Puasa dan Kepedulian Sosial

SEBUAH riwayat menceritakan bahwa pada bulan Ramadhan ada seorang wanita sedang mencaci-­maki pembantunya. Rasulullah saw mendengarnya. Lantas beliau menyuruh seseorang untuk menyediakan makanan dan memanggil perempuan itu. Kata beliau, “Makanlah makanan ini!” Perempuan itu menjawab, “Saya sedang berpuasa ya Rasulullah.” Rasulullah saw bersabda, “Bagaimana mungkin kamu berpuasa padahal kamu mencaci-maki pembantumu. Sesungguhnya puasa adalah sebagai penghalang bagi kamu untuk tidak herbuat hal-hal yang tercela. Betapa sedikitnya orang yang berpuasa dan betapa banyaknya orang yang kelaparan.”

Hadits ini memberi pelajaran berharga pada kita, bahwa puasa tidaklah sekedar menahan makan dan

minum. Di samping mengandung ketentuan-­ketentuan fiqih, puasa juga memhawa pesan mendalam tentang akhlak dan aspek sosial. Meminjam Jalaluddin Rakhmat, itulah yang disebut pesan moral (puasa). Ketika seseorang hanya mampu menahan lapar dan dahaga, tetapi masih melakukan perbuatan tercela, maka tak lebih sekedar orang-orang yang lapar saja. Itulah yang disinyalir oleh Nabi saw, “betapa sedikitnya orang yang herpuasa dan betapa banyaknya orang yang kelaparan”.

Dalam riwayat lain. Nahi saw bersabda, “Berapa banyak orang yang berpuasa, tetapi tidak mendapatkan apa-apa kecuali lapar dan dahaga.” Pesan moral apa yang terkandung dalam ibadah puasa. Jika kita tengok “perilaku” puasa dan hal-hal yang berkaitan dengannya, maka paling tidak kita temukan bahwa: pertama, puasa menanamkan kepedulian terhadap lingkungan sosial. Salah satu bentuk kepedulian sosial yang menjadi pesan moral puasa adalah memperhatikan dan menyantuni fakir dan miskin. Perhatian serius terhadap mereka hisa dilakukan, jika kita mampu ber-empauti terhadap kondisi mereka. Oleh karena itu, ibadah puasa mensyaratkan pelakunya untuk tidak minum dan makan mulai terbit fajar sampai tenggelamnya matahari, agar bisa merasakan dahaga dan kelaparan—suatu kondisi yang sering dialami fakir dan miskin.

Orang-crang yang tidak sanggup berpuasa, menurut AI Qur’an, diharuskan mengeluarkan fidyah buat orang-­orang miskin. Jadi, kalaupun tidak sanggup menjalankan ritus puasa, paling tidak pesan moral puasa, yakni menyantuni fakir dan miskin, mampu diwujudkan. Demikian pula salah satu kifarat bagi orang yang batal puasanya karena melakukan hubungan suami istri pada siang hari, adalah membebaskan budak atau memberi makan enam puluh orang miskin. Perhatian dan santunan terhadap fakir dan miskin juga terlihat dari kewajiban mengeluarkan zakat fitrah sebagai penutup-penyempurna ibadah puasa.

Kepedulian sosial semacam ini secara tegas disebut Nabi saw sebagai ciri mukmin. Sabda beliau “Tidak dianggap sebagai orang beriman apabila sesenrang tidur dalam keadaan kenyang, sementara para tetangganya kelaparan di sampingnya.” (HR Bukhari).

Kedua, dalam puasa, makanan halal (harta kita) pun dilarang kita makan sebelum tiba waktunya. Ini mengandung pesan bahwa sesungguhnya harta yang ada pada kita, bukanlah sepenuhnya milik kita. Sebagian di dalamnya ada hak fakir dan miskin. Kata Ali r.a. “Tidak pernah aku melihat ada orang yang memperoleh harta yang berlimpah kecuali di sampingnya ada hak orang lain yang disia-siakan.”

Ini artinya bahwa penghasilan kita (yang tinggi), tidak boleh kita makan semuanya walaupun itu hasil jerih payah kita sendiri. Ada kewajiban kita untuk menyantuni fakir dan miskin. Tidak diperbolehkannya memakan makanan sebelum tiba waktunya, juga menanamkan pesan kehati-hatian, jangan sembarang memakan makanan. Jangan makan makanan haram (baik haram dzatnya maupun haram cara memperolehnya). Ketika dikejar-­kejar oleh konsumtivisme (senang berfoya-foya dan berbelanja barang yang tak bermanfaat), tidak jarang kita memakan hak orang lain. Saat dikejar-kejar untuk meningkatkan status sosial, kita sering menjadi omnivora (“binatang” pemakan segala), tanpa memperhatikan halal dan haram. Kayu, aspal, dan tanah kita “makan”. Rakyat kecil pun kita caplok. Inilah sikap anti-sosial, lawan kepedulian sosial. Dan kita, pelaku puasa, pantang untuk melakukannya. Semoga!

Mohammad Nurfatoni

Dimuat Buletin Jumat Hanif, No. 26 Tahun ke-1, 15 ramadahn 1417 H

4 komentar

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s