Apa makna rezki? Selama ini kita mempersepsikan bahwa yang disebut rezki selalu identik dengan harta benda. Misalnya jika kita mengatakan, “Aku baru saja dapat rezki.” Ternyata yang dimaksud rezki dalam pernyataan di atas adalah bonus dari perusahaan.
Pemakanaan rezki dalam makna harta benda, tentu tidak salah. Dalam Al Qur’an sendiri bisa kita dapati pemaknaan seperti itu. “Dan Allah melebihkan sebagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezkinya itu) tidak mau memberikan rezki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rezki itu. Maka mengapa mereka mengingkari nikmat Allah?” (An Nahl/16:71)
Tetapi benarkah rezki selalu dalam pengertian materi, harta atau benda-benda? Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita simak ayat berikut, “Dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, kemudian mereka dibunuh atau mati, benar-benar Allah akan memberikan kepada mereka Rezki yang baik (surga). Dan sesungguhnya Allah adalah sebaik-baik pemberi rezki.” (Al Hajj/22: 58).
Rizki dalam ayat di atas, tentu sangat jauh jika diartikan materi, karena rezki di sini berkaitan dengan orang yang telah mati syahid. Karena itu salah satu tafsir rezki dalam ayat tersebut adalah surga (Al Qur’an dan Terjemahnya, Depag RI).
Salah satu doa yang diajarkan oleh Rasulullah saw kepada kita juga memberi makna non-material pada rezki, “Rabbi zidni ilma, warzukni fahma, wajalni minasshalihiin” = Ya Tuhanku, berilah aku tambahan ilmu, berilah rezki berupa kepahaman, dan jadikanlah aku termasuk hambamu yang shaleh). Jadi, rezki dalam doa di atas berupa kepahaman ilmu.
Penjelasan di atas menjadikan kita paham bahwa rezki memiliki spektrum yang luas. Qurays Shihab, seorang pakar tafsir Al Qur’an, mengelompokkan rezki menjadi dua, yaitu rizki aktif dan rezki pasif. Materi berupa harta benda yang kita miliki adalah rizki aktif. Sementara kesehatan, kebahagian, pengetahuan dan sebagainya termasuk rezki pasif.
Meluaskan Syukur
Apa pentingnya kita memahami rezki dalam spektrum yang luas ini. Pertama, tentu akan meluaskan rasa syukur kita. Mungkin selama ini kita baru bersyukur jika mendapat rizki berupa uang atau benda-benda fisik. Dan sebaliknya jika kita lagi kesulitan uang, maka kita tidak bersyukur. Sementara pada saat bersamaan, kita sehat wal afiat, keluarga bahagia dengan anak shaleh-shalehah. Bukankah itu rezki yang tak ternilai harganya?
Apalah artinya uang berlimpah, jika tertimpa sakit parah? Kita tak akan pernah bisa merasakan kenikmatan uang itu, atau malah cepat atau lambat, uang itu akan terkuras demi penyembuahan sakit kita!
Apalah arti uang melimpah jika keluarga berantakan. Ayah dan ibu yang super-sibuk dengan hobi masing-masing dan melalaikan anak-anaknya, yang akhirnya lari pada narkotik dan pergaulan bebas?
Jadi, dalam hidup, mungkin Allah memberi kita rezki aktif tidak melimpah, tapi Allah memberi rezki pasif berupa kesehatan yang prima. Maka, itu suatu hal yang sangat penting untuk disyukuri. Mungkin Allah memberi kadar rezki aktif yang terbatas, tetapi kita dianugerahi kehidupan berumah tangga yang tenang dan damai. Bukankah itu sebuah kenikmatan yang besar?
Kedua, dengan demikian maka rezki aktif bukanlah satu-satunya tolok ukur kesuksesan atau kebahagiaan. Rezki aktif bukanlah segala-galanya. Pemahaman ini penting karena jangan sampai kita terpesona dengan rizki aktif berupa harta benda lantas kita lalai dengan nilai-nilai ketika terseret mengejarnya. Sebab seringkali dalam memperoleh (baca menumpuk) harta benda, kita mengabaikan etika dan moral. Kita singkirkan halal dan haram, demi harta benda—yang harta benda itu kita bayangkan akan melambungkan martabat kita?
Terlalu banyak contoh bagaimana ending dari orang-orang yang terobsesi oleh kesuksesan harta benda dengan melanggar nilai-nilai. Maka, bukan kebahagiaan yang digapai, bukan pula kesejahteraan dan kesuksesan, melainkan hilangnya martabat diri dan keluarga. Banyaknya orang-orang yang semula terhormat dan akhirnya masuk bui akibat tindak kejahatan korupsi adalah contoh yang tak terbantahkan.
Ketiga, seperti diajarkan oleh Islam, maka dalam memandang rizki yang terpenting adalah barokah. Bahasa awamnya, “Biar sedikit yang penting barokah.” Rizki barokah diperoleh dengan kesadaran penuh bahwa semua itu berasal dari Allah (Ar Rum/30: 37), diperoleh dengan cara halal, juga melibatkan etika berusaha. Insya Allah rezki yang barokah itu akan mengantarkan pada kemanfaatan yang lebih luas, kebahagiaan, kedamaian, kesejahteraan; dan jauh dari bencana! Semoga!
Menganti, 24 Mei 2007
(Sumber: Buletin HANIF, 25 Mei 2007)