Rasasanya, tidak ada yang bisa membedung agresifitas (pemeluk) agama-agama. Berbagai kerusuhan yang silih berganti (Ketapang, Kupang, dan Ambon [juga Poso]), menunjukkan akan hal itu. Meskipun diduga kuat bahwa pertentangan antarpemeluk agama (Islam-Kristen) itu hanyalah, meminjam Koordinator Badan Pekerja Kontras Munir (Adil, 3-9 Pebruari 1999) wilayah tempur bagi pertarungan para elit politik di Jakarta, tetapi sesungguhnya secara empirik harus kita akui bahwa agama memiliki peran dominan di dalamnya.
Jika kita berkenan melongok sejarah dan melihat konflik antaragama di wilayah negara lain, maka akan kita dapati kenyataan yang sama. Sejarah Perang Salib adalah potret pertentangan panjang antar-pemeluk agama (Islam-Kristen). Juga Perang Bosnia (Katolik-Islam); Pertentangan Panjang Palestian-Israel (Islam-Yahudi); Irlandia (Katolik-Protestan); India (Hindu-Islam); Srilangka (Hindu-Budha); Burma (Budha-Islam), Sudan (Islam-Kristen); dan sebagainya adalah daftar panjang tentang konflik yang sangat kental nuansa agamanya.
Tidak salah jika dikatakan bahwa unsur-unsur lain (politik kekuasaan atau kriminal) dalam konflik antar-agama, hanyalah sekedar pemicu; sentimen agama-lah yang sesungguhnya berbicara.
Kita lihat, mengapa konflik kecil yang melibatkan Yoppy dengan Usman, dan kemudian, pemuda Batumerah dengan pemuda Mardika-menjadi besar? Tidak lain karena Yoppy, juga pemuda Mardika, beragama Kristen sedangkan Usman beragama Islam juga pemuda Batumerah (kronologi Tregedi Ambon silahkan baca Abadi 8 Januari – 3 Pebruari 1999, juga Tekad 1-7 Pebruari 1999). Provokator atau apalah namanya, tidak akan mampu membesarkan kasus kecil itu, jika Yoppy bertengkar, misalnya, dengan Johanes yang sama-sama Kristen.
Provokator baru bisa menciptakan kerusuhan besar karena kecerdikannya memainkan sentimen agama, dengan berbagai isu yang menyangkut kehormatan agama (gereja dibakar, misalnya). Ketika itulah agresifitas pemeluk agama menemui puncaknya. Seperti yang dialami pemuda Ambon, 1 Syawal 1419 H yang lalu: “Jawa, Bugis, Makasar, dan Buton biadab! Hablsi orang lslam!” Mereka lalu meluluh-lantahkan segala sesuatu yang dianggap (milik) orang Islam: nyawa, rumah (isinya), pertokoan, kendaraan termasuk becak, masjid dan fasilitas pendidikan (mereka tidak membakar, setidak-tidaknya mecoba membakar, pertokoan yang pemiliknya orang Cina).
Lantas dengan demikian apakah para pemeluk agama yang salah dalam menafsirkan ajaran agama sehingga membangkitkan semangat konflik? Ataukah malah agama itu yang justru mengajarkan konflik?
Secara normatif agama-agama menyatakan bahwa ajarannya tidak mengandung unsur konflik. Seruannya adalah damai dan sejahtera. Konflik baru “halal” jika keadaan terpaksa yaitu saat menghadapi tekanan dan perlawanan musuh.
Atas dasar itu, maka tidak banyak yang berani mengangkat (ajaran) agama sebagai faktor pemicu konflik. Tuduhan kemudian dialihkan kepada varian-varian lain di luar agama, misalnya (kepentingan) politik, (kesenjangan) ekonomi, (pertentangan) suku-ras, dan sebaginya. Jika toh masih dikaitkan dengan agama biasanya hanya sebatas pada pemeluknya (biasanya tuduhan berbunyi: kekerdilan pemeluk dalam memahami ajaran agama).
Tetapi, sekali lagi, secara empirik kita selalu diperlihatkan bahwa banyak konflik yang mengandung sentimen agama, apapun alasannya, menyerang atau mempertahankan diri dari serangan. Oleh karena itu, secara jujur harus kita akui bahwa agama adalah salah satu sumber konflik sebagaimana juga paham hidup yang lain; apakah itu komunisme, kapitalisme, atau nasionalisme (negara bangsa). Tidak ada paham atau ajaran, bahkan komunitas, yang steril dari unsur konflik. Kita lihat konflik di era Perang Dingin; bukankah itu representasi dari konflik komunisme (atau sosialisme) dengan kapitalisme? Jauh sebelumnya, kapitalisme (imperialisme) telah menancapkan kaki-kaki konfliknya di berbagai belahan dunia. Kita tengok pula konflik Irak-Iran; bukankah itu adalah cermin konflik nasionalisme? Demikian juga konfrontasi tempo dulu antara Indonesia dengan Malaysia; bukankah ini konflik antar-(negara bangsa) Indonesia dengan (negara bangsa) Malaysia?
Jadi tidak ada jika kemudian kita menolak adanya unsur konflik dari agama. Sama tidak adilnya dengan menutup realitas bahwa di luar agama masih banyak sumber konflik. Yang kemudian menjadi pertanyaan besar adalah, mengapa agama yang selama ini selalu diidentikan dengan kedamaian dan kesejahteraan juga (harus) memilki wajah konflik? Tidak mudah menjawabnya. Tetapi beberapa pertanyaan berikut perlu mendapat perenungan mendalam! Pertama, benarkah Tuhan menurunkan banyak agama (dan semuanya benar)? Kedua, tidakkah realistis dan logis bahwa Tuhan itu hanya menurunkan satu agama sebagai pembawa kebenarannya? Ketiga, dibenarkan tidak pemeluk sebuah agama (yang benar tadi) menghancurkan pemeluk agama lain (yang salah)? Keempat bolehkah pemeluk sebuah agama (yang benar tadi) membela agamanya dari segala gangguan?
Tentu, pertanyaan-pertanyaan di atas, sulit dijawab jika kita tidak mengkaji agama-agama secara benar; dalam arti melalui pencarian yang didasari oleh objektivitas, bukan lewat pemahaman doktriner yang turun-temurun. Sementara jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut sangat penting bagi eliminasi kontlik yang bersumber dari agama.
Adalah tugas kita, bagaimana agar potensi konflik dalam agama itu tidak sempat benar-benar menjadi konflik! Perlu dikembangkan sikap toleransi yang benar. Misalnya kita punya konsep toleransi seperti ini: “Boleh kamu hidup dengan agama kamu (yang salah itu) dan biarkan kami hidup dengan agama kami (yang benar ini) [QS AI Kaafirun]. Jika itu kamu langgar, maka kami siap berkonflik dengan kamu. Dan itu adalah bagian dari kebenaran. Sedangkan kebenaran lebih tinggi nilainya dari kedamaian.”
Mohammad Nurfatoni
Dimuat Buletin Jumat Hanif N0. 27 Tahun ke-3, 5 Pebruari 1999
gimana caranya mencari sumber konflik yang kumplit
SukaSuka
yang salah bukan agamannya tapi penganutnya tidak mau berpikir cerdas mentelaah intisari agamanya
SukaSuka
berfikirlah anda sebelum berbuat….
SukaSuka
Itulah agama… Tuhan macam apa yang menciptakan ajaran kebaikan, kasih dan damai serta saling menghargai yang di kelompokkan dalam berbagai macam agama… Betulkan tuhan juga ada macam2 sesuai dengan jumlah agamanya… Terus terang saya adalah orang yang tidak beragama dan saya sudah meninggalkan agama dengan konsep tuhan yang ada dalam agama manusia… Sekali lagi saya bilang agama manusia.. Saat ini saya lebih tenang dengan meditasi.. dan memahami Tuhan yang ada dalam diri saya yang menjadi sumber kekuatan hidup.. Yang berbisik melalui nurani saya untuk selalu berbuat kebaikan kepada semua mahluk termasuk bumi yang saya pijak,…
Sungguh tidak masuk diakal dan logika saya tuhan yang ada dalam agama2 manusia sanggup untuk mengatur alam semesta yang luas ini…Banyak misteri di dunia ini yang tidak sanggup dijelaskan dengan baik oleh agama… Contoh kecil apakah agama sanggup menjelaskan tentang ruang dan waktu…???
Atau jika suatu saat terbukti benar ada kehidupan maju di luar planet bumi, maka adam bukan manusia pertama yang berarti kitab suci berkata bohong…
Sekian
SukaSuka
Islam sudah menjadi pilihanku,bahkan hampir semua keluargaku, mengapa aku katakan hampir semua, karena di antara keluarga besarku ada juga yang memeluk agama selain islam. Tapi kami tidak pernah bermasalah, bahkan kami bisa hidup saling berdampingan, menghargai, menghormati satu sama lainnya. Saya hanya akan mengatakan, bahwa masalah-masalah yang timbul diantara pemeluk agama, tidaklah selalu di sebabkan oleh Agama itu sendiri, akan tetapi adalah akibat kurangnya kita mencermati apa sebenarnya yang menjadi penyebab konflik itu sendiri. Kalau kita arif, bijaksana, dan berfikir jernih, dengan berbagai bentuk provokasi apapun maka kita tidak akan tersulut untuk melakukan tindakan-tidakan yang merusak, dan merugikan bagi pihak lain maupun diri kita sendiri.
Ini cuma sekedar pendapat… salamm perdamaian..pieesss.
SukaSuka
Kita harus belajar berfikir dan melihat permasalahan secara bijak tidak melihat secara ‘hitam putih’.kita harus bisa memilah antara masalah iman dengan masalah konflik,sebab iman adalah masalah pribadi yang tidak bisa diganggu gugat,sedang konflik adalah masalah manusia dengan manusia yang harus dicari akar penyebabnya secara pragmatis untuk dicari siapa yang salah dan siapa yang benar.memuara kan konflik pada adanya klaim kebenaran yang berbeda sebenarnya tidak bijak bila yang dicari adalah fihak yang benar dan fihak yang salah untuk dibawa ke pengadilan.sedang mengadili sebuah klaim kebenaran itu jalurnya lain sebab harus melalui jalur ilmu tersendiri yang berbeda dengan jalur ilmu hukum. klaim kebenaran bisa diuji atau dipermasalahkan misal melalui debat ilmiah terbuka,dalam debat ilmiah itu akan diuji apakah klaim kebenaran seseorang berdasar argument ilmu yang kuat atau tidak (?)
Klaim kebenaran adalah essensi iman,tak ada iman tanpa meyakini suatu kebenaran hakiki yang menjadi pegangan,tak bisa seseorang disebut ‘ber iman’ tapi ia tak memegang klaim kebenaran apapun.lalu bisakah manusia beragama hanya ber moral atau memegang prinsip prinsip moral semata tapi tidak ber iman (?) agama tanpa iman menjadi tidak memiliki arti sebab tidak memiliki essensi sebab agama bukan hanya ajaran moral.bila ada yang berpendapat agama ‘hanya ajaran moral’ atau seharusnya cukup hanya ajaran moral maka sebenarnya ia tidak memahami essensi agama.
Bila seorang yang mengaku ber iman melakukan kesalahan kepada sesamanya maka yang harus diadili adalah perbuatan lahiriahnya bukan iman nya.tak bisa konflik dengan orang lain tapi yang disalahkan misal adalah klaim kebenaran nya yang besandar kepada keyakinan bahwa Tuhan itu satu.
Menggunakan konflik sebagai .’cara singkat dan praktis’ untuk menghakimi agama atau keyakinan seseorang memang sering dilakukan oleh pemikir kelas dunia yang tidak punya ‘pengertian hati’ serta tidak bersikap ‘fair flay’ mereka seperti tidak memiliki argument ilmiah yang konstruktif untuk meruntuhkan apa yang diyakini dan diimani seseorang,lalu mereka berupaya membuat stigma stigma negatif terhadap ‘klaim kebenaran’ yang dalam kacamata agama sebenarnya sama dengan iman.mereka seperti memiliki pemikiran ‘aneh’ : bila tak ingin ada konflik maka klaim kebenaran harus dibuang dan seorang beriman harus rela ‘me relative kan’ kebenaran yang diyakininya.ini adalah pemikiran yang mustahil sebab didunia ini benar dan salah akan selalu ada dan akan selalu berbenturan sampai hari kiamat nanti.
Kita ambil contoh : apabila terjadi konflik gara gara kasus penghinaan dan penodaan agama maka yang harus disalahkan adalah fihak yang menghina dan yang menodai bukan malah mengkambing hitamkan klaim kebenaran dari fihak yang dihina yang kemudian marah.inilah adalah salah satu contoh bagaimana seorang harus melihat dari banyak sisi dan harus bijak dalam membuat kesimpulan tidak melihat dan menilai secara ’hitam putih’.bila terjadi konflik lalu yang jadi sasaran atau kambing hitam adalah ‘klaim kebenaran’ maka itu adalah keliru sebab itu terlalu bersifat abstrak .simpel nya kita cari sebab – akibat yang bersifat lahiriah saja sehingga bisa disimpulkan siapa yang benar dan siapa yang salah,sebab itu bisa dibawa ke pengadilan.tetapi iman seseorang (klaim seseorang atas kebenaran yang diyakininya) bisakah diadili (?)
Orang yang mengaku tidak beriman bila tidak melakukan kesalahan kepada sesamanya tak harus dihukum,sebaliknya seorang yang mengaku beriman bila melakukan kesalahan kepada sesamanya ia harus dihukum. jadi bila memang tujuannya ingin mengadili mengapa harus mengutak atik bagian dalam dari hati manusia (?)
Di Zaman Rasulullah konflik sudah biasa terjadi tapi Rasulullah bisa menyelesaikannya secara bijak tanpa menyuruh seorang muslim untuk melepas klaim kebenaran yang ia yakini agar ‘tidak berkonflik dengan orang lain’.
jadi mari kita bersikap bijak…sebab mempermasalahkan ‘klaim kebenaran’ itu teramat sangat sangat sensitif bagi orang beriman malah bisa menimbulkan konflik yang lebih mendasar.
SukaSuka