inci 1

Politik (Tidak) Kotor

Tidak ada kawan abadi, tidak ada lawan abadi; yang ada hanyalah kepentingan abadi

Jargon di atas adalah rumus populer yang sering kita lihat dipraktikkan oleh dunia politik, terutama politik yang haus kekuasaan. Dalam praktik yang demikian itu, politik mudah terjerumus ke dalam cara-cara yang tidak etis. Tak heran jika kemudian muncul stereotipe lain tentang politik: “politik kotor”.

Jika kita cermati, politik kotor itu dilahirkan dan dilatarbelakangi oleh—seperti dikukuhkan oleh rumus politik di atas—”ideologi kepentingan”. Dengan berparadigma ideologi seperti itu, maka segala tindakan politik selalu didasarkan pada adagium “sejauh mana politik bisa mendatangkan keuntungan secara materiil, terutama yang berkaitan dengan kekuasaan“.

Tak heran jika demi hal itu kawan bisa disikat, dan sebaliknya lawan bisa dirangkul; orang terpuji bisa dicelakakan, sebaliknya orang tercela bisa disanjung-puja; bahkan yang halal bisa diharamkan dan yang haram dihalalkan.

Runyamnya, praktik politik itu pada akhirnya menjadi salah satu faktor penyebab lahirnya persepsi negatif terhadap politik. Dalam persepsi negatif ini, apa saja yang berbau dan berkaitan dengan politik dipandang rendah. Kata-kata: “siasat”, “intrik’, atau “manuver”, yang pada pengertian umumnya bermakna baik, tetapi ketika bersentuhan dengan politik akan berubah menjadi buruk. Demikian juga ungkapan “dipolitisasi” atau “main politik”, kurang lebih adalah sinisme lain terhadap politik.

Secara tidak disadari, persepsi negatif terhadap politik itu akan menimbulkan dampak yang tidak kecil, diantaranya menguatnya sikap apolitik (antipolitik) atau sekulerisasi politik yaitu penjauhan politik dari ranah agama.

Tentu saja, kedua sikap tersebut akan semakin mencampakkan politik pada tempat yang jauh dari nilai-nilai dan pada akhirnya semakin mengukuhkan rumus “politik kotor”. Mengapa demikian? Bukankah tanpa keterlibatan publik (karena mereka sudah apolitik), politik akan semakin liar tak terkontrol. Jika politik hanya akan dimonopoli oleh para elit maka politik akan sangat mudah dimain-mainkannya.

Demikian juga jika tanpa dilandasi nilai-nilai (agama), maka politik akan semakin memperoleh “legitimasi” untuk memainkan kekotoran dengan alasan bahwa politik itu profan, urusan dunia, dan tidak ada sama sekali sangkut-pautnya dengan (nilai-nilai) agama!

Tapi benarkah bahwa politik itu kotor? Politik, seperti definisi populernya, adalah seni atau ilmu tentang pemerintahan: suatu ilmu yang berkaitan dengan prinsip pengaturan dan pengawasan rakyat yang hidup dalam masyarakat.

Dalam definisi itu, tidak kita dapatkan adanya unsur kotor. Oleh karena itu bisa diduga bahwa kekotoran politik itu akibat sejumlah penyimpangan yang dilakukan para politikus sendiri, terutama pada penggunaan segala cara untuk meraih aset dan kekuasaan.

Kita sangat gembira ketika muncul diskursus tentang high politic dan low politic beberapa tahun lalu. High politic, seperti pernah dipopulerkan oleh Amien Rais, adalah politik adiluhung, yaitu politik yang bermuatan moral dan etika. Politik adiluhung ini dibedakan dengan low politic, yakni praktik politik melalui organisasi, merebut kursi di wilayah kekuasaan.

Meskipun pembedaan seperti itu terkesan hitam-putih (artinya, jika kita memakai dikotomi itu terkandung makna bahwa setiap permainan politik praktis selalu dikategorikan low politic [politik rendah, untuk tidak mengatakan politik kotor), tetapi diskursus seperti itu sangat penting sebagai sentilan bagi para politikus.

Dengan memaknai dikotomi itu sebagai sebuah sentilan, terkandung makna bahwa: bermainlah politik secara adiluhung (high politic), meskipun secara kategoris Anda berada di wilayah perebutan kekuasaan politik (low politic).

Saya kira, tidak ada larangan untuk mendapatkan kekuasaan. Tapi raihlah kekuasaan itu secara jujur, jernih, beradab, dan halal. Sekaligus ubahlah rumus “politik kotor” menjadi “politik tidak kotor”!

Mohammd Nurfatoni
Tulisan ini pertama kali dipublikasikan buletin Jumat Hanif, terbit di Surabaya
 

7 komentar

  1. POLITIK?? kalau realitas yang ada sekarang lebih banyak mudhoratnya…meminjam istilah mas Roma Irama…yang kaya aja bisa jadi melarat, apa lagi yang miskin.begitu seterusnya…

    Suka

  2. @ FOSI Sumsel
    Alhamdulillah, semoga terus semakin baik dan baik

    @ Mas Harmoko
    Boleh dan boleh dicopy, free!
    Tapi begadang jangan begadang, kata Rhoma Irama juga!

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s