“Dan orang-orang yang berhijrah karena dan untuk Allah, sesudah mereka dizalimi, pasti Kami akan memberikan tempat dan posisi yang baik kepada mereka di dunia. Dan sesungguhrtya pahala di akherat adalah lebih besar, kalau mereka mengetahui” (An Nahl/16:41)
Sebentar lagi kita memasuki tahun baru hijriyah. Sebagai seorang Muslim, tentu, kita merasa bangga dan bersyukur bisa menikmati tahun 1429 ini. Kebanggaan itu terutama karena penetapan tahun Hijriyah mengandung makna yang mendalam berkaitan dengan peristiwa bersejarah yang dijadikan tonggak penetapan tahun Hijriyah.
Peristiwa bersejarah itu tidak lain dan tidak bukan adalah peristiwa hijrah dari Mekkah ke Madinah yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya, dengan berbagai peristiwa yang menyertainya.
Jika kita tilik kembali sejarah hijrah Rasulullah SAW tersebut, paling tidak ada dua hal yang semestinya bisa kita pungut untuk kemudian kita reaktualisasikan dalam dakwah kekinian. Pertama, hijrah tidak bisa dilepaskan dari situasi dan kondisi yang melatarbelakanginya. Situasi dan kondisi yang dimaksud adalah adanya intimidasi tak terhentikan—dalam berbagai bentuknya—dari kaum kafir Quraisy terhadap Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Jika kita telaah lebih jauh, intimitasi itu terjadi, terutama, karena umat Islam dalam posisi politik yang lemah.
Padahal dengan intimidasi itu umat Islam tidak memiliki perlindungan yang berarti dalam pelaksanaan hak-hak keagamaan dan kemanusiannya. Lebih dari itu misi kerasulan (rahmatan lil alamin) yang diemban Muhammad SAW sulit untuk tercapai. Mengingat misi itu bersifat mendasar dan mengandung implikasi perubahan besar, tepatnya penghancuran, terhadap ideologi sesat yang dianut oleh mayoritas elit dan massa Mekkah waktu itu.
Kedua, dalam rangka membangun kekuatan politik itulah Rasulullah SAW melakukan hijrah ke Madinah. Tak heran jika akhirnya terbentuk negara Madinah, yang berbasis sepenuhnya pada ideologi Islam; yang memiliki pranata politik, ekonomi, sosial, budaya, dan pertahanan-keamanan sendiri.
Dengan negara Madinah itulah akhirnya Rasulullah SAW memiliki kekuatan politik untuk melindungi hak-hak keagamaan dan kemanusiaan, bukan saja bagi umat Islam sendiri melainkan juga bagi warga non-Islam. Yang penting juga untuk dicatat, dengan kekuatan politik itu pula Rasululah SAW dan para sahabat berhasil kembali ke Mekkah secara damai (fathul makkah).
##
Umat Islam kini tersebar di berbagai belahan bumi. Sebagian mereka menjadi penduduk mayoritas dan sebagian lagi menjadi penduduk minoritas. Ironisnya, baik dalam kemayoritasan maupun keminoritasan, umat Islam hampir selalu menjadi bulan-bulanan pihak-pihak lain. Kasus pembantaian Muslim Maluku beberapa tahun silam adalah contoh nyata yang tak bisa dilupakan. Dalam kemayoritasannya di Indonesia, ternyata umat Islam tidak mampu membendung berbagai bentuk intimitasi dan penghancuran terhadap bagian dirinya sendiri.
Itu semua terjadi karena komunitas umat Islam di banyak negara berada dalam posisi politik yang lemah. Lemahnya posisi politik itu bukan saja dalam berhadapan dengan kekuatan politik lokal dalam sebuah wilayah negara, melainkan juga, ketika berhadapan dengan kekuatan politik global.
Tak terbantahkan bahwa saat ini dunia, termasuk dunia Islam; sedang dikuasai oteh sivilasi Barat dengan konsep kapitalisme, liberalisme, dan demokrasi. Pascaperang dingin, Barat yang dimotori Amerika menjadi satu-satunya pemegang hegemoni politik (dan ekonomi) dunia. Mereka menjadi “polisi dunia” yang tidak mau lepas dari semua aspek perubahan dinamisme bangsa di seluruh penjuru dunia, tak terkecuali negara-negara yang di dalamnya komunitas terbesarnya adalah Muslim.
Kenyataan seperti ini tentu memprihatinkan, sekaligus menjadi pemicu kesadaran kita, betapa umat Islam harus memiliki posisi politik yang kuat. Dalam perspektif inilah hijrah menemukan relevansinya. Pertama, hijrah telah mengajarkan bahwa dalam posisi politik yang lemah, umat Islam tidak akan bisa melaksanakan hak-hak keagamaan dan kemanusiaannya, apalagi menjalankan misi ke-rahmatan lil alamian-annya. Apa yang dialami oleh Nabi SAW di Mekkah dan apa yang kini menjadi realitas umat Islam adalah pelajaran berharga, betapa marginaiisasi umat Islam lebih disebabkan oleh lemahnya posisi politik.
Kedua, hijrah mengajarkan agar umat Islam membapgun kekuatan politiknya sendiri agar mampu melindungi hak-haknya sendiri dan menjalankan misi keagamannya. Apa yang dilakukan Nabi SAW di Madinah menjadi pelajaran berharga bahwa kekuatan politik sangat penting bagi penegakan nilai-nilai.
Ketiga, hijrah tidak mengajarkan eksklusifisme. Meskipun secara fisik Rasulullah SAW dan para sahabat berpindah dari Mekkah (yang penuh intimidasi dan kesesatan) menuju Madinah (yang menawarkan kedamaian) tetapi hijrah bukan dimaksudkan untuk mengisolasi diri medan pertarungan (ideologi). Terbukti setelah Rasulullah SAW memiliki kekuatan politik yang solid, beliau kembali lagi untuk menyampaiakn misinya di Mekkah. Jadi hijrah bukan sebuah pelarian, cuci tangan, menghindari tanggungjawab, atau lari dari kenyataan. Hijrah justru cara menyongsong tanggungjawab yang lebih berat.
Hijrah mengajarkan kita untuk menghancurkan kebatilan dengan kekuatan. Membangun kesejahrteraan dengan perjuangan keras. Tanpa memaknai hijrah dalam perspektif politik seperti itu, maka peringatan Tahun Baru Hijriah akan berlalu begitu saja, dan umat Islam akan terus menjalani hari-harinya dengan berbagai intimidasi, kekerasan, pembunuhan, pengusiran, dan penghancuran.
Selamat Tahun Baru 1429 H.
Surabaya, 8 Januari 2008
Mohammad Nurfatoni
(dengan sedikit modifikasi, pernah dimuat buletin Jumat Hanif, No. 37 Tahun ke-4 April 2000/02 Muharaam 1421 H)