Korupsi dan Religiusitas Semu

Santri: Pak Kyai, di bulan Ramadan kabarnya setan-setan dibelenggu.

Kyai:  Benar, sebagaimana sabda baginda Rasulullah saw, “Apabila telah masuk bulan Ramadan, terbukalah pintu-pintu surga dan tertutuplah pintu-pintu neraka, dan setan-setan pun terbelenggu.”

Memangnya ada apa?

Santri: Kenapa masih ada yang berbuat kejahatan?

Kyai: Oh ya, ada contohnya?

Santri: Tadi kami baca berita, usai tarawih, KKP melakukan operasi tangkap tangan koruptor.

Kyai: Oh … rupanya ada yang tertinggal belum terbelenggu toh?

Santri: Maksud Pak Kyai, koruptor itu setan yang kelupaan dibelenggu? Dan kini KPK bertugas membelenggunya. Serius Pak Kyai?

Kyai: Huss ….! Koruptor kok disangka setan. Nanti dia marah.

Kenapa masih ada yang korupsi sementara setan sudah dibelenggu? Itu menjadi isyarat bahwa jangan lagi menjadikan setan sebagai kambing hitam atas perbuatan jahat manusia. Setan sudah dibelenggu pun manusia masih bisa korupsi.

Santri: Oh, begitu maksudnya.

##

Kita terkejut, lebih tepatnya kecewa. Di bulan suci, tempat manusia beriman menempuh jalan lapar dan menempa diri menjadi manusia mulia, justru dikotori oleh oknum-oknum yang melakukan kejahatan terorganisasi. Suap-menyuap. Korupsi.

Di bulan suci saja berani melakukan korupsi, apalagi di bulan lain. Begitu logika awam. Tapi ini sebuah potret. Mungkin bukan hanya korupsi, kejahatan lain pun ditengarahi meningkat di bulan ini: perampasan atau pencurian. Oleh sebab itu perumahan-perumahan sibuk memberlakukan jaga malam.

Nah, jika ditanya, siapa yang melakukan kejahatan itu, tentu akan mudah dijawab. Mayoritas pelaku kejahatan, termasuk koruptor, adalah beragama Islam disebabkan muslim adalah bagian penduduk mayoritas negeri ini.

Dan jika pertanyaan itu dilanjutkan, apakah yang melakukan korupsi itu ikut menyemarakkan Ramadan? Dengan memakai logika probabilitas, maka kemungkinan jawaban “ya”, sangat besar.

Tentu, ini sebuah ironi. Semaraknya Ramadan tidak berbanding lurus dengan peningkatan kesalehan. Berulang kali puasa Ramadan datang, tapi kejahatan, termasuk korupsi, cenderung meningkat. Sepertinya ada yang salah. Kok bisa berpuasa tapi korupsi juga?

Antara simbol dan esensi

Ibadah dalam Islam tidak bisa dipisahkan dari dua dimensi: simbolis dan filosofis. Kehilangan satu dari dua dimensi itu akan menyebabkan ketimpangan. Tanpa simbol, sulit mengukur eksistensi dan identitas suatu ibadah. Dan sebaliknya, tanpa filosofi maka ibadah itu bagaikan kulit tanpa isi. Hampa, kering.

Dalam dimensi simbol, yang disebut salat, misalnya, adalah perpaduan antara gerak, bacaan, dan diam. Diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Sangat sulit diukur jika seseorang mengaku telah melakukan salat, padahal ia tak melakukan perbuatan seperti itu, meskipun ia berdalih telah memahami dan mempraktikkan filosofi atau esensi shalat dalam kehidupan, di antaranya salat berimplikasi pada ditinggalkannya perbuatan jahat dan kriminal (inna salata tanha an al fakhsyai wa al munkar).

Sebaliknya, orang yang menjalankan salat secara simbolis dengan tidak membawa implikasi kebaikan pada diri dan lingkungannya maka akan dikelompokkan pada golongan manusia celaka (fawailul lil musallin). Al-Quran misalnya mengecam orang yang melalaikan filosofi salatnya karena tidak menyantuni orang miskin (al-Maun/107:1-7).

Munculnya kontradiksi antara meningkatnya religiusitas di bulan Ramadan dengan tetap tingginya tindakan pelanggaran hukum menunjukkan bahwa ibadah yang dilakukan di bulan Ramadan terhenti pada dimensi simbolis semata. Religiusitas yang nampak semarak itu, ternyata semu.

Banyak yang bisa menahan lapar (puasa simbolis), tetapi tidak bisa menahan nafsu (esensi puasa), Termasuk nafsu dalam menumpuk harta di luar koridor hukum dan nilai halal-haram.

Apalah artinya bisa menahan lapar saat puasa tetapi tidak mampu menahan nafsu serakah. Ini malah sangat berbahaya. Sebab, bukan saja makanan standar yang akan dimakan, juga “makanan” ekstrem, seperti aspal, beton bertulang, atau kayu glondongan.

Ironisnya, korupsi banyak dilakukan oleh orang-orang dengan strata sosial terhormat di masyarakat: pejabat atau wakil rakyat. Pada mereka yang terhormat itu, acapkali kita penuh harap dan angkat tangan penuh hormat. Tapi rupanya itu kehormatan palsu. (*)

Mohammad Nurfatoni
Diterbitkan kali pertama oleh koran Duta Masyarakat, 26 Juni 2015

One comment

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s