Banyak baca, banyak lupa … kwok … kwok. Sedikat baca, sedikit lupa … kwok … kwok. Tidak baca, tidak lupa … kwok … kwok
Kalimat di atas saya cuplik dari iklan layanan masyarakat yang pernah dimuat harian Kompas sekitar tahun 1997, persembahan Ammirati Puris Lintas bekerja sama dengan Kompas dan Reprindo Warna Indah. Pemuatan iklan tersebut dimaksudkan sebagai salah satu upaya kampanye peningkatan minat membaca. Anda kaget! Lbo kok ganjil? Apa tidak salah bunyi iklan itu? Banyak baca kok malah banyak lupa; sedikit baca sedikit lupa; tidak baca tidak lupa! Apa ini tidak kontra-produktif dengan maksud kampanye itu? Ini sih pengembosan minat baca!
Tapi.., ojo kagetan, ojo gumunan. Kalimat di atas sebenarnya adalah milik Si Katak. Dalam ilustrasi iklan tersebut, kalimat itu memang disuarakan oleh Si Katak dalam tempurung; katak yang nihil wawasan, karena malas membaca. “Ngapain susah-susah membaca jlka membaca itu justru membuang-buang enerji: harus mencerna dan mengingat-ingat. Lebih baik tidak membaca. Dengan tidak membaca kan tidak ada yang barns diingat. Jadi aku menjadi satu-satunya makhluk yang tidak pernah lupa. Tapi wawasanku sudah seluas angkasa … kwok … kwok,” begitulah kira-kira argumentasi-kerdilnya. Ternyata Si Katak bisa juga lupa (pura-pura lupa?) bahwa angkasa yang dimaksud hanyalah sebatok tempurung. Ya, katak dalam tempurung.
Kita bukan katak. Tapi sebenarnya kita disindir habis-habisan oleh Si Katak dalam iklan itu. Bagaimana tidak? Bagi kita, membaca belum menjadi kebutuhan penting. Indikasinya? Kita masih suka menonton (televisi) dari pada membaca. Berapa jam waktu yang kita luangkan untuk menonton televisi dan berapa jam untuk membaca? Dalam sebuah penelitian, terbukti bahwa rata-rata waktu tonton televisi masyarakat kita sekitar 3 jam sehari. Nah, berapa jam waktu kita untuk membaca? Untuk hal ini kita patut bercermin pada Bung Hatta! Beliau “menganggarkan” waktu 3 jam di malam hari dan 6 jam di siang hari (paska dinas) untuk membaca (dan menulis). Tak heran, saat-saat karyanya dikumpulkan dan diterbitkan kembali, tak kurang dari 6.000 halaman buku berukuran 18 cm x 26 cm dibutuhkan, sehingga harus dicetak secara berangkai dalam 10 jilid (Kompas, 13/12/98).
Mungkin Anda bertanya, bukankah televisi juga menyajikan berita dan informasi? Memang betul, tapi dibanding dengan buku (atau bahan bacaan lainnya), televisi mengandung sejumlah kelemahan. Pakar komunikasi Jalaluddin Rakhmat (Catatan Kang Jalal. Bandung: Mizan,1997, h.10-12) memberikan beberapa argumentasi. Pertama, televisi adalah sebuah kegiatan yang orientasinya betul-betul bisnis. Karena itu informasi dalam televisi akan cenderung disajikan dalam bentuk-bentuk yang menarik, tidak terlalu sulit, sederhana, dan mengandung unsur human interest. Oleh karena itu, kedua, TV hanya memberikan informasi sekilas, instant. Karena sekilas, tidak mungkin televisi memberikan presentasi yang mendalam tentang sesuatu hal. Televisi tidak akan memberikan informasi secara mendalam sehingga kita bisa melakukan refleksi.
Disamping itu, menonton adalah kegiatan yang bersifat pasif, cenderung enjoy, dan tidak membangun unsur konseptual. Menonton hampir tidak membutuhkan proses “berfikir”. Menonton hanya mendapatkan hiburan. Berbeda dengan menonton, membaca dapat memantapkan kemampuan pemikiran konseptual yang tercermin dari kegiatan merumuskan kata atau ungkapan yang mewakili gejala dalam kenyataan hidup.
[Mantan] Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Juwono Sudarsono [kini Menhan] (Republika, 17/8/98) memasukkan membaca sebagai salah satu dari delapan kompetensi dasar, tentu, menonton tidak termasuk di dalamnya, yang patut dimantapkan pada setiap jenjang pendidikan dan kegiatan kebudayaan. Lebih lanjut, kata Juwono, membaca perlu digiatkan untuk “mengimbangi” meluasnya pengaruh media massa dengar pandang (audio visual, semacam televisi).
Indikasi lain? Mari kita jawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan secara introspektif oleh iklan layanan masyarakat lain, persembahan Komunika Advertising dan Reprindo berikut ini! Bagaimana dengan daftar belanja Anda? Adakah tertulis satu judul buku? Bagaimana akhirnya? Beli, tidak, beli, tidak, beli, ti …, atau tetap menjadi daftar belanja yang akan dibeli. “Bahkan mungkin tidak sama sekali?”
Memang, agak sulit menemukan keluarga yang memang betul-betul menjadikan buku sebagai sesuatu yang wajib belanja seperti kebutuhan lainnya. Jangankan buku, untuk koran saja (yang lebih ngepop) tingkat konsumsi kita masih dibawah standar UNESCO. Data terakhir, sebelum era krisis (yang membuat penerbitan cetak menurunkan [turun] tirasnya atau sebelum era refomasi yang memberikan kemudahan penerbitan media cetak sehingga bermunculan koran-koran baru [juga majalah dan tabloid], tiras koran di Indonesia baru mencapai 4,7 juta untuk 200 juta penduduk. Padahal seharusnya-sesuai dengan standar UNESCO, tiras itu harus mencapai 20 juta ekslempar (10 persen dari jumlah penduduk).
Mengapa bisa begini? Hanya karena soal harga! Ya, sebagian besar alasannya seperti itu, khususnya di era krisis ini. Tapi menurut saya, tidak selamanya benar. Hipotesis saya, karena minat baca masyarakat kita rendah sekali! Buku dan berlangganan koran memang mahal. Tapi berapa pengeluaran Anda untuk hal-hal yang sekunder bahkan tersier, atau bahkan sesuatu yang kontra-produktif. Rokok, misalnya (bagi yang merokok); berapa pengeluaran Anda setiap bulan untuk rokok? Berapa anggaran jajan Anda di luar rumah, di kafe misalnya? Berapa anggaran ibu-ibu untuk belanja pernik-pernik rumah yang, bagi saya, sangat artifisial; guci atau piring antik misalnya? Maka berpulang kepada kita, apakah kita memang berbakat menjadi Si Katak dalam tempurung; yang hanya karena kurang wawasan, melakukan kesalahan komunikasi timbal balik. Apakah kita akan berpikir dan berkomunikasi seperti ini, bahwa: pi + pa = cangklong (ini iklan persembahan Fortune Indonesia yang juga dimuat Kompas) Membacalah demi kelancaran komunikasi timbal balik!
Kita memang harus membaca. Karena sesungguhnya, setiap kata yang kita baca, bermakna lebih dari sekedar kata-kata. Dengan membaca kita tahu lebih banyak dan “melihat” lebih banyak hal. Banyak baca, banyak tawa. Banyak tangis. Banyak senyum. Banyak ketertegunan. Banyak keterpanaan. Membaca membuka mata hati, memperluas wawasan.
Jadi, banyak baca …!
Mohammad Nurfatoni
Dimuat Buletin Jumat Hanif, No. 8, Tahun ke-3, 25 September 1998