Seorang raja ingin sekali menjadi yang terkaya di dunia. Segala cara ditempuhnya untuk memenuhi ambisnya itu, termasuk dengan kekuatan klenik, bertapa minta pada Dewa agar diberi kekuatan sakti pada tangannya.
Dengan tangan saktinya ia membayangkan bahwa apa pun yang disentuhnya akan berubah menjadi emas, simbol kekayaan yang tiada tara. Sang Dewa akhirnya mengabulkan permintaannya.
Kembalilah sang raja ke istana untuk mewujudkan ambisinya itu; memiliki istana emas dan menjadi raja nomer satu di dunia, terkaya dan tak tertandingi oleh raja lainnya.
Begitu menginjak halaman istana, disentuhnya pagar, dan ajaib, berubah menjadi emas. Sang raja girang tiada kepalang. Nafsunya semakin melambung tinggi. Masuklah ke dalam istana, disentuhnya pilar-pilar dan seluruh isi istana: meja kursi dan perabotan lainnnya. Semuanya berubah menjadi emas. “Aku raja terkaya di dunia,” teriaknya gembira.
Merasa puas bahwa kini istananya telah berubah menjadi istana emas, sang raja ingin mengabarkan pada sang istri. Luar biasa senangnya sang raja. Maka dengan berlari dia menemui istrinya; dipeluklah sang istri erat-erat. Ajaib pula, sang istri berubah menjadi emas.
Tidak seperti saat mengubah istana menjadi emas yang membuat gembira luar biasa, kini raja sangat terkejut. Ia meraung-raung seperti gila. Semua menjadi emas. Makanan dan minuman yang disentuh juga menjadi emas. Sang raja kini bingung, sedih, kesepian, dan penuh penyesalan. Emas yang dibayangkan akan memberikan kebahagiaan justru memberinya kepedihan tiada tara.
Kisah “sabda” raja melalui tangan saktinya di atas saya nukil dari buku Psikologi Kematian karya Komaruddin Hidayat. Sebuah kisah tentang ambisi, kekuasaan, kekayaan, dan raja yang bukan lagi manusia biasa. Raja yang sakti mandraguna.
Kebenaran cerita Raja Midas dalam legenda Yunani Kuno di atas, wallahu a’lam. Tapi setidaknya dalam tradisi raja-raja, persoalan sabda masih relevan. Konteksnya memang berbeda, tapi esensinya hampir sama. Bahwa kuasa raja terlihat dari sabdanya. Dan karena sabda raja diklaim sebagai wahyu Tuhan, maka sabda raja dianggap sebuah kebenaran.
Sebagian kita yang kini hidup di dunia modern dengan pengaruh paham demokrasi, yang memiliki unsur kesetaraan (egalitarian), partisipasi, check and balances, ternyata tak kuasa menolak sabda raja. Mungkin malah akan mengamininya, dengan mengesahkan sabda raja itu menjadi undang-undang baru.
Mengapa bisa terjadi? Karena, di samping menganut demokrasi, masih kuat budaya feodalisme dalam masyarakat kita. Dan kerajaan-kerajaan yang masih ada, di samping sebagai kekayaan sejarah dan budaya, ternyata ikut memelihara kultus individu itu.
Kultus individu adalah bentuk mitologi terhadap manusia. Dalam mitologi, manusia diangkat derajatnya lebih tinggi dari dimensi kemanusiaannya. Manusia dianggap bukan lagi manusia apa adanya.
Manusia yang dimitoskan dianggap suci, bebas dari dosa. Maka segala sabdanya adalah kebenaran. Tidak (boleh) ada koreksi atau kritik.
Gejala pemitosan bukan tidak mungkin akan melahirkan praktik pemujaan. Seperti fenomena orang komunis yang mengkultuskan pemimpin mereka.
Secara formal, orang komunis itu tidak percaya pada Tuhan, tetapi pada dasarnya mereka “bertuhan”. Dalam bahasa Nurcholish Majid (Pintu Pintu Menuju Tuhan), orang-orang komunis itu ternyata tidak berhasil benar-benar menjadi atheis.
Kalau atheis diartikan tidak mempercayai Tuhan dalam kategori agama-agama formal semacam Yahudi, Kristen, Budhisme, dan lain-lain, maka memang benar orang komunis itu atheis.
Tetapi kalau atheis berarti bebas dari setiap bentuk pemujaan, maka orang komunis adalah kelompok manusia pemuja yang paling fanatik dan tidak rasional.
Gejala pemujaan ini misalnya bisa dilihat dari pemandangan harian di lapangan Merah Moskow. Deretan panjang orang antre untuk berziarah ke Mousoleum Lenin, dengan sikap yang jelas-jelas bersifat “devotional” (pemujaan) seakan meminta berkah kepada sang pemimpin yang jenazahnya terbaring di balik kaca tebal itu.
Islam, dengan pandangan hidup tauhid, sangat keras menolak kultus individu, seperti tampak dari kisah di bawah ini.
Suatu peristiwa dramatis terjadi pada saat Rasulullah SAW wafat. Seseorang membawa berita menyedihkan itu kepada Umar bin Khattab.
Tetapi reaksi Umar agaknya di luar dugaan si pembawa berita. Sebab mendengar berita wafatnya Utusan Allah itu, Umar menjadi sangat marah. Dia menghunus pedangnya, dan mengancam akan merobek perut siapa saja yang mengatakan bahwa Nabi SAW telah meninggal.
Untunglah Umar segera bertemu dengan Abu Bakar. Sahabat Nabi SAW yang terkenal jernih pikirannya ini menegur Umar, dan mengingatkannya bahwa sikapnya itu tidak sejalan dengan penegasan tentang hakekat Rasulullah SAW dalam Al Qur’an sendiri.
Maka dibacalah oleh Abu Bakar firman Allah surat Ali Imran ayat 144. Lalu Abu Bakar menegaskan bahwa Rasulullah SAW memang telah wafat: “Barang siapa menyembah Muhammad, maka ketahuilah bahwa Muhammad telah mati. Dan barang siapa yang menyembah Allah, maka Allah Maha Hidup dan tak akan mati.”
Teguran keras Abu Bakar terhadap Umar bin Khattab seperti dicuplik dalam tarikh di atas, mengandung makna yang sangat dalam. Bahwa manusia, termasuk Rasulullah SAW, tidak boleh dikultuskan atau dituhankan. [*]
Mohammad Nurfatoni, aktivis FOSI (Forum Studi Islam) Surabaya
Tulisan ini dipublikasikan kali pertama tanggal 15-5-15, di Harian Duta Masyarakat hasil kerjasama dengan Bina Qalam Indonesia.