Salah satu implementasi ajaran tauhid adalah adanya pandangan yang menempatkan posisi manusia pada posisi kemanusiaannya. Manusia tidak dihargai lebih rendah atau lebih tinggi dari nilai kemanusiaannya. Manusia adalah manusia. Dia bukan hewan bukan pula malaikat, apalagi tuhan.
Tetapi dalam kenyataannya, terjadi banyak penyimpangan atas pandangan proporsional tentang manusia seperti dijelaskan di atas. Salah satunya adalah terjadinya kultus individu.
Kultus individu pada dasarnya adalah bentuk mitologi terhadap manusia. Dalam mitologi, manusia diangkat (tepatnya dilempar) dari dimensi kemanusiaannya. Jika pandangan tauhid mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang tidak terhindarkan dari kesalahan, maka mitologi mengangkatnya sebagai manusia suci, yang tak tersentuh oleh dosa. Segala ucapannya, senaif apa pun, dipandang sebagai kebenaran dan setiap langkahnya, sekonyol apa pun, adalah jejak petunjuk yang menyelamatkan.
Orang lantas memuja-mujanya. Maka, siapa yang menegur, mengoreksi, dan mengritiknya akan dianggap sebagai penghujat kebenaran dan, karena itu, harus dilawan. Inilah yang disebut sebagai kultus individu.
Islam, tentu saja, menolak segala bentuk pengkultusan terhadap manusia. Ada tiga alasan mengapa kultus barus ditolak. Pertama, kultus pada dasarnya merupakan bentuk penuhanan. Sementara yang berhak menjadi Tuhan dan dipertuhankan hanyalah Allah (Thaha/20:14).
Memang tidak semua bentuk kultus membutuhkan prosesi ritual sebagaimana orang menyembah Tuhan. Tetapi karakter-karakter yang melekat pada setiap bentuk pengkultusan pada dasarnya, disadari atau tidak, adalah cermin dari prosesi penuhanan. Bayangkan jika seseorang dianggap tidak berdosa; segala ucapan dan perintahnya dianggap benar dan orang lain tidak berhak mengkritiknya, maka, mau tidak mau, sengaja atau tidak, orang itu akan menjadi sentral kehidupan manusia untuk selalu diperturutkan, dipentingkan, atau ditakuti dengan terpaksa atau suka rela, senang atau takut. Yang semua itu sebenamya hanya boleh terbangun dalam hubungan manusia dengan Tuhan.
Kedua, Islam memandang bahwa hubungan manusia satu dengan manusia lainnya sebagai hubungan persaudaraan. Dalam bahasa lain, manusia bersifat merdeka terhadap manusia lainnya (egalitarian). Tidak boleh terbangun pola hubungan yang salah satu pihak menjajah pihak lain. Kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang tidak boleh menjadikannya bebas menindas yang lain. Sebaliknya kekurangan-kekurangan yang dimiliki seseorang atau sekelompok orang tidak boleh menjadikannya menghamba pada yang lain.
Islam mengakui adanya perbedaan (pluralitas), tetapi perbedaan itu tidak justru dijadikan faktor pembeda (kaya-miskin, majikan-buruh, kulit putih-kulit hitam, penguasa-rakyat, pria perempuan), melainkan sebaliknya justru sebagai faktor pemersatu (litaarafu, baca AI Hujurat/49:13). Kemuliaan atau kehormatan seseorang atau sekelompok orang hanya dinilai oleh Allah dari sisi ketaqwaannya, yang itu bersifat non-material.
Ketiga, kultus adalah pengingkaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Jika manusia itu bisa salah, maka kultus menjadikannya suci (sebagaimana banyak pemimpin besar yang dianggap suci). Jika manusia itu sah-sah saja dikoreksi (AI Ashr/103:3), maka kultus membentenginya dari segala kritik. Jika manusia itu mati,maka kultus menjadikannya tidak mati (sebagaimana banyak kalangan menganggap Nabi Isa as masih hidup [di langit]).
Dalam konteks ini, menarik untuk kembali mengingat tarikh Islam, dalam fragmen wafatnya Nabi Muhammad SAW. Suatu peristiwa dramatis terjadi pada waktu Rasulullah SAW wafat. Seseorang membawa berita menyedihkan itu kepada Umar bin Khattab. Tetapi reaksi Umar agaknya di luar dugaan si pembawa berita. Sebab mendengar berita wafatnya Utusan Allah itu, Umar menjadi sangat marah. Dia menghunus pedangnya, dan mengancam akan merobek perut siapa saja yang mengatakan bahwa Nabi SAW telah meninggal.
Untunglah Umar segera bertemu dengan Abu Bakar. Sahabat Nabi SAW yang terkenal jemih pikirannya ini menegur Umar, dan mengingatkannya bahwa sikapnya itu tidak sejalan dengan penegasan tentang hakekat Rasulullah SAW dalam Al Qur’an sendiri. Maka dibacalah oleh Abu Bakar firman AIlah: “Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang Rasul, yang sebelunmya telah berlalu Rasul-rasu! yang lain: Apakah jika dia meninggal atau terbunuh, kamu akan berputar kembali dari kebenaran, maka dia tidak akan sedikitpun juga merugikan Allah, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orung yang bersyukur” (Ali Imran/3:144). Bahkan Abu Bakar mengumumkan bahwa Rasulullah SAW memang telah wafat, lalu berkata: “Barang siapa menyembah Muhammad, maka ketahuilah bahwa Muhammad telah mati. Dan barang siapa yang menyembah Allah, maka Allah Maha Hidup dan tak akan mati”
Teguran keras Abu Bakar terhadap Umar bin Khattab seperti dicuplik dalam tarikh di atas, mengandung makna yang sangat dalam. Bahwa manusia, termasuk Rasulullah SAW, tidak boleh dikultus-mitoskan (dipertuhankan). Rasulullah SAW memang harus dicintai dan dihormati, dan diikuti tetapi kecintaan dan penghormatan itu tidak boleh sampai kepada sikap mendudukkan beliau lebih dari seorang manusia. Sementara banyak kita jumpai penegasan AI Qur’an atas sisi kemanusiaan Nabi SAW, “Kalakanlah olehmu (wahai Muhammad), sesungguhnya aku adalah seorang manusia seperti kamu semua; (hanya saja) diwahyukan kepadaku bahwa Tuhanmu sekalian adalah Tuhan Yang Maha Esa” (AI Kahfi/18:110). Dan sisi kemanusiaan Nabi SAW, di antaranya, mati.
Jika terhadap Nabi SAW saja, yang oleh Allah kita diwajibkan untuk menjadikannya sebagai uswatun hasanah (AI Ahzab/33:21), kita tidak boleh mengkultuskan, apalagi terhadap manusia bukan nabi.
Oleh karena itu, agar kita terhindar dari proses kultus-mengkultuskan pada sesorang (wali, kyai, ustadz, atau presiden, ketua partai, atau siapapun yang punya kharisma), maka berpeganglah pada nilai (Al Qur’an dan As Sunah [segala sabda, perilaku, dan persetujuan Nabi SAW]), dan bukan pada sosok, personal, atau individu!
Mohammad Nurfatoni
Dimuat Buletin Jumat Hanif, No.43 Tahun ke-4, 19 Mei 2000