Logika Kekuasaan Alas Tlogo

Komandan Korps Marinir Mayjen TNI (Mar) Nono Sampono mengatakan, efek tembakan pantulan dan tembakan langsung yang diarahkan pada sasaran, sama-sama mematikan. “Peluru yang ditembakkan ke tanah bahkan lempung sekalipun, akan tetap memantul dan efeknya sama dengan tembakan langsung,” katanya dalam demo tembakan menggunakan senapan serbu (SS) 1 dengan peluru berkaliber 5,56 mm di Markas Brigif-2 Marinir Cilandak di Jakarta, Jumat (8/6/07).

Pernyataan di atas disampaikan oleh Nono Sampono menanggapi hasil investigasi beberapa tim—diantaranya Komnas HAM dan dan Tim Advokasi PKB—yang terjun ke Alas Tlogo, Lekok, Pasuruan, yang membeberkan data bahwa pasukan marinir melepaskan tembakan langsung pada warga Alas Tlogo sehingga menewaskan 4 warga yaitu Siti Khotijah (luka di kepala dan mengandung 5 bulan), Mistin (luka dada), Rohman (luka kepala) dan Sutam (luka di kepala) dan melukai sejumlah orang termasuk bocah usia 3 tahun, Khoirul Anwar (anak alamarhumah Mistin).

Sebelumnya, dalam keterangan pers setelah kejadian (Rabu 30/5/07), Komandan Korps Marinir (Dankormar), Mayjen TNI Syafzen Noerdin (sebelum diganti Nono Sampono) menyatakan bahwa penembakan yang dilakukan anggotanya hingga menyebabkan empat orang warga tewas dalam rangka membela diri. Menurut Safzen, saat penyerangan itu, anggotanya memberikan tembakan peringatan beberapa kali ke udara. Namun tidak digubris. Malah ada yang mengomando agar terus maju dengan mengatakan bahwa yang ditembakkan oleh Marinir adalah peluru hampa. “Karena terus menyerang, anggota saya menembak ke tanah dengan harapan kepulan debunya diketahui oleh warga bahwa peluru itu beneran, bukan hampa. Tapi mereka terus menyerang. Kemungkinan pantulan peluru itu yang terkena warga karena lokasi di situ memang berbatu-batu,” tuturnya.

Di samping silang pendapat tentang arah tembakan, kita dengar pula dua versi yang berbeda tentang mengapa Korp Marinir harus menembak warga. ”Peristiwa itu adalah pelanggaran, sehingga harus diusut tuntas,” kata Ketua Komnas HAM, Abdul Hakim Garuda Nusantara, usai meninjau tempat terjadinya bentrokan, Jumat (1/6/07). Boleh saja, ujar dia, Dankormar Marinir mengatakan penembakan itu terpaksa dilakukan karena membela diri atau peluru memantul. ”Silakan saja, tapi masyarakat bisa memberi kesaksian berbeda.”

Samad (53), kepala Dusun Alastlogo (Rabu, 5/6.07), memberikan testimoni di Fakultas Sastra Universitas Airlangga, Surabaya. Ayah dari korban tewas Mistin itu mengaku sempat mendengar adanya tiga kali perintah menembak menjelang insiden yang merenggut nyawa empat warga pada 30 Mei lalu oleh berondongan senjata anggota Marinir.

”Saya mendengar perintah tembakan itu, karena saya saat itu memang melakukan negosiasi dengan anggota Marinir dengan jarak sekitar 15 meter dari warga (yang menjadi sasaran tembak),” ungkap Samad dalam testimoninya.

Sebelumnya Dankormar, Mayjen TNI Syafzen Noerdin menyatakankan bahwa penembakan yang dilakukan anggotanya dalam rangka membela diri.
“Waktu itu anggota kami betul-betul terdesak, sedangkan warga mengejar anggota Marinir menggunakan celurit dan lemparan batu. Tembakan itu dilakukan, karena betul-betul membahayakan,” katanya.

Logika Aneh

Kita masih menunggu bagaimana hasil akhir dari silang sengketa pendapat dan bagaimana proses hukum akan berlangsung. Namun begitu, ada beberapa hal yang harus kita kritisi pernyataan-pernyataan tentara.

Pertama, tentang logika Dankormar Mayjen TNI (Mar) Nono Sampono yang bersikukuh bahwa yang terjadi adalah tembakan pantulan. Dalam pembuktian yang dilakukan di Cilandak, dikatakan bahwa tembakan di tanah maupun batu semuanya memantul dan mengenai sasaran. Pertanyaannya adalah, apakah bukti teknis di Cilandak itu otomatis menjadi bukti hukum bahwa yang terjadi di Alas Tlogo adalah juga tembakan pantulan? Sementara kesaksian dan bukti-bukti menujukkan terjadinya penembakan langsung.

Yang lebih aneh lagi, jika antara tembakan pantulan dan tembakan langsung sama-sama memiliki efek mematikan, mengapa tembakan pantulan itu tetap dilakukan? Tentu dalam logika ini kita bisa menyimpulkan bahwa tujuan penembakan itu sama: membunuh warga. Ibaratnya seperti main karambol, terserah mau pakai teknis langsung atau ngeban (pantulan), yang penting sama-sama bisa memasukan buah karambol.

Jadi di samping berbeda dengan keterangan awal bahwa tembakan pantulan adalah dalam rangka menunjukkan bahwa senjata itu benar-benar berisi peluru tajam sehingga warga takut, pembuktian secara teknis efek tembakan pantulan di Cilandak sama sekali tak ada artinya untuk meringankan hukum.

Kedua, yang lebih mendasar lagi adalah pengguanan senjata oleh Korp Marinir dalam menghadapi protes para petani. Apakah para petani di Pasuruan itu adalah para pemberontak yang mau menyungkurkan NKRI? Ataukah mereka itu melakukan kesalahan seperti yang dilakukan oleh tentara Angkatan Laut Malaysia yang memasuki wilayah perairan Indonesia beberapa tahun lalu? Atau mereka adalah penerbang F16 milik Angkata Udara AS yang pernah melintasi udara Indonesia? Apakah mereka tentara sekutu yang mau merebut kembali jajahan Indonesia?

Sementara terhadap kesalahan angkatan perang negara lain saja yang bisa dilakukan diplomasi politik, mengapa terhadap rakyatnya sendiri langsung ditembak. Padahal sebenarnya senjata tentara bukan diperuntukan untuk fungsi keamanan melainkan untuk fungsi pertahanan.

Oleh karena itu, logika penembakan pada warga Alas Tlogo sebagai upaya membela diri Korp Marinir sama sekali tidak masuk akal dan karena itu tidak dapat diterima. Sebab menghadapi rakyat dengan senjata saja adalah sebuah kesalahan tersendiri, apalagi sampai membunuhnya.

Tapi mengapa para petinggi tentara tetap mencoba membela diri seakan tidak pernah salah? Perhatikan, di tengah-tengah sorotan atas penembakan yang dilakukan pada rakyat belum tuntas terurai, mereka malah balik melaporakan terhadap apa yang disebut penganiayaan oleh warga Alas Tlogo. Seolah 4 nyawa sebanding dengan lecet dan sedikit memar di tubuh kekarnya. Mereka yang mestinya profesional, malah terlihat seperti anak cengeng. Tapi, itulah soalnya. Tentara punya kekuasaan—tidak sekedar laras panjang. Mungkin ini pula dasar kisah panjang sengketa tanah di Pasuruan itu, juga di tempat lain.

Maka jangan salahkan jika ada pikiran nakal, seperti yang dilontarkan oleh Goenawan Mohammad dalam Catatan Pinggir di Tempo (4/6/07). “Perlukah kita tentara?” tulisnya. “… saya tahu bahwa tentara berfungsi untuk mempertahankan Republik, tapi jangan-jangan kita dan tentara kita tak jelas benar apa saja dari Republik yang harus dipertahankan, dan dari siapa ia harus dipertahankan. Seingat saya, selama Indonesia berdiri, belum ada usaha yang terus-menerus untuk merebut wilayah Indonesia. Masa depan juga tampaknya aman; perang perebutan teritorial telah jadi amat mahal dan ruwet, dan tampaknya di dunia sekitar kita tak ada orang gila, juga orang Singapura, yang ingin melakukannya. …Tapi saya tahu, tentara memang dipertahankan dalam sejarah, karena sejarah dibangun dari bayangan kemungkinan yang terburuk.”

Ah, apakah sambil menanti kemungkinan terburuk itu, persenjataan tentara boleh dimanfaatkan untuk membunuh rakyatnya? Wallahu a’lam.

Sidojangkung, 9 Juni 2007

(dimuat di majalah Muslim, edisi 6, Juni 2007)

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s