban perzinaan, dengan menyebut wanita-wanita yang punya hubungan kekerabatan terdekat. Bagaimana jika mereka yang menjadi objek perzinaan? Bagaimana perasaannya? Bagaimana pedihnya luka yang menusuk?
Ketika pemuda itu mampu menghadirkan perasaan pedih dan rasa malu yang tak tertahankan dari para korban perzinaan, dengan kesadarannya sendiri ia urung meneruskan niatnya dan jadilah ia orang yang sangat anti-perzinaan. Begitulah seharusnya kita membangun rasa keberagamaan. Ternyata beragama itu membutuhkan rasa; membutuhkan empati dan simpati.
Seorang yang memiliki ilmu menghadirkan setidaknya akan mendapatkan dua hal. Pertama, ia akan terjaga dari perbuatan tercela (maksiat, jahat, keji, dan munkar) karena ia mampu menghadirkan perasaan orang lain ketika menjadi korban dari perbuatan tercela itu.
Ketika kita hendak mencaci-maki orang lain, maka hadirkan pada diri kita bagaimana perasaan orang yang sedang menjadi objek caci maki. Jika kita jujur dan objektif, tentu akan merasakan betapa sakit dan pedihnya menjadi korban caci-maki. Maka, dengan demikian kita, insya Allah, akan mengurungkan niat mencaci-maki itu.
Saat kita akan mencuri barang milik orang lain, maka hadirkan bagaimana perasaan orang yang sedang kecurian? Saat hendak merampas hak orang lain, hadirkan bagaimana perasaan para korban perampasan itu? Saat hendak melukai orang lain, hadirkan juga bagaimana persaan orang yang terluka? Saat kita akan menipu orang, maka hadirkan pada diri kita bagaimana perasaan orang yang menjadi korban penipuan itu. Begitu seterusnya?
Maka, ilmu menghadirkan akan menjadi benteng dari perbuatan-perbuatan buruk. Ketika jadi pengusaha, maka kita akan menghindari sistem pengupahan yang rendah, karena kita mampu menghadirkan pengalaman pekerja yang berupah kecil di tengah kebutuhan dan harga-harga yang melambung naik.
Sebagai penguasa, kita tidak akan pernah memanfaatkan jabatan dan kewenangan demi mengeruk keuntungan pribadi karena kita sadar bahwa perbuatan itu akan menyengsarakan rakyat kecil. Sementara kita bisa merasakan bagaimana jadi rakyat kecil yang hidupnya sengsara!
Ketika naik mobil dan saat itu ada genangan air, sedapat mungkin kita akan pelan-pelan untuk menghindari genjretan air yang bisa membasahi pejalan kaki atau pengendara sepeda dan motor. Kita bayangkan bagaimana rasanya jika kita sendiri yang kena genjretan air.
Ketika kita naik motor, kita akan menghindari cara mengendarai yang memotong arah sembarangan, karena kita mampu merasakan bagaimana jika kita dipotong arah secara tiba-tiba.
Kedua, dengan ilmu menghadirkan, kita juga akan termotivasi untuk berbuat baik, bijak, dan terpuji; karena kita mampu menghadirkan perasaan orang lain akibat perbuatan baik itu.
Saat mendapati orang-orang yang sedang kelaparan, maka hadirkan pada diri kita bagaimana perasaan mereka; maka dengan mudah kita akan memberinya makan karena kita bisa membayangkan kalau kita sendiri yang mengalami kelaparan.
Ketika ada yang membutuhkan pinjaman uang pada kita, maka kita hadirkan perasaan orang yang lagi kesulitan uang akibat berbagai problem kehidupannya, insya Allah kita akan tergerak untuk membantunya.
Ketika kita bekerja, maka kita akan berusaha sebaik-baiknya, karena kita mampu menghadirkan perasaan orang lain yang menerima hasil kerjaan kita. Betapa senangnya jika hasil kerja kita memuaskan! Dan begitu seterusnya.
Menghadirkan Tuhan
Jika pada ilmu menghadirkan di atas kita baru sampai pada tahap menghadirkan pengalaman orang lain dalam diri kita, maka di atas tingkatan itu adalah ilmu “menghadirkan” Tuhan.
Yang dimaksud ilmu “menghadirkan” Tuhan adalah kesadaran selalu dalam pengawasan Tuhan. Kita “hadirkan” Tuhan dalam hidup kita (omnipresent). Seperti yang selama ini kita pahami, bahwa dengan segala kekuasaan-Nya, Allah swt Maha Melihat atas segala tindak-tanduk kita, baik yang tersembunyi maupun terang-terangan. Di mana pun kita berada, Dia pasti tahu. Apapun yang kita lakukan Dia Mengetahui.
“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa; kemudian Dia bersemayam di atas Arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar dari dalamnya, apa yang turun dari langit dan apa yang naik ke sana. Dan dia bersama kamu di mana saja kalian berada. Dan Allah Maha Periksa atas segala apa yang kamu lakukan.” (QS Al Hadiid/57: 4).
Selama ini posisi selalu dalam pengawasan Tuhan hanya kita sadari saat berada di masjid atau di majelis pengajian. Pada tempat-tempat sakral itu, biasanya kita selalu berpenampilan terpuji (baik fisik maupun perilaku), karena kita sadar betul bahwa saat itu kita sedang diawasi oleh Tuhan. Makanya kita selalu mendapati kebaikan dari orang-orang yang baik-baik pula.
Namun biasanya kesadaran dalam pengawasan Tuhan itu hilang saat kita berada pada tempat-tempat profan. Ketika di pasar, misalnya, kita sudah lupa bahwa Tuhan sedang mengawasi kita, sehingga dengan berani kita mengurangi timbangan atau takaran.
Saat di kantor, kita sudah lupa akan pengawasan Tuhan, maka kita pun berani memanipulasi angka-angka dan anggaran (baca: korupsi).
Saat di hotel, kita pun lupa sedang dilihat Tuhan, maka kita pun dengan enteng membawa wanita atau pria selingkuhan!
Dengan kemampuan “menghadirkan” Tuhan, insya Allah kita akan terjaga dari perbuatan-perbuatan tercela dan sebaliknya termotivasi untuk selalu berbuat kebajikan. Kita akan bekerja dengan sungguh-sungguh dan sepenuh hati, karena kita sadar sedang dilihat Tuhan. Betapa senangnya saat bekerja diawasi oleh Allah swt, Tuhan pemilik jagad raya ini; sementara dilihat presiden saja hati kita sudah berbunga-bunga!
Begitulah seharusnya kita membangun rasa keberagamaan. Ternyata beragama itu di samping membutuhkan rasa, empati dan simpati dengan menghadirkan pengalaman orang lain pada diri kita, juga membutuhkan “kehadiran” Tuhan. Semoga! (*)
Menganti, 7 April 2006
Sumber, “Hikmah” pada http://www.cakrawala-print.com