Tuhan Mengawasi Kita

Dia (Allah) beserta kamu di mana pun kamu berada, dan Allah maha Teliti akan segala sesuatu yang kamu kerjakan (Al Hadiid/57:4)

 

Ketika kita percaya akan eksistensi Tuhan, maka sebagai konsekuensinya, kita selalu merasa diawasi—betatapun kita tidak mampu menangkap substansi (sosok)-Nya.

 

Semangat selalu diawasi Tuhan adalah sikap yang sangat mendasar. Sebab dengan sikap seperti itu, kita akan menjadi hamba Tuhan yang benar. Di manapun dan kapanpun berada, kita tidak akan berani melanggar perintah-IaranganNya. Bukankah Tuhan akan selalu “memergoki” kita, di saat taat atau di saat maksiat.

 

Sebenarnya, semangat selalu diawasi Tuhan sudah kita praktekkan dengan baik ketika kita sedang beribadah puasa, suatu ibadah yang tidak mungkin diketahui orang lain. Ibadah puasa adalah ibadah private, sebab, siapakah yang mengetahui—bahwa seseorang itu berpuasa selain Tuhan dan orang itu sendiri? Mungkin saja seseorang di siang hari nampak lesu, lemah dan tak berdaya; yakni, mempunyai tanda-tanda lahiriah bahwa dia adalah seorang yang sedang berpuasa. Namun tentu saja hal itu tidaklah merupakan jaminan bahwa dia benar-benar berpuasa, sebab mungkin saja dia melakukan sesuatu yang membatalkan puasa ketika sedang sendirian, misalnya dengan meneguk segelas air.

 

Sebaliknya, dapat terjadi seseorang nampak tetap bersemangat, biarpun hari telah tinggi; yakni, dia tidak menunjukkan tanda-tanda lahiriah bahwa dia sedang berpuasa, tetapi justru sebenarnyalah dia sedang berpuasa; dan tetap teguh mempertahankan diri dari godaan yang membuta puasanya batal.

 

Puasa palsu seperti ilustrasi pertama terjadi karena orang tersebut tidak betul-betul yakin bahwa Tuhan mengawasinya, termasuk saat dia membatalkan puasanya secara diam-diam. Sebaliknya, puasa sejati seperti ilustrasi kedua, hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang beriman; yakni orang yang selalu menyandarkan segala sesuatunya kepada Tuhan clan bukan kepada manusia. Orang lain melihat atau tidak terhadap perbuatannya, dia tidak peduli, toh, dalam keyakinannya, Tuhan sendiri yang langsung melihatnya.

 

Sikap seperti diperagakan oleh orang yang berpuasa sejati, mengambarkan betapa kuatnya semangat dalam pengawasan Tuhan. Dan sikap seperti itu, mengandung rahasia-rahasia. Pertama, orang yang merasa selalu diawasi Tuhan, dia akan merasa terjaga dari perbuatan tercela. Bagaimana dia akan melakukan korupsi, jika Tuhan pasti tahu seluruh prosesi korupsi yang akan dia lakukan? Bagaimana dia bisa berzina dihadapan Tuhan?

 

Kedua, orang yang merasa selalu dalam pengawasan Tuhan akan memiliki rasa pengharapan yang tinggi (optimisme). Bagaimana tidak optimis, jika “Kemana saja kamu menghadap, maka di sanalah wajah Allah” (Al Baqarah/2:115). Di mana saja dia berada, Tuhan selalu memperhatikannya, dan pasti akan menolongnya?

 

Dengan kata lain, iman menghasilkan harapan. Maka tidak adanya harapan adalah indikasi tidak adanya iman. Oleh karena itu, orang beriman diajarkan untuk menaruh sikap positip kepada Tuhan. Wirid-wirid pendek berupa tasbih, tahmid, dan takbir adalah bentuk-bentuk ungkapan sikap positip kepada Tuhan. Subhanallah (Maha Suci Allah), berarti pembebasan kita dari prasangka buruk kepada Allah. Alhamdulillah (Segala puji bagi Allah), berarti kita menanamkan dalam diri kita persepsi yang positip dan optimis kepada Allah, serta harapan kepadaNya. Dan Allahu Akbar (Allah Maha Besar) adalah penyataan tekad untuk mengarungi lautan hidup dan menghadapi gelombangnya dengan penuh keberanian, karena kita yakin Tuhan Maha Besar beserta kita.

 

Ketiga, orang yang merasa selalu dalam pengawasan Tuhan, akan menemukan rahasia keikhlasan. Bukankah keikhlasan dibangun dengan membangun “jembatan” langsung antara hamba dengan Tuhan? Ikhlas tidak membutuhkan pamrih manusia. Tanpa atau dengan sepengatahuan manusia, orang yang ikhlas akan selalu berbuat yang terbaik. Dalam keyakinannya, pengawasan oleh Tuhan jauh sangat berharga dibanding penglihatan manusia. Jadi, dalam pikirannya, mengapa berbuat harus diperlihatkan kepada manusia, jika Tuhan Yang Maha Teliti sendiri secara langsung selalu melihatnya.

 

Dalam terminologi Islam, orang yang selalu merasa dalam pengawasan Tuhan, disebut juga ikhsan. Dalam suatu dia­log Rasulullah SAW ditanya Jibril tentang ikhsan, maka jawaban Rasulullah SAW adalah, “… Hendaklah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat kepadaNya, sekalipun engkau tidak dapat melihatNya, maka sesungguhnya Dia melihat engkau …” (HR Muslim). Jadi, waspadalah! Tuhan melihat kita!

 

Mohammad Nurfatoni

Dimuat Buletin Jumat Hanif, No. 47 Tahun ke-4, 16 Juni 2000

 

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s