Idul Adha Seharusnya Mengacu Arab Saudi

Meskipun tahun ini pemerintah dan dua ormas Islam terbesar, NU dan Muhammadiyah, memutuskan bahwa 1 Dzulhijjah jatuh pada hari Selasa (11/12/2007) dan Idul Adha 1428 H jatuh pada hari Kamis (20/12/2007), sehingga mayoritas umat Islam Indonesia menjalankan ritual Idul Adha secara serempak, namun tetap saja akan terjadi dua Idul Adha di Indonesia.

Sebagian ormas Islam seperti Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Hizbut Tahrir Indonesia, dan kelompok-kelompok lainnya termasuk Masjid Al Azhar Jakarta, justru merayakan satu hari lebih awal, tepatnya hari Rabu (19/12/2007).Keputusan ini mereka dasarkan pada keputusan pemerintah Arab Saudi yang menetapkan wukuf di Arafah (9 Dzulhijjah) jatuh pada Selasa (18/12/2007) sehingga Idul Adha di Arab Saudi jatuh pada Rabu (19/12/2007). Perbedaan seperti ini pernah terjadi pada Idul Adha tahun 2000 dan 2006.

Mengapa ada sebagian kelompok masyarakat Muslim Indonesia yang mengikuti penetapan Idul Adha di Mekkah, meskipun secara hisab dan rukyat berbeda dengan di Indonesia? Secara pribadi, saya bisa memahami logika dan argumentasi yang dikemukakan mereka. Sebab, ketidaksesuaian antara Idul Adha di Indonesia—atau negara yang lain—dengan Idul Adha di Mekkah mengandung sejumlah kemusykilan.

Pertama, Idul Adha yang berbeda dengan Mekkah itu, tentu saja, ahistoris dengan ibadah haji. Idul Adha adalah salah satu rangkaian dari ibadah haji yaitu hari pelaksanaan penyembelihan kurban (oleh jamaah haji). Rasulullah SAW bersabda, “Idul Fitri adalah hari saat berbuka dan Idul Adha adalah hari ketika umat menyembelih kurbannya” (HR Tirmizi). Sebelum Idul Adha, para jamaah haji melaksanakan tugas utamanya, yaitu wukuf di padang Arafah, sementara kaum Muslimin yang tidak sedang menjalankan ibadah haji melaksanakan puasa sunah Arafah. Kedua, ketidaksesuaian itu akan berimplikasi pada keruwetan hukum fiqih. Misalnya, puasa di hari raya (Adha atau Fitri) adalah terlarang. Jika Idul Adha di Mekkah jatuh pada Rabu (19/12/2007), sementara di Indonesia hari itu masih dianggap tanggal 9 Zulhijjah (karena Idul Adha jatuh pada Kamis, 20/12/2007) maka umat Islam Indonesia baru dalam taraf melaksanakan puasa Arafah. Bukankah puasa ini musykil sekali?Ketiga, ketidaksesuaian itu menunjukkan bahwa umat Islam lebih senang terhadap perbedaan dari pada kesamaan. Implikasi lebih jauh, akan muncul Islam versi Indonesia, Islam versi Mesir, Islam versi Afrika Selatan, atau Islam versi Amerika Serikat.Sebenarnya, jika kita tidak terlalu egois dan angkuh dengan nasionalisme, persoalan penetapan hari Idul Adha bagi umat Islam dunia tidaklah terlalu rumit. Kuncinya, jika kita mau mengikuti penetapan Idul Adha di Mekkah. Ada tiga alasan yang bisa dikemukakan.Pertama, di Mekkah terdapat Baitullah (Ka’bah) sebagai kiblat salat bagi umat Islam dunia. Dalam surat Ali Imran (3):96 dikatakan bahwa Baitullah di Mekkah itu diberkati dan menjadi petunjuk bagi semua manusia, “Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat ibadah) manusia adalah Baitullah yang di Bakkah (Mekkah) yang diberkati dan menjadi petunjuk bagi semua manusia”. Dalam pengertian yang lebih dalam, Baitullah adalah pusat kesatuan ibadah bagi umat Islam, termasuk di dalamnya Idul Adha.

Kedua, ibadah haji sebagai ibadah yang melibatkan secara langsung pertemuan jutaan umat Islam dunia bertempat di wilayah Mekkah (Masjidil Haram, Jabal Rahmah, Padang Arafah, Shafa-Marwah, Muzdalifah). Maka, sudah sepantasnya jika mereka menjadi wakil dari para bangsa mereka. Suasana psikologis haji harusnya terbangun antar mereka. Menjadi kontradiksi ketika jamaah haji sedang wukuf dan bangsa-bangsa yang mereka “wakili” tidak sedang berpuasa sunah Arafah atau saat jamah haji sedang berkurban, kita justru sedang puasa sunah Arafah. Demikian sebaliknya. Jadi ada keterputusan psikologis jika ada perbedaan Idul Adha antara jamaah haji di Mekkah dengan bangsanya masing-masing.

Ketiga, lebih khusus tentang Idul Adha, Rasulullah SAW pernah menegaskan bahwa hari Arafah adalah hari yang telah ditetapkan oleh Imam (Khalifah) dan hari berkurban adalah saat Imam menyembelih kurban (HR Tirmizi). Dalam hadits lain disebutkan bahwa pada masa Rasulullah Amir Mekkah, beliaulah yang menetapkan pelaksanan haji, mulai dari wukuf, thawaf, bermalam di Muzdalifah, dan seterusnya (HR Abu Daud). Artinya penetapan wukuf, yang berefek pada Idul Adha, adalah berdasarkan ketetapan Amir Mekkah dan pelaksanaannya berlaku di seluruh pelosok dunia.

Khadimul Haramain
Memang harus diakui, untuk mewujudkan kesatuan ibadah Idul Adha masih ada beberapa catatan berkaitan dengan penetapan hari wukuf di Arafah oleh pemerintah Arab Saudi. Terutama karena kini pengelolaan dua tanah suci (khadimul haramain) Mekkah dan Madinah masih menjadi hak monopoli pemerintah Arab Saudi. Secara geografis, memang hal itu sangat bisa diterima. Tetapi, karena Mekkah dan Madinah adalah milik umat Islam, maka tidak terlalu salah juga jika ada usulan bahwa pengelolaan itu harusnya di bawah semacam badan umat Islam internasional.

Ide semacam ini pernah didesakkan oleh Iran. Namun bisa diduga ide semacam itu akan ditolak mentah-mentah oleh pemerintah Arab Saudi. Sebab itu akan me-delegitimasi kebanggaan pemerintah Arab Saudi sebagai pelayan penting tamu-tamu Allah. Belum lagi jika melirik keuntungan ekonomi penyelenggaraan ibadah haji dan umrah. Keuntungan politis pun diperoleh Arab Saudi akibat ketergantungan seluruh negara terhadap ritual haji.

Sebenarnya, jika Mekkah dan Madinah bisa dikelola oleh sebuah badan umat Islam internasional, kita bisa berharap bahwa Mekkah dan Madinah bisa benar-benar menjadi pusat ibadah yang berjejaring dengan negara-negara Muslim lainnya. Misalnya kita bisa menetapkan hari wukuf dengan pertimbangan yang lebih komprehensif.

Selama ini, penetapan hari wukuf oleh pemerintah Saudi sering menimbulkan kebingungan. Misalnya memaksa menetapkan hari wukuf pada hari Jumat seperti musim haji 1427 H yang lalu, sehingga dianggap menjadi haji akbar. Tahun 1428 H ini maju sehari dari penanggalan yang telah ditetapkan sebelumnya. sehingga ada guyonan bahwa para pegawai di Arab Saudi yang menerima gaji tanggal 1, kali ini tidak gajian, karena tidak ada tanggal 1 Dzulhijjah secara permanen. Penanggalan resminya menyebut tanggal 1 Dzulhijjah hari Selasa (11/12/2007), tetapi hasil rukyah menetapkan 1 Dzulhijjah pada Senin (10/12/07) jadi hari Selasa menjadi tanggal 2 Dzulhijjah.

Kemusykilan itu bisa terjadi karena pemerintah Arab Saudi lebih memilih metode rukyah. Sementara metode rukyah secara konvensional dalam penentuan awal bulan qomariyah mengandung beberapa kelemahan. Karena sifatnya yang unpredictable, penentuan tanggal berdasarkan rukyah membawa efek ketidakpastian sistem penanggalan. Padahal kepastian penanggalan menjadi kebutuhan mutlak sistem perbankan, komputer, dan sebagainya. Dalam pelaksananan haji, ketidakpastian hari wukuf tentu berakibat pada keterburuan dalam persiapan dan pelaksanaan haji.

Sebenarnya, perdebatan dalam penentuan awal bulan qomariyah, apakah dengan metode rukyah atau hisab, berdasarkan satu matlak atau banyak matlak, bisa dibicarakan dan dicari rumusan idealnya. Karena selama ini di samping mengandung unsur fiqih, penentuan itu juga sering didominasi unsur politis. Misalnya, jika ditinjau secara geografis, posisi Indonesia dan Malaysia bisa dikatakan sama, tetapi mengapa keputusan rukyah atau hisab di dua negara itu tidak selalu sama? Karena ada nasionalisme.

Maka jika badan umat Islam internasional bisa terwujud secara politik, maka penentuan hari wukuf bisa menjadi keputusan politik bersama umat Islam dunia, dan ini membuat hari wukuf menjadi milik dunia. Tidak seperti sekarang yang hanya milik para jamaah haji. Dari sinilah awal bisa dilaksanakannya Idul Adha bersama, khususnya bagi negara-negara yang masih dalam hitungan satu hari dengan Arab Saudi (selisih jam Indonesia – Arab Saudi misalnya, hanya sekitar 4 jam).

Saat ini memang belum ada semacam badan umat Islam internasional atau Kekhalifahan Islam. Tetapi setidaknya ketetapan pelaksanaan hari raya yang dibuat pemerintah Arab Saudi—sebagai pengelola Mekkah dan Madinah—bisa menjadi jembatan antara dalam pelaksanaan Idul Adha bersama, terlepas dari prasangka buruk atas keuntungan ekonomis-politis yang diraih Arab Saudi sebagai khadimul haramain dan penetapan hari wukuf. Toh, selama ini seluruh jamaah haji yang sedang menjalankan juga tetap tunduk pada hari wukuf yang ditetapkan pemerintah Arab Saudi. (*)

Mohammad Nurfatoni

Aktivis Forum Studi Islam Surabaya

Dimuat Surabaya Post, 17 Desember 2007

2 komentar

  1. Nampaknya antum terlalu “bersemangat” dengan slogan “wihdatul ummat” tanpa melihat jelas duduk persoalan yang sesungguhnya dalam persoalan matla’ (khususnya bulan). Secara prinsip ada beberapa konsep berkaitan dengan masalah matla’ bulan itu sendiri. Dalam kitab Misbah Al Zhulam Syarah Bulugh Al Maram karangan Syekh Muhammad Muhadjirin Amsar Addary Juz ke 3 dikatakan bahwa ada sebagian ulama yang berpendapat jika bulan telah terlihat di suatu tempat, maka boleh sengikuti hasil rukyah tersebut meskipun sesungguhnya di wilayah/daerahnya bulan belum terlihat. Pendapat inilah yang menjadi dasar dari sebagian kelompok umat Islam yang menginginkan adanya kesamaan pelaksanaan Idul Adha di seluruh dunia?. Adapun pendapat yang berikutnya adalah para ulama yang meyakini adanya “ikhtilaf matla'” (perbedaan matla’). Artinya setiap penduduk di suatu wilayah harus terlebih dahulu melihat bulan untuk dapat berpuasa atau berbuka. Pendapat inilah yang menjadi mayoritas ulama, termasuk tokoh/ulama besar Saudi Arabia, yang dijadikan banyak referensi oleh kelompok Islam seperti HTI,DII dan lainnya, meyakini akan adanya “ikhtilaf matla'”. Sekedar informasi,Pemerintah Arab Saudi pun tidak pernah menyerukan kepada umat Islam di seluruh dunia untuk mengikuti pelaksanaan Idul Adha secara bersamaa. Kalau begitu mengapa kita lebih “Saudi” dibanding pemerintah Saudi sendiri ? Aneh bukan. Wallahua’lam.

    Suka

  2. Apa anda tidak paham masalah Mathla’???,Klo anda belum paham silahkan tanya..murid-murid dari Hadhrotus Syekh Muhammad Muhadjirin Amsar Ad Daari dari Bekasi,atau anda baca kitab Mishbah al-Zhulam Syarh Bulugh al-Maram Juz III.Agar anda mengerti bahwa…Mathla’ setiap negara itu berbeda-beda.Sekarang Ana mau tanya..anda sholat Maghrib ikut kemana?Zuhur..Ashar…Isya..shubuh..???anda ikut Arab Saudi dalam masalah waktu???..Selamat…Anda berada dalam kebingungan…##**@@@!!
    Wassalam..
    Dari:Hamba Allah yang benar-benar Faqir dlm Ilmu

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s